fadillah tri aulia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Sepasang Rasa dan Melati
sepasang manusia dengan rasa yang sama bernamakan cinta

Sepasang Rasa dan Melati

Aku selalu berpikir dia tak pernah benar-benar nyata. Ada. Ia terlalu sempurna untuk mewujudkan dirinya. Ia jauh di atas biasa.

“Kau tak keluar, Mas?” Ia keluar kamar dengan wajah sumringah. Kata ‘Mas’ yang ia ucapkan selalu terasa khas bagiku. Ada getar-getar dalam ucapannya yang menyesapi hatiku. Menggoyangkan lonceng-loncengnya.

Sengaja ku tak jawab. Toh memang tak perlu jawaban. Ia tahu jawabannya. Jelas. Retoris.

“Mau kubuatkan teh atau kopi, Mas?” Lagi-lagi ia memanggilku dengan cara yang sama dan rasa yang sama dan kutangkap dengan sama pula. Bergetar.

Kusandarkan tubuh lelahku. “Ya,” jawabku pendek tanpa perlu dan ingin menolehnya. Ia cepat mengerti. Tak banyak tanya tak perlukan curiga. Ia beda. Selalu seperti itu.

Kusambar koran basi beberapa hari lalu. Tentu saja, ini Rabu. Koran selalu tergeletak hangat di atas meja setiap Sabtu. Hari di mana halaman koran penuh sesak dengan deretan dan berkolom-kolom iklan lowongan pekerjaan. Iklan yang begitu bertebaran, menganga, mengundang orang-orang luntang-lantung tak karuan seperti aku. Hampir setahun selalu sama. Tepatnya, sejak pabrik tekstil itu tutup. Bangkrut.

Aku akan jawab “ya!” jika kau tanya apakah aku bosan atau tidak dengan hal itu. Kalaupun kau tidak bertanya. Aku akan tetap mengatakan bahwa aku bosan dengan hal yang itu – itu terus. Tapi dia yang – entah kenapa – selalu mampu membuatku bangkit dan berjuang. Walau yang kulakukan tidak terlalu berarti, sebenarnya. Hanya duduk, membolak – balik koran, lalu pergi ke alamat yang telah kulingkari dengan pulpen berharga seribu. Tapi, sering pula kupikir ini adalah sebuah masalah harga diri. Harga diriku sebagai seorang lelaki, suami.

Ah, suami. Sebuah amanah berat yang harus kutanggung. Amanah yang kuputuskan tuk kujalani sejak dua tahun lalu. Saat bibirku begitu bergetar mengucapkan ikrar itu di hadapan banyak orang. Dan senyum di wajahnya begitu jelas dan bebas kutatap untuk pertama kalinya. Indah.

Dan beberapa bulan lagi, satu gelar harus kusandang: bapak. Perut istriku makin buncit. Tak jarang ia tertawa perih karena si jabang bayi menendangi perutnya itu. Mungkin ia lelaki.

Lelaki? Sebuah bisikan atau do’a atau apapun namanya tiba – tiba muncul. Berharap ia bukan lelaki. Biarlah ia perempuan saja.

Denting gelas membuyarkan segalanya. Bunga dan bintang yang sempat bertaburan di atas kepalaku berjingkat pergi. Ia duduk rapat di sampingku dengan wajah sumringahnya. Jangan kau kira aku melihatnya. Sejak awal aku hanya mampu menerka, tak berani menatap. Aku pasti kalah telak jika menatapnya. Wajah sumringahnya bisa mengajakku ke dunia lain yang bisa melepaskan segala tetek bengek kesulitanku. Indah memang, hanya aku tak bisa sekarang. Aku terlalu takut.

Ia meraih tanganku, meletakannya di atas perut buncitnya. Gerakan – gerakan halus membuatku geli. Aku menikmatinya. Jujur. Tapi hanya sesaat. Kutarik lenganku cepat. Ia mendesah.

Aku akui. Aku bukan tipe lelaki atau suami romantis dan dramatis. Ia pun tahu itu. Bahkan, aku pernah mengatakannya. Dan aku yakin, ia masih ingat betul itu. Aku benci hal – hal sentimentil. Entah kenapa?

“Mungkin Nopember,” ucapnya serasa mengucapkan sebuah ungkapan kegembiraan dengan harap yang luar biasa. Ia menatapku. Bisa kurasakan hembusan napasnya menabrak kulit leherku.

Nopember? Masihkah ada waktu bagiku? Berapa ratus ribu? Berapa juta mungkin?

“Kira – kira, lelaki atau perempuan ya Mas?” Rambutnya menggelitik leherku. Aku ingin tersenyum geli, tapi egoku terlalu kuat. Bahkan untuk sebuah senyuman.

“Ia pasti tampan sepertimu,” Ia menyentuh janggut tipisku, “kalau tidak, pasti cantik seperti aku.”

Ia memang cantik, batinku. Terlalu cantik bahkan.

