Farhan Akbar Muttaqi

Tinggal di pinggiran Purwakarta. Guru yang terus belajar. Pengelola website www.matapendidikan.com...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ketika Sekolah Dianggap Tak Berguna (1)

Ketika Sekolah Dianggap Tak Berguna (1)

“Lalu apa gunannya aku sekolah belasan tahun? Menghabiskan uang berjuta-juta,tapi susah dapet kerja,” kata seseorang, sebut saja Mawar.

Empati seringkali muncul ketika melihat banyaknya pernyataan-pernyataan semacam itu di grup-grup loker di facebook. Kasihan. Usaha yang besar, hanya berbalas dengan status pengangguran yang malu-maluin orang sekitar.

Jadi pengangguran itu emang berat. Celakanya, semakin tinggi gelar, justru semakin berat malu yang ditanggung. Otomatis semakin menyesal juga menghabiskan waktu belajar disetiap jenjangnya!

Sayangnya, saya tak dapat berbuat banyak. Kalaupun ada kehendak berbuat, mau berbuat apa? Bingung juga. Soalnya selain gak kenal, saya juga gak punya lowongan kerja. Kecuali jika yang bersangkutan benar-benar hanya mencari kerja, bukan nyari uang. Bisa saja saya pekerjaan untuk beres-beres rumah. Nyapu, ngepel, atau masak.

Tapi sebagai guru, saya pikir saya bisa melakukan langkah preventif agar anak-anak saya di sekolah tak mengalami fase semacam itu.

Omong-omong soal masalah ini, kalau mau merujuk sampai pangkalnya, saya pikir kondisi semacam itu bermula dari salah jawab atas pertanyaan, “Untuk apa sekolah?”

Cobalah tanyakan kepada anak-anak didik Bapak dan Ibu sekalian, untuk apa mereka belajar di sekolah? Tanyakan orientasinya. Kalau jawabannya untuk ‘bekerja’,‘banyak uang’, dan semisalnya, maka dijamin, mereka hanya akan menumpuk beban di masa depan. Karena itulah sesungguhnya sumbunya.

Masalah pertama, ketika sekolah hanya dipandang sebagai tempat persinggahan untuk mendapat pekerjaan yang layak, anak-anak kelak akan dihadapkan dengan fakta bahwa lowongan pekerjaan itu terbatas. Bahkan, makin lama makin terbatas.

Patut diketahui, dunia industri di era-Kapitalisme seperti sekarang selalu bergerak menuju efisiensi modal. Doktrin para Kapitalis dalam berbisnis adalah ‘meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan modal sekecil-kecilnya’. Sebisa mungkin menghemat pengeluaran tenaga kerja dan menggantinya dengan teknologi.

Selain itu, persaingan di antara pemilik pabrik-pabrik tersebut juga sangat keras. Satu dan lainnya bisa saling membangkrutkan. Walhasil, mengharap lowongan pekerjaan terus bertambah pesat di era Kapitalisme seperti sekarang layaknya bermimpi dan gak bangun-bangun.

Akhirnya, hanya sebagian saja dari generasi muda yang kini bisa diserap di dunia industri. Sebagian lainnya yang menganggur tersebar di sudut jalan, menjadi preman, berebutan cari lahan parkiran, kelayapan mengganggu ibu-ibu yang pulang arisan, menjadi pelaku kriminal yang diperbudak setan, dan lainnya. Sedih.

Sekolah atau kampus itu bukan sekedar terminal persimpangan ke dunia kerja. Sekolah itu tempat menuntut ilmu dan bagaimana mengolah ilmu itu agar bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, orang sekitar, dan masyarakat secara luas. Maka PR setiap pembelajar setelah menuntaskan masa belajarnya bukanlah sekedar mencari kerja, namun bagaimana caranya memanfaatkan ilmu yang sudah dimiliki?

Dan, pertanyaan ini jawabannya tak selalu harus dengan kerja dalam arti yang sangat sempit. Ilmu itu bisa di pakai dimana-mana. Ilmu matematika bisa dipakai buat bantu DKM mesjid sekitar menghitung pemasukan jumatan, kemampuan mengaji alif ba ta’ bisa dipakai untuk mengajarkan anak-anak di sekitar rumah, ilmu tahan banting saat revisi skripsi bisa dipakai buat modal memulai usaha atau membuka lapangan kerja yang juga harus kuat jatuh bangun, ilmu berbahasa bisa dipakai untuk mengorganisir para pemuda untuk mau menghabiskan waktu dengan lebih produktif, dan yang lainnya.

Lebih-lebih lagi, materi-materi di sekolah memang cenderung statis. Materinya susah untuk benar-benar up to date sesuai dengan kebutuhan industri. Karena terbentur dengan pembatasan tahun ajaran dan kurikulum yang memiliki pakem-pakem dalam waktu tertentu. Bahkan sekalipun sekolah itu adalah SMK, tetap ada jarak antara apa yang dipelajari di sekolah dengan kemajuan teknologi di dunia industri sehingga menuntut kompetensi untuk di up date setiap saat. Makanya, banyak pemberