Muhamad Fajri Ikhsan Qalby

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Kisah Sebuah 'Apel yang Cantik' dan 'Buku Penyendiri' (Part 3)

Kisah Sebuah 'Apel yang Cantik' dan 'Buku Penyendiri' (Part 3)

Beberapa hari setelah mengunjungi toko buku itu. Ada acara makan bersama di rumah wali kelas kami. Aku sudah menduga apa yang akan Lia lakukan kepadaku setelah mendapat undangan ini.

"Hei, kamu harus datang ya! Jangan mencari-cari alasan untuk tidak hadir ! Cobalah tinggalkan tumpukan buku membosankan milikmu itu dan bicaralah dengan orang lain!" Lia memintaku untuk hadir sesuai dengan prediksiku.

Yah, sebenarnya aku tidak akan menolak, apalagi jika itu adalah permintaan darinya. Entah mengapa sejak kami sering bertemu dan bicara satu sama lain, aku merasa bahagia. Dan notifikasi chat darinya atau nada dering telepon darinya adalah saalh satu hal yang paling aku tunggu di layar ponsel pintarku.

Pada hari yang tertera pada undangan, aku pun bergegas menuju lokasi acara. Aku sudah niatkan tidak akan membuat Lia kecewa. Aku datang lebih awal agar tidak membuatnya menungguku. Aku begitu bersemangat, seperti ada ekstasi yang memancar dalam otakku.

Aku berdiri di depan gerbang rumah bertingkat bercat hijau tosca yang merupakan rumah wali kelas kami yang mengundang makan bersama ini. Aku akan masuk ketika Lia sudah datang.

Namun, setelah 15 menit semua tamu undangan yang masuk, hanya perempuan itu yang tak kunjung menampakkan diri. Setelah Ketua kelas mengajakku masuk karena acara akan dimulai, aku pun dengan masygul melangkah masuk.

Dan sampai acara itu selesai, tidak ada tanda-tanda kehadiran Lia, aku pun melangkah lesu pulang ke rumah.

"Mungkin dia sedang ada urusan mendadak lain." Ujarku dalam hati untuk menenangkan diri.

Sesampainya di rumah, aku pun langsung berjalan gontai menuju ke kamarku untuk berganti pakaian. Namun sebuah suara dari televisi mengalihkan perhatianku.

"..... Seorang remaja perempuan berusia 18 tahun, bernama Shalihah menjadi korban kecelakaan lalu lintas di jalan Ahmad Yani sore ini. Pengemudi mobil yang menabrak gadis malang itu pun segera diamankan pihak yang berwajib...."

Sontak apa yang diucapkan penyiar berita itu membuat lututku lemas, kepalaku kosong, dan pikiranku kacau, tenagaku seolah dicabut habis. Aku berjalan tidak karuan hingga diriku ambruk dan hampir pingsan.

Aku masih belum mempercayai kabar ini. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku tidak pernah menyangka hal naas akan datang secepat ini. Aku tiba-tiba linglung seperti orang mabuk.

Keesokan harinya, penyelenggaraan jenazah Lia dilaksanakan. Dan aku sendiri tidak hadir pada waktu itu. Aku masih belum menerima kenyataan, berhari-hari aku tidak kunjung keluar dari kamarku, aku tetap meringkuk di dalam kamarku sampai perasaanku pulih.

Sudah sembilan belas hari, aku mulai menerima kenyataan, aku mulai menata hatiku lagi. Aku mulai sadar bahwa kepergiannya cepat atau lambat akan datang.

Aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah Lia, dan memenuhi apa yang seharusnya aku lakukan untuk terakhir kali demi gadis yang telah mempesonaku.

–––

Kubaca surat yang ditulis Lia kepadaku. Jujur saja sebuah perasaan tidak tenang yang menggerogoti pikiranku sejak tadi. Dan kecemasanku sepertinya semakin menjadi-jadi ketika akan membaca surat ini.

"Hai, kalau kamu membaca surat ini, berarti aku sudah dimakamkan,ya? Jujur saja kamu terlalu lama, apa salahnya jika kamu datang lebih awal, kan? Dengan begitu aku bisa pergi dengan lebih tenang, dan kamu tidak akan terbebani." Baris demi baris kubaca isi surat tersebut.

