fadillah tri aulia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Déjà Vu
Sebuah satire tentang moral yang makin sirna bahkan dalam keluarga

Déjà Vu

“Apa yang bisa kita harapkan?” Sebuah tanya menyentak pikir Sumi di sela malam yang pekat. Sebuah tanya dari lelaki yang menikahinya lima tahun silam.

Tanya yang seharusnya tak perlu membuat Sumi kaget karena ini tanya yang kerap lelaki itu sampaikan. Namun entahlah, ada hawa yang membuatnya lebih terkesiap saat mendengar tanya itu malam ini.

“Tak kan ada yang mampu menerka takdir Tuhan bahkan pada seekor semut kecil,” jawab Sumi mantap. “Tuhan selalu punya keajaiban jika kita mau meminta dan percaya,” imbuhnya sambil menyeka bulir keringat di pelipisnya. Malam di kampung ini semakin panas karena banyak sawah dan kebun yang berubah menjadi pabrik.

Kepulan asap rokok membumbung lukiskan pikiran Purnomo, terpecah, abstrak, tak berbentuk.

“Tapi....”

“Tak ada tapi,” potong Sumi, tangannya melipat pakaian terakhir yang ia setrika malam itu. “Tak ada tapi. Yang ada kita mau atau tidak untuk percaya dan meminta. Itu saja Mas.” Ia beranjak membawa setumpukan pakaian dalam keranjang yang telah tersusun rapi dan segera menyusunnya ke dalam lemari.

Suara derit dipan bambu yang diduduki Purnomo mengagetkan seekor tikus yang hendak menyelinap masuk ke dapur. “Kita bukan siapa-siapa, Sumi. Tak pantas Dikasihani.”

Tangan Sumi yang sedang memasukan satu persatu pakaian terhenti, baju yang hendak dimasukan ke lemari mesti tertahan pun dengan nafasnya.

“Ini hukuman untuk kita,” tambah Purnomo. “Hanya soal waktu, kita bisa mempercepatnya jika mau lebih mudah.”

Baju yang hendak dimasukan pun akhirnya kembali ke keranjang, terhempas tak beraturan lagi lipatan dan tumpukannya.

“Mas!” Kalimat Sumi menggantung, tertahan demi mendengar anaknya terbatuk. “Matikan rokokmu!” Kalimat yang hendak ia ucapkan batal tersampaikan. Sumi menghampiri anaknya dan menepuk-nepuk paha bocah lelaki berusia lima tahun itu. Nafasnya naik turun.

Tak lelo lelo lelo ledung

Cup menenga aja pijer nangis, anakku sing bagus rupane

Yen nangis ndak ilang baguse, tak gadang bisa urip mulyo

Dadiyo priyo kang utomo, ngluhurke asmane wong tuwa

Dadiyo pendekaring bangsa

Wis cep menenga anakku, kae mbulane ndadari

Kaya butho nggegilani, lagi nggoleki cah nangis

.....

Purnomo menatap ujung rokoknya yang mengepul pupus di asbak kaleng. Kepulan asap ingatkannya pada asap yang keluar dari cerobong pabrik tempat kerjanya. Memorinya terbang melesat, berpilin cepat, hinggap pada masa-masa awal ia bertemu Sumiati. Ujung bibirnya menyunggingkan senyum kecil saat mengingat kelakuannya menyapa jahil Sumi dari balik pos jaga di pabriknya bekerja tiap kali Sumi datang dan pulang kerja. Suara riuh kawan-kawannya masih terdengar jelas bahkan rona merah di pipi Sumi saat itu masih dapat ia ingat dengan lekat. Semuanya masih begitu indah hingga senyuman itu masih bertahan menghias di wajah Purnomo.

“Jangan buka lagi apa yang sudah berlalu,” ucap Sumi memudarkan senyuman di wajah Purnomo.

“Seharusnya kau ikuti saja perintahku, tak perlu sok...”

“Mas!” Suara Sumi tercekat, tertahan, menjaga anaknya tetap terlelap.

“Suci...,” sambung Purnomo.

Kaki Sumi menjejak lantai penuh. Amarahya biarkan ia salurkan ke dalam bumi. “Meskipun aku belum menjadi istrimu saat itu, aku sudah menjadi ibu bagi Adi. Seorang i-b-u.”

Kali ini hening sempurna. Jangkrik seperti bersepakat dengan Purnomo untuk diam, terbungkam.

“Justru kamu yang mengawali bencana ini. Racun tikus mu....”

“Tak perlu ada racun tikus jika kau mau aku antar ke bidan itu,” potong Purnomo.

Adi kembali terbatuk. Sebuah skenario Tuhan untuk menurunkan murka dua manusia yang ada.

Sumi menghampiri anaknya mengusap punggungnya lembut. Satu bulir air mata Sumi jatuh di ujung bantal kapuk yang lapuk namun jauh mengalir menuju waktu yang paling ia benci dalam hidupnya. Sirene ambulan, derit belangkar, selang infus, perawat dan dokter berseragam putih berkelabatan dalam pikirnya. Bergerak sangat cepat seumpama kereta api favorit anaknya, melesat. Rentetan persitiwa pahit yang ia alami hingga keputusan besar yang ia buat menguras air matanya dalam sepi.

“Pergi saja jika kau sudah tak mampu,” ucap Sumi lirih, berdiri dengan jumawa. “Aku masih percaya Gusti Alloh tak kan menyiakannya,” sambungnya sambil mengatur kembali nafasnya dan menyeka air mata dengan ujung lengan dasternya.

Purnomo masih terdiam hanya ujung telunjuknya mengetuk tepi dipan.

“Atau k-a-m-i yang pergi.”

Bimbang. Purnomo tak mau sembrono lagi kini.

Adi terbatuk dan kini matanya terbuka. Matanya mengerjap melihat langit-langit lalu mencari ibunya yang masih terduduk di tepi kasur.

“Num-mak”

Purnomo bangun dari duduknya, merapihkan sarungnya, melangkah ke dapur, mengambil air minum dalam gelas kaleng loreng tentara, lalu memberikannya ke istrinya.

Sumi menopang kepala Adi dan mendekatkan gelas ke bibir Adi. Kepalanya layu sempurna pun dengan kedua tangan dan kakinya.

Tunggu!

Purnomo menatap istri dan anaknya lekat, mematung, me-nung-gu.

Klontrang! Gelas kaleng loreng tentara dilempar, tikus di dapur berlarian.

Sumi menatap nanar suaminya.

Kamu!

“Num-mak....”

***

Wis cep menenga anakku, kae mbulane ndadari

Kaya butho nggegilani, lagi nggoleki cah nangis

Tak lelo, lelo, lelo ledung

Enggal menenga ya cah bagus

Tak emban slendang batik kawung

Yen nangis mundak ibu bingung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Yeay! sudah ada fotonya. Cerpennya top.

16 Apr
Balas

Terima kasih Bu Marni..

16 Apr



search

New Post