Siang itu, sekitar pukul 13:00 kubuka android. Mengecek pesan masuk di aplikasi WhatsApp. Sebuah japri dari seorang siswa mengagetkanku. Sebuah berita duka.

Pesan dikirim pukul 10:00. Baru kubuka 3 jam kemudian. Begitulah, saat berada di rumah, handphone lebih banyak kusimpan daripada kuaktifkan. Gara-gara si kecil bakal heboh melihat emaknya mainan pesawat canggih itu. Dia akan menyita hape orang tuanya seperti seorang murid yang ketahuan mainan hape saat guru menjelaskan di kelas. Tak berdaya.

Kabar duka dari seorang siswa tadi benar-benar membuatku tergugu. Membayangkan seorang wanita yang kukenal sepintas tapi terasa begitu akrab. Namanya saja aku tidak tahu. Aku menyapanya dengan panggilan Mbak karena usianya yang terpaut beberapa tahun di atasku. Dan dia memanggilku ibu karena aku pernah menjadi guru bagi anak lelakinya. Meski anak lelakinya memutuskan untuk tidak melanjutkan belajarnya di sekolah.

Setiap kali aku dan wanita single parent itu bertemu. Di toko. Di pasar. Atau di jalan. Dia selalu menyapa penuh keramahan. Kutanyakan kabar anaknya yang tak mau sekolah itu. Selalu dengan senyum dia ceritakan keluarganya. Meski kutahu pasti berat menahan beban hidup sendirian. Tanpa suami, ayah bagi anak-anak di sisinya. Membanting tulang untuk menghidupi dua buah hatinya yang sedang beranjak dewasa.

Sebuah kecelakaan telah mengantarkan dirinya menghadap Ilahi. Dalam perjalanan pulang menjenguk anak perempuannya yang belajar di pesantren. Tidak seperti biasanya, ketika perjalanan jauh dia diantar anak lelaki atau keponakannya. Hari itu dia mengendarai motor sendirian.

Selamat jalan Mba. Semoga Allah menempatkanmu pada tempat terbaik di sisi-Nya. Anak-anak masih membutuhkanmu. Tapi Tuhan lebih menyayangimu.

Sudut kamar, 2 November 2020