"Bagaimana kabarmu? Ah, itu pertanyaan yang sangat aneh jika aku tanyakan padamu. Karena pasti kamu akan menjawab 'seperti biasanya, tidak ada yang spesial hari ini'. Jujur saja, itu sangat menyebalkan buatku. Soalnya banyak hal di dunia ini yang harus kamu nikmati dengan panca inderamu, berhentilah sejenak dengan buku-buku beratmu yang membosankan, dan berinteraksilah dengan dunia. Kalau kamu tetap sendirian, kamu tidak akan mengerti keberadaanmu kan? Jujur saja, aku mulai khawatir kalau kamu akan kembali sendirian ketika aku sudah tiada."

"Sebenarnya sejak dulu aku ingin sekali berbicara denganmu. Kamu pasti lupa kan, kapan kita pertama kali bertemu. Bukan yang di rumah sakit waktu itu, dasar pelupa! Pertama kali aku bertemu denganmu itu ketika kita masih berumur sepuluh tahun. Wah sudah lama ya? Tapi kamu pasti lupa. Waktu itu aku sedang tersesat di taman kota, aku tidak bisa menemukan dimana keberadaan ibuku dan aku sangat ketakutan. Lalu tiba-tiba kamu datang sambil mengajakku duduk di kursi taman dan meminjamiku buku cerita, lalu seketika aku merasa diselamatkan oleh seseorang yang baik, lalu sejak itu aku pun penasaran denganmu, dan lucunya kita satu sekolah, kan? Hehe."

"Kamu tahu? Sejak setahun lalu aku sudah merasa umurku tidak akan lama lagi, jadi sudah kuputuskan. Aku akan menjadi orang yang berani, seperti dirimu yang sudah menyelamatkanku dari rasa takut. Keberanianmu yang mau membantuku waktu itu, menjadi motivasiku untuk tetap tersenyum dan tertawa lepas, memberanikan diri untuk menggerakkan hati orang lain. Aku tidak ingin menyesal di akhir hidupku dengan menyedihkan dan ketakutan. Jadi aku akan menjalani sisa usiaku dengan tulus, aku tidak akan menyesal jika aku bisa menghabiskan sisa waktuku di dunia jika bersamamu."

Baris demi baris ku baca surat itu, dan sesak semakin memenuhi hatiku. Sampai aku membaca baris terakhir suratnya itu.

"Mungkin untuk permintaan terakhirku buatmu itu hanya sederhana: tetaplah hidup, sebarkan keberanianmu untuk menggerakkan hati orang lain, seperti dirimu yang telah menolongku waktu itu. Kurasa agak berat bagimu yang suka menyendiri, tapi aku yakin hal ini tidak mustahil. Maaf ya sudah membebanimu, padahal aku sudah tidak ada lagi kan. Terimakasih dan sampai jumpa lagi."

Surat itu pun selesai ku baca, dan sesak yang ada di dadaku semakin memuncak dan akan membuncah.

"Terimakasih ya, berkat kamu, Lia bisa menjalani hidupnya dengan tulus tanpa penyesalan. Terimakasih banyak!" Ibu pun angkat suara sambil menahan air mata.

Aku pun tidak sanggup membendung air mataku. Lalu aku pun bertanya pada Ibu.

"Maaf Bu, mungkin ini tidak sopan, apakah saya boleh menangis?"

"I.. Iya, Boleh."

Aku pun menangis, menangis sejadi-jadinya. Aku melepaskan sesak dan sakit yang memenuhi ruang hatiku. Tak kusangka akan sesakit ini akhirnya. Aku menangis lama sekali. Aku akhirnya berhenti setelah semua kesedihan dan sesak ini habis ku lepaskan semua.

Aku pun pamit setelah bisa menenangkan diri. Sebelum pamit, Ibu bertanya kepadaku.

"Sebelum kamu pulang, ibu ingin bertanya, namamu siapa?"

Aku pun teringat kembali ketika dia pertama kali menanyakan namaku.

"Jadi siapa namamu?" Suara Lia seolah kembali terdengar oleh telingaku.

"Shalih, biasa dipanggil Ali." Aku pun menyebutkan namaku.

Ibu yang sedikit terkejut setelah mengetahui namaku, seketika tersenyum kecil.

"Cocok sekali namanya ya. Akan ibu ingat nama Kamu." Ujar ibu.

Jujur saja, melihat ekspresi Ibu, membuatku teringat kembali dengan ekspresi Lia sesaat setelah mendengar aku menyebut namaku. Dia tersenyum, manis sekali, begitu mempesona.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post