Cerita hari ini berawal dari musim duku. Tampak jelas di beberapa kios buah tersaji rapi buah duku. Bahkan dikuatkan dengan tulisan besar "Duku Manis". Usai membaca tulisan tersebut, saya kembali menoleh kedepan. Tidak ada keinginan sama sekali untuk beli, karena duku bukan salah satu buah favorit si kecil.

Dua hari kemudian, sepulang sekolah di rumah sudah ada satu kresek penuh duku dengan kondisi hampir busuk. Duku tersebut pemberian tetangga yang bekerja di sebuah kios buah. Karena sudah hampir busuk dan tidak laku, akhirnya diberikan ke karyawan dengan cuma-cuma.

Si kecil sangat suka duku ternyata! Dan baru ingat, ya memang ia belum pernah kami kenalkan duku. Berkali-kali si kecil menhambil sendiri duku kemudian meminta orang dewasa untuk mengupaskannya. Hati saya terenyuh melihat senyum bahagia si kecil ketika mengambil duku-duku yang hampir busuk itu. "Nak, ini sudah busuk. Besok Bunda belikan ya!". Dia tidak belum faham dengan kalimat saya, tetap saja ia mengambili duku dengan bahagianya.

Kebahagiaan anak kecil sangat sederhana. Anak kecil tak mengenal malu ataupun gengsi untuk bahagia. Lalu saya jadi menyadari bahwa orang dewasa terkadang terlalu rumit dalam menentukan standar kebahagiaannya.