Kuraih segelas teh di atas meja kayu. Wangi melati kaburkan pikirku pada hari pernikahan kami. Melesat lewati pintu – pintu waktu. Hari saat pertama kalinya ku lihat wajah itu sumringah. Dan ia pertegas dengan pengakuannya. Hati siapa tak senang, seseorang berhias khusus untuknya, untuk aku!

“Seperti saat perayaan itu,” aku terkesiap. Ia berhasil menangkap pikiranku.

Aku jengah. Bukan karena dia tentu saja. Justru karena ulahku sendiri aku jengah. Parasangka – prasangka bodoh yang kucipatakan sendiri tanpa secuil alasan kuat hadir di sana. Aku bangkit, melangkah menuju kamar, berbaring dan coba pejamkan mata.

Aku bohongi dirinya, diriku.

Aku tahu pasti siapa pemilik bunyi langkah dan wangi ini. Ia datang. Mendekat. Namun justru aku semakin kuat katupkan mata. Tak mau hadapi kenyataan. Pengecut. Tak mau melihat perutnya yang semakin buncit. Hanya punggungku yang berani menatapnya. Aku takut.

Dalam ketakutanku. Entah kekuatan apa yang membuat sepatah kata itu terucap, “Melati.” Walau lirih.

***

Kuputuskan tuk keluar juga.

Lelaki itu masih temaram di bawah lampu berwat kecil yang baru kumatikan karena hari beranjak terang. Wajah kuyunya semakin suram tanpa cahaya itu. Lelakiku.

Sibuk ku memutar otak. Mencari kata. Berulang hampir kugerakkan lidahku, berirama, namun terhenti. Ragu. Takut aku melukai hatinya yang sendu.

“Kau tak keluar, Mas?” Ah pertanyaan bodoh keluar. Sudah jelas ia berdiri beberapa jengkal di depanku dengan pakaian rumahan: kaos oblong tipis murahan dan sarung kotak – kotak pudarnya. Kugigit telunjukku. Ia tidak beriak sedikitpun. Bergeming diri. Sama seperti kemarin. Semuanya senyap.

“Mau kubuatkan teh atau kopi, Mas?” Pertanyaan kedua kulontarkan setelah amunisi pertamaku kumuntahkan tanpa balasan. Tetap kupasang wajah biasa. Menunggu reaksi lelakiku, kuamati rambutnya yang masih hitam sempurna.

“Ya,” jawabnya pendek. Begitu pendek namun berarti sejuta untukku. Sebuah bukti! Ia – masih – peduli padaku. Aku bahagia. Tak ingin ia kecewa, kuberjalan gegas ke dapur.

Semua kotak – kotak di hadapanku hampir semuanya kosong. Hanya sebungkus teh tersisa di sebuah kotak plastik berwarna biru. Kuseduh tanpa gula. Ludes. Tapi wangi melati ini semoga bisa membuat segalanya menjadi manis. Semanis hari pernikahan itu.

Koran basi itu di tangannya. Koran terbitan hari Sabtu favoritnya. Benda yang menyita perhatiannya di hari itu. Hingga sempat buatku malu sendiri karena cemburu padanya. Pada lembaran – lembaran abu itu. Bagaimana bisa, mereka mengambil hampir semua – atau bahkan mungkin memang seluruh – perhatian lelakiku? Namun akhirnya aku mengerti. Hari Sabtu kubiarkan menjadi hari mereka berdua saja. Tak perlu ada aku. Lagipula aku tahu apa yang ia pelototi. Kolom – kolom dan baris – baris iklan berjejalan menawarkan berbagai kegiuran. Itu yang ia cari. Sudah hampir satu tahun lalu ia dirumahkan dari pabrik tempatnya mencari nafkah.

Tapi ini Rabu. Ia tidak perlu membacanaya. Ataukah, justru ia memang merasa perlu membacanya atau perlu pura – pura membacanya?! Ia tak mau menatapku. Dan jujur akupun begitu. Aku hanya mampu menatap keningnya bukan matanya. Bukan mata hitamnya yang aku tatap. Bukan mata yang seperti lubang besar di luar angksa – yang entah apa namanya, aku hanya pernah membacanya di koranmenyerap seluruh perhatian bahkan juga diriku ke dalamnya. Ke dalam tatapannya yang selalu nampak luar biasa. Bukan sepasang benda indah itu yang kutatap. Saat ini aku terlalu takut.

Ragu, kuraih tangannya dan kusimpan di atas perutku yang buncit. Kaki – kaki mungil terkadang menendangi dinding perutku nakal. Mungkin ingin mencoba sendiri lepaskan sendiri lilitan tali pusar di tubuhnya. Terkadang aku dibuatnya tertawa geli walaupun agak perih. Sesaat, tangan itu tetap berada di sana. Lantas kembali ke atas pahanya. Aku mendesah. Kecewa? Bukan. Aku hanya merasa bersalah.

Seharusnya aku paham. Ia sudah pernah akui. Ia bukan lelaki romantis yang suka hal – hal sentimentil. “Aku hanya lelaki sederhana yang butuhkan kau untuk menjadikanku luar biasa,” ucapnya di malam purnama itu. Kurasa itu romantis tapi ia ingkari.

“Mungkin Nopember,” ucapku sekenanya demi memecah kebekuan ini. Ah ceroboh, seharusnya aku berhati – hati memilih kata. Ia sudah terlalu baik untuk kusakiti. Aku malu padanya. Aku tak mau terlalu menuntut. Jujur, aku takut sekali, cemas. Masihkah ada waktu? Berapa ratus ribu? Atau bahkan berapa juta? Ingin sekali tanya itu terlontar tapi percuma. Bungkam.

“Kira – kira, lelaki atau perempuan ya Mas?” Kucoba alihkan lontaran bodohku tadi. Percuma. Ia tetap senyap.

“Ia pasti tampan sepertimu,” entahlah tiba – tiba tanganku begitu ingin menyentuh janggut tipis lelakiku. Janggut yang sempat memikat perhatianku bahkan hingga saat ini. Ia memang tampan. Sangat tampan. Bahkan terlalu tampan. “Kalau tidak, pasti cantik seperti aku,” aku tersenyum kaku. Aku? Cantik?

Syukurlah! Ia bergerak. Tangannya bergerak meraih segelas teh buatanku, menghirupnya sejenak, lalu meminumnya sedikit. Ah, akankah harapanku terkabul? Wangi melati itu. Kuperhatikan riak mukanya. Tak ada kecewa justru sedikit cahaya. Cahaya yang sama pada perayaan itu.

“Seperti saat perayaan itu,” ucapku setengah sadar. Kurasa aku pun terhipnotis wangi melati itu. Kuharap itu terlalu lemah untuk didengarnya. Namun salah! Ia bangkit dan melangkah ke kamar. Mungkinkah ia tersinggung dan marah?

Sedetik, dua detik, tiga detik. Aku masih terduduk lemas. Bingung.

Tubuh itu. Punggung kokoh itu. Kutatap lamat – lamat sebelum akhirnya kuputuskan mendekat. Rasa itu menyergapku tiba – tiba. Aku takut.

Dalam ketidakberdayaanku, justru sebuah kekuatan mendorongku gerakan lidah dan berucap, “Mas.” Walau lirih.

***

Aku takut ia pergi karena bukan sesuatu terbaik yang dapat kuberikan. Aku takut menatap karena tak mau itu menjadi tatapan terakhirku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

waduh ada sesuatu yang tersimpan dibalik hatinya apalagi perut yang membuncit itu satu pertanda cinta kasih yang tulus dan setia...tapi akh... aku tak tahu ada riak dalam hatimu apakah itu ?

14 Jun
Balas

Ada rasa yang jumawa tumbuh dalam dirinya atas statusnya sebagai suami dan calon bapak dari anaknya...

15 Jun

Luar biasa. Keren nih cerpenis gurusiana

14 Jun
Balas

Terima kasih Mas Yudha sudah berkenan membaca tulisan saya :)

14 Jun

Saya membaca hanyut ke dalam ceritanya. Luar biasa.

14 Jun
Balas

Terima kasih sudah bersedia masuk dalam cerita saya :)

14 Jun

Ceritanya keren dan unik..

14 Jun
Balas

Terima kasih bu :)

14 Jun

Wah, bagus sekali tulisannya. Kira-kira masih ada lanjutanya ga Pak?

14 Jun
Balas

Belum ada, masih menggantung agar pembaca yang bermain imajinasi sendiri sesuai kehendaknya... He.

14 Jun

Hooh. Sy jadi gemes dg tokoh lelakinya. Hahaha.

14 Jun

Wah, sosoknya membuat gemas ya bu?

14 Jun

Masih ada ya tipe lelaki seperti itu? Dengan perempuannya saja enggan romantis. Nah, romantisnya hanya buat diri sendiri. Haha.

14 Jun

Bisa jadi....kadang lelaki bingung bagaimana mengungkapkan rasa..

14 Jun

Mengalir bahasanya. Keren ceritanya. Tapi gk sabar juga dengan sikap lelaki seperti itu, tetapi mungkin memang begitu kehidupan di kota: sulitnya minta ampun cari kerja. By the way, istrinya kerja apa ya? dari mana mereka hidup selama ini? penghasilan istri?

15 Jun
Balas

Terima kasih sudah mampir membaca.. Hm, penghasilan mereka darimana saya serahkan kepada pembaca...saya hanya mengambil secuil fragmen romantisme dan konflik kehidupan mereka... saya senang membuat pembaca mengembangkan sendiri cerita dari imajinasi mereka... Cerita yang Bertumbuh dan Berkembang :)

17 Jun

baca juga, Pak http://mrsunardi.gurusiana.id/article/cerita-cinta-sang-guru-swasta-4454877

15 Jun
Balas



search

New Post