Muhamad Fajri Ikhsan Qalby

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Namaku Masaki Ueyama

Namaku Masaki Ueyama

Nama lengkapnya Masaki Ueyama, akrab disapa Masaki. Ia adalah seorang pemuda berkebangsaan Jepang yang sekarang berumur 27 tahun, ia bekerja di sebuah toko buku sebagai manager. Setiap hari dia bergelayut dengan kesibukannya mengurus pesanan buku pada para penerbit, dan memastikan persediaan buku selalu dalam berada kondisi yang baik agar para pengunjung senantiasa nyaman membeli buku di toko tersebut.

Siapa yang menyangka seorang lelaki yang cukup mapan dan baik hati ini menyimpan sebuah rahasia besar dan gelap dalam kehidupannya. Ia tumbuh dalam keluarga yang tidak rukun. Ayah dan ibunya memutuskan untuk bercerai ketika Masaki masih berusia kurang dari tujuh tahun, terlalu belia dan polos untuk menyadari bahwa kehidupannya yang dia sangka akan selalu mulus dan menyenangkan akan berubah menjadi penderitaan dan perjuangan membebaskan diri dari 'neraka dunia' itu selama bertahun-tahun.

Masaki kecil tinggal bersama ibunya dan mengganti nama keluarganya menjadi nama keluarga ibunya. Nama Ueyama yang Masaki sandang itu adalah nama keluarga ibunya. Karena ketika seseorang menikah, dalam aturan salah satu dari pasangan tersebut harus mengganti nama keluarganya, bisa saja sang suami akan beralih menggunakan nama keluarga istrinya,atau bisa juga terjadi sebaliknya.

Masaki mendapati dirinya termenung sendiri di ruang kerjanya. Ia baru sadar bahwa ternyata sudah malam, lamunan akan masa lalunya yang kelam tadi ternyata telah merenggut kesadarannya akan waktu, seharusnya dari tadi ia sudah membereskan meja kerjanya dan bersiap untuk pulang. Karena sudah lebih dari setengah jam yang lalu toko buku itu tutup.

Masaki terburu-buru melangkah menuju stasiun kereta agar tidak ketinggalan kereta terakhir malam itu dan bisa segera kembali ke rumahnya. Karena ada seseorang yang menunggunya di rumah, yaitu Erika; istrinya yang baru saja ia nikahi beberapa bulan yang lalu.

Masaki berhasil mendapatkan bangku kereta terakhir dan bisa merasa tenang karena bisa pulang dengan nyaman tanpa merasa kedinginan. Walaupun sudah memasuki musim semi, hawa dari salju sisa musim dingin masih sangat menusuk tulang. Kereta itu lengang, karena itu adalah kereta terakhir dan sudah tidak ada lagi orang yang beraktifitas pada malam yang larut ini.

Di tengah perjalanan, Masaki tiba-tiba teringat lagi akan masa lalunya. Ia hanya tinggal dengan ibunya dan tidak lagi bermain atau bercengkerama dengan ayahnya lagi. Kehidupan Masaki penuh dengan depresi dan tekanan dari keluarga ataupun lingkungannya, ia dianggap sebagai penyebab perceraian antara kedua orangtuanya, bahkan dijauhi oleh anak-anak seumurannya akibat tidak bisa berinteraksi dengan baik akibat depresi dari semua tekanan yang ia terima.

Sesekali Kimura, ayah Masaki datang mengunjunginya, namun itu bukan untuk melakukan hal-hal yang menjadi tanggung jawab sebagai ayah, justru kedatangan Kimura menjadi hal yang lebih dibenci oleh Masaki. Karena menurutnya, ayahnya lah yang pantas disalahkan, karena meninggalkan mereka dan berujung pada tindakan bunuh diri Tamako, ibu Masaki pada saat ia masih mengenyam bangku SMA. Kimura atau siapapun yang menghadiri pemakaman ibunya tidak menunjukkan ekspresi atau ucapan penyesalan atau merasa bersalah. Hal itu tentu menyebabkan Masaki semakin benci dengan keberadaan orang-orang disekitarnya.

