fadillah tri aulia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Lelaki yang Berhenti Katakan Cinta

Lelaki yang Berhenti Katakan Cinta

Senja tak lagi malu untuk melaju. Semburat jingga pun jumawa menebar pesonanya di langit tua kota itu. Orang-orang lalu-lalang dengan bayangan yang memanjang. Sebagian bergegas membawa rindu sebagian masih malu untuk pulang karena hasil hari ini masih jauh dari cukup, salah satunya lelaki itu.

Lelaki itu memilih menepi di sebuah kedai kopi. Tentu saja, ia ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Rokok? Ah tidak, aku lupa, ia sudah berjanji untuk tidak menghisap benda itu lagi sejak beberapa tahun lalu. Sejak ia menikahi Sumi, kawan mainnya saat kecil.

Dalam tegukan kopi pertamanya, lelaki itu terpejam, memutar waktu kembali kepada hari beraroma melati yang pekat. Di hari itu ia berjanji dalam hati untuk selalu setia pada Sumi dan menjadi suami yang baik baginya. Sebuah senyuman manis mengusir sedikit pahit kopi di lidahnya. Ia berjanji akan menjadi lelaki terbaik bagi istrinya, sebaik-baik lelaki seperti pinta istrinya, harap istrinya.

Cangkir kopi masih menggantung di jemarinya saat seulas senyum kembali hiasi bibirnya. Saat itu ia begitu bersyukur dapatkan Sumi sebagai istri. Wanita sederhana yang tak pernah banyak meminta sejak ia mengenalnya. Wanita yang mau mengerti dan menerima dirinya, terlebih pekerjaannya sebagai guru honorer.

“Guru?” Bibir Sumi mencucu lucu.

“Ya, honorer.”

“Sama saja. Pasti seru.”

“Ya, aku tak ingin menjadi apapun selain guru.”

Dahi Sumi mengernyit.

“Aku mencintai anak-anak. Aku senang anak-anak. Jujur, polos, ceria, bersemangat,” ujar lelaki itu sambil mencabut sebatang rokok.

“Bohong,” potong Sumi. Lelaki itu tercekat. “Jika kau menyukai anak-anak, mencintai mereka, maka kau tak kan meracuni mereka,” ujar Sumi menatap batang rokok diantara ujung jempol dan telunjuk lelaki di depannya.

“Oh ini?” lelaki itu memainkan batang rokok yang dipegangnya, memutar-mutarnya dengan jempol, telunjuk, dan jari tengahnya. “Aku tak pernah merokok di hadapan mereka,” tambahnya.

Sumi tersenyum kecut. “Ya mungkin tidak, tapi asapnya sudah kadung lekat dengan baju dan kulit tubuhmu, Mas,” ujar Sumi sambil beranjak dari duduknya dan memilih berdiri menatap ombak di pantai. “Itulah, kadang kita mudah mengatakan cinta tapi lupa bagaimana membuktikannya, sibuk beretorika dan merayu mesra.”. Sumi merapihkan anak rambut yang menusuk-nusuk daun telinga kirinya. “Mas tahu? Untuk kesekian kalinya aku ragu pada lelaki yang mendekatiku. Kukira Mas berbeda tapi nyatanya…”. Seulas senyum kecut menghiasi wajah ayu Sumi.

Gulungan ombak menampar hati si lelaki. Seharusnya ia sadar, Sumi bukan gadis desa biasa. Tapi rasa itu, cinta itu benar adanya namun kini ia ragu untuk ucapkan lagi kata itu, ungkapkan kata itu pada gadis bernama Sumi yang kini ia tatap punggungnya.

“Aku, aku serius. Aku akan datang ke rumahmu besok, mh, melamarmu,” tukas si lelaki. Satu, dua, tiga detik Sumi tetap diam. Detik keempat ia berbalik.

“Itu yang aku tunggu. Berhentilah katakan cinta dan gantilah dengan apa yang kau mampu lakukannya secara nyata,” ujar Sumi sambil memberi senyuman yang menyaingi keindahan senja di pantai itu.

“Permisi!” suara seorang pengunjung kedai membuyarkan lamunan lelaki itu. Maka lelaki itu pun bangkit dan bergegas pergi meninggalkan kedai itu setelah selembaran uang ia keluarkan dari saku celananya.

Langkahnya ia percepat, tak ingin rasa malunya bertambah karena keterlambatan yang ia buat. Terlebih, rindu yang hadir di setiap senja selalu mampu menyalurkan energi luar biasa untuk segera pulang. Tiba-tiba langkahnya terhenti, ia teringat setangkai bunga mawar putih yang ia pinta dari murid privatnya tertinggal di kedai tadi. Setangkai mawar yang tumbuh di halaman murid privatnya itu tanpa malu ia minta demi nyatakan cinta pada istrinya. Bagaimanapun ia sudah bertekad berhenti katakan cinta kepadanya. Syukurlah bunga itu masih ada bersama sebotol air yang menjaganya.

“Buat istrimu, Gus?” tanya si pemilik kedai yang dijawab dengan senyum malu si lelaki.

Lantas lelaki itu semakin bergegas pulang dengan membawa sebatang bunga dalam botol air mineral di tangan kanannya. Tangkai bunga itu bergerak ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, seakan begitu riang terpilih sebagai buah tangan untuk orang tercinta. Merasa takdirnya sebagai bunga berakhir dengan sempurna.

“Bunga?” tanya Sumi begitu lelaki itu memberikan bunga itu tepat saat Sumi membukakan pintu untuknya. “Untukku?”.

Lelaki itu mengangguk pelan. Meski temaram ia masih dapat melihat semu merah di pipi istrinya.

“Aku memintanya dari murid privatku.”.

“Terima kasih, um, seharusnya Mas tak perlu begitu. Dengan apa yang Mas lakukan hingga saat ini itu sudah cukup membuktikan kalau Mas ….” Kalimat Sumi terhenti.

Ia menatap setiap detail wajah lelaki di hadapannya. Keningnya mulai menghitam, rahangnya masih sekokoh dahulu meski kini nampak kusam. Matanya masih seteduh dahulu. Pun dengan bibirnya masih sama seperti dahulu yang ia tahu sejak awal selalu jujur nyatakan cinta padanya. Kadang ia merasa bersalah telah meminta suaminya untuk berhenti katakan cinta padanya. Ia kira lelaki itu tak akan menanggapinya serius. Ya tentu saja, mana ada lelaki yang sanggup berhenti katakan cinta. Ah, seharusnya ia sadar bahwa lelaki itu berbeda. Ia rela berhenti merokok untuk buktikan cintanya kepada murid-muridnya. Ia rela diupah sekadarnya asal dapat tetap menjadi guru dan harus rela melanjutkan mengajar ke rumah-rumah agar dapat menghidupinya.

“… kalau Mas mencintaiku, ” lanjut Sumi mantap.

Ada pendar cahaya di mata lelaki itu. Sebuah tanda bahagia atas rasa yang diterima sempurna oleh istrinya meski tanpa perlu berkata. Cinta.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

he..he..keren Pak cerpennya...

10 Jul
Balas

Terima kasih, Bu. :)

10 Jul

So sweet

09 Jul
Balas

Kak Fadil...jangan berhenti katakan cinta yah

09 Jul
Balas

Ha....

10 Jul



search

New Post