Faidah Setyaningsih

Teruslah menulis meskipun tidak ada orang yang membacanya....

Selengkapnya
Navigasi Web
Pulpen dan Skincare
Aktivitas pembelajaran Sosiologi di kelas

Pulpen dan Skincare

Oleh: Faidah Setyaningsih

Jam pelajaran pertama. Setelah siswa melakukan literasi untuk mengkaji topik pembelajaran, mereka berdiskusi membahas batik di era gempuran globalisasi. Siswa terlihat asyik bertukar pikiran dengan teman sebelahnya. Beberapa di antara mereka menuliskan hasil diskusinya di buku.

Aku berjalan berkeliling kelas untuk melakukan observasi. Sesekali memberikan tanggapan pada hasil diskusi siswa.Langkahku sampai pada siswa perempuan yang duduk di bangku pojok kelas. Penampilannya cukup menor untuk ukuran siswa SMA. Tangannya terlihat asyik memainkan jari jemarinya yang lentik. Melihat aku berjalan mendekat, dia menghentikan aktivitasnya.

"Kok tidak menulis, Mba?" tanyaku sambil memegang pundaknya. Dia pun menoleh."Gak punya pulpen, Bu," jawabnya memamerkan gigi yang berhiaskan behel.Aku hanya tersenyum. Juga teman yang duduk di bangku sebelah depannya. Ikut tersenyum. Senyum penuh arti.

Ini bukan pertama kalinya dia membuat alasan untuk menghindari aktivitas pembelajaran. Entah sudah berapa kali dia meminta maaf dan mengatakan bahwa bukunya hilang atau tertinggal. Setiap kali itu pula aku mengiyakan dan mengingatkan agar untuk selanjutnya lebih disiplin. Tapi, perilakunya belum menunjukkan adanya perubahan.

"Beli skincare saja bisa, masa beli pulpen gak mampu," kataku yang saat itu hanya sampai di tenggorokan. Tidak jadi kuucapkan di hadapannya gara-gara ingatanku terlempar pada kenangan puluhan tahun lalu.

***

Saat itu, ujian semester sedang berlangsung. Sampai di ruangan aku langsung duduk di kursi yang tertera nomor ujianku. Kursi sisi tengah nomor tiga dari depan. Jarak antar kursi sekitar setengah meter. Cukup untuk lalu lalang pengawas ujian ketika mengedarkan daftar hadir.

Waktu ujian hampir habis, ketika pengawas ujian memanggil beberapa orang mahasiswa. Termasuk namaku. Sontak aku terperanjat. Apalagi setelah kucermati nama-nama yang dipanggil adalah gerombolan mahasiswa yang biasanya ke kampus memakai kaos oblong dan sandal jepit. Setelah peserta ujian keluar ruangan, pemilik nama-nama yang disebut berkumpul mengelilingi meja pengawas. Satu persatu kami ditanyai oleh pengawas ujian yang merupakan petugas administrasi di kampus.

Tibalah giliranku ditanya tentang alasan tidak mengenakan sepatu. Karena saat itu, aku hanya mengenal sandal gunung dan berkaos kaki. Jujur kujawab bahwa aku belum bisa beli sepatu."Kuliah di UGM saja bisa, masa beli sepatu tidak bisa," ucap perempuan paruh baya dengan dengan make up tebalnya. Aku hanya tertunduk. Menyesali diri. Memikirkan bagaimana caranya bisa beli sepatu agar bisa mengikuti ujian mata kuliah selanjutnya.

Setelahnya kata-kata ibu pengawas itu menghunjam ke dalam uluh hari. Setiap kali berpapasan dengannya di sekitar kampus, kata-katanya kembali terngiang.

Dan hari ini, setelah kurang lebih dua puluh tahun, kata-katanya kembali berkelebat. Mengingatkan kembali betapa tragis hidupku saat itu. Sampai-sampai beli sepatu saja tidak mampu. Karena uang saku orang tua yang tidak seberapa. Bahkan, setelah ditambah dengan beasiswa pun aku masih harus mengencangkan ikat pinggang untuk bisa bertahan hidup.

Benar sekali kata bijak dari seseorang yang mengatakan, "Suatu hari nanti kamu akan menertawakan apa-apa yang hari ini kamu tangisi. Dan kelak pun akan tiba waktunya kamu menangisi apa-apa yang hari kamu tertawa olehnya."

Mirit, 10 Januari 2024

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap ulasannya

10 Jan
Balas

Terima kasih Ibu Risma

11 Jan

Mantap penjelasannya. Menertawakan orang lain sama dengan menertawakan diri sendiri. Menghargai orang lain juga sama. Sukses selalu.

10 Jan
Balas

Aamiin. Terima kasih Ibu Zuyyi

11 Jan

Keren

10 Jan
Balas

Terima kasih Pak Jumari. Salam kenal dan salam literasi.

10 Jan

Tulisannya keren dan inspiratif. Salam Literasi.

10 Jan
Balas

Terima kasih kunjungan dan komentarnya. Salam Literasi.

10 Jan



search

New Post