Masaki tersadar kembali dari kilas balik ingatan masa lalunya ketika pemberitahuan kereta bahwa stasiun tujuannya sudah dekat. Ia pun bersiap-siap untuk keluar dari kereta dan bergegas untuk pulang. Masaki sangat heran entah mengapa ia tiba-tiba mengingat masa lalunya yang tidak menyenangkan itu. Mungkin akan ada sesuatu yang terjadi, tetapi ia membuang jauh-jauh pikiran itu dan memilih untuk tetap berjalan pulang.

Stasiun yang berada di dekat rumah Masaki dan istrinya yang bernama Erika melewati sebuah jembatan panjang yang melintasi sungai. Tentu saja Masaki selalu melewati jembatan itu setiap berangkat atau pulang bekerja. Namun ada hal yang tak biasa ditemuinya, ia mendapati seseorang yang terlihat menunggunya di malam yang dingin ini. Ia mengenali sosok itu, dan Masaki terlihat gusar dan sedikit menggerutu. Tidak lain sosok itu adalah ayahnya, Kimura.

Masaki berusaha untuk menghindari pria parubaya itu, namun yang dihindari tidak diam saja, ia pun memanggil anaknya sambil tergopoh-gopoh mengejarnya. Sampai pada suatu saat pria tua itu pun berhasil menyusul anak lelakinya itu dan memegang tangan Masaki. Pria tua itu mengajak masaki berbicara, dengan berat hati pria itu mengiyakannya.

"Mau apa kau menemuiku?" Masaki ketus menanyai ayahnya itu.

"Aku hanya ingin menemuimu, sudah lama sejak kau lulus di perguruan tinggi kita tidak bertemu, kau pindah jauh sekali, aku kesulitan mencari alamatmu." Ujar Kimura yang kepalanya sudah penuh dengan uban.

"Hanya menemuiku? Tidak ada hal sia-sia lain yang akan kau lakukan setelah menemuiku?" Masaki masih bertahan dengan dendam yang ia pendam bertahun-tahun pada ayahnya ini.

"Aku menemuimu untuk meminta maaf, aku selalu ingin meminta maaf darimu selama ini, aku terus mencari dimana keberadaanmu, agar bisa meminta maaf." Lelaki tua ini terlihat tulus dengan permintaan maafnya.

"Untuk apa kau meminta maaf? Setelah sekian lama dan berbagai kesalahanmu, kesalahan mereka padaku, baru sekarang minta maaf? Kemana saja kau selama ini?" Ueyama tidak lagi simpati dengan pria yang dulunya bajingan ini. Ueyama sudah tidak berharap lagi pada ayahnya ini untuk meminta maaf.

"Apa kau tidak pernah berpikir kalau setiap kesalahanmu itu akan menjadi seperti ini? Kenapa kau berbuat itu? Kenapa kalian semua memperlakukanku seperti ini? Dosa apa yang aku lakukan pada kalian semua sehingga aku harus menanggung pahit dan depresi setiap hari?" Masaki menutup kalimatnya dengan segala amarah yang ia simpan, jarang sekali Masaki terlihat berekspresi setelah trauma yang menumpuk dari masa belianya.

Tiba-tiba terdengar dering ponsel, bunyi itu berasal dari saku mantel Masaki. Panggilan itu berasal dari Erika, istrinya. Sontak Masaki mengangkat telepon itu.

"Sekarang sudah larut, kamu sekarang dimana?" Suara Erika terdengar di panggilan itu.

"Iya, aku sedang di jalan, sebentar lagi akan sampai di rumah, maaf sudah membuat kamu menunggu lama." Masaki menjawab telepon itu dan menutupnya seketika.

"Kalau kau berniat untuk menemuiku lagi, hentikan itu. Aku sudah tidak memikirkan apa yang terjadi di masa lalu. Aku tidak peduli lagi. Karena ada seseorang yang menerimaku apa adanya dan sekarang sedang menungguku di rumah." Pria itu lalu beranjak pergi. Meninggalkan Kimura yang tenggelam dalam rasa penyesalan yang mendalam atas semua kesalahannya yang ia dan keluarganya perbuat terhadap anak semata wayangnya.

---

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post