Farhan Akbar Muttaqi

Tinggal di pinggiran Purwakarta. Guru yang terus belajar. Pengelola website www.matapendidikan.com...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ketika Pengetahuan Jadi ‘Sampah’
Credit: Pras Academy - SD

Ketika Pengetahuan Jadi ‘Sampah’

Ada seorang guru berkata, bahwa kelebihannya dibanding muridnya hanya satu. Guru tahu lebih dulu, sedangkan murid belakangan.

Dulu, cara pandang semacam ini mudah diaminkan. Karena mengakses informasi lebih awal, guru punya ‘kuasa’ di kelas. Posisinya jadi lebih ‘tinggi’ ketimbang murid-muridnya. Murid mudah mangap dan menganggap wah pengetahuan gurunya. Ini jadi salah satu pemicu guru diposisikan terhormat. Membangkangnya di anggap menuai laknat. Kualat!

Namun waktu terus menggilas realitas. Manusia berfikir untuk semakin efektif melahapnya. Dengan melintas batas kemustahilan, riset-riset dan eksperimen menghasilkan berbagai teknologi mutakhir yang di masa-masa lampau di anggap khayalan. Salah satunya, benda yang sangat mungkin kini sedang di pegang pembaca sekalian; Smartphone.

Dunia ada digenggaman. Tak ada informasi yang luput dari Smartphone. Berbagai pengetahuan bisa didapatkan tanpa harus bermahal-mahal membayar biaya semesteran. Asal bisa memahami buku panduan, mengekspresikan kemauan, dan sedikit gerakan jari yang tak menguras kalori, siapapun bisa menjadi kaya dengan pengetahuan.

Pengetahuan tentang apapun ada di Smartphone. Dan, manusia jenis apapun bisa melahapnya. Termasuk, anak-anak kita yang duduk setiap hari di depan kita. Mereka duduk manis dalam baris-baris melintang, dan sangat mungkin sebagiannya memandang dengan sinis. Menganggap gurunya tak lebih tahu ketimbang dirinya.

Materi pelajaran tak perlu di dengarkan, nanti bisa cek di google kalau ketinggalan. Katanya. Bahkan bisa jadi lebih lengkap dan jelas. Soal UTS dan UAS sudah bisa ditebak isinya. Mereka menduga-duga gurunya hanya menyalin-tempel dari soal yang bisa dicari di google. Dan, mereka bisa mencarinya lalu menyiapkan jawabannya dari rumah.

Guru tak lagi dihormati. Ia dianggap tak lebih tahu. Adab-adab penuntut ilmupun tak lagi melekat. Berganti dengan perasaan bahwa ia dan gurunya sama-sama kuat.

Fragmen semacam ini memang tak bisa digeneralisir. Namun fakta tentang adanya tak bisa dipelintir.

Namun apalah daya, kita tak bisa menolak perkembangan teknologi. Sejak manusia membangun peradabannya, teknologi terus maju dan tak bisa dicegah. Zaman yang disebut milenial ini tak langsung melompat dari zaman batu. Ada lintasan masa yang maju bertahap memberikan sumbangsih terhadap teknologi. Terus maju dan tak ada yang bisa hentikan.

Lantas apalagi yang tersisa untuk mempertahankan ‘wibawa’? Pertanyaan yang muncul kala menyikapi tanggapan Bapak Mendikbud soal anak-anak didik kita yang dimana-mana kehilangan rasa hormat di tengah teknologi yang melibas modal guru.

Saya pikir, di era kekinian tugas guru kini bukan sekedar memberikan pengetahuan lalu berlepas tanggung jawab. Murid sudah ‘tak terlalu butuh dengan pengetahuan yang disiapkan guru’. Lebih dari itu, guru perlu memberikan jawaban kepada murid tentang bagaimana memanfaatkan pengetahuan dengan landasan Iman, ketakwaan, dan suri tauladan. Sehingga pengetahuan tak sekedar tersimpan di kepala murid-murid kita, namun juga mendorongnya untuk memberikan manfaat di tengah-tengah kehidupan.

Poin ini saya pikir tak bisa mereka cari di google. Iman, ketakwaan, dan suri tauladan itu perkara yang otentik. Keduanya akan murid temukan hanya pada guru-gurunya yang memang memilikinya. Percayalah, ketiganya tak mungkin dimiliki oleh smartphone merek apapun dan semahal apapun. Smartphone tak punya kemampuan menyainginya!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Betul sekali yang Bapak paparkan, murid sekarang tidak butuh guru pinter tapi membutuhkan guru yang memilki kebijaksanaan dalam bersikap dan menyikapi anak, bagus tulisannya pak. Salam literasi.

15 Feb
Balas

Betul bu. Sekarang jadi pinter gak aneh, malah gampang Bu. Hanya dengan seribu rupiah ke warung beli tolak angin.

15 Feb

Subhanallah, lagi-tulisan Bapak ini mengguncang jiwa dan pikiran ini. Selalu memandang sesuatu dengan melihat realita kehidupan, namun selalu dandarkan pada hal-hal yang seringkali terlupakan. Sukses selalu dan barakallah

15 Feb
Balas

Wah, berlebihan Bu. Biasa aja. Baru gabung nulis disini, mudah2an istiqamah.

15 Feb

Menarik tulisannya pak, senang membaca nya. Menambah wawasan

15 Feb
Balas

Alhamdulillah. Salam kenal pak..semoga bermanfaat

15 Feb



search

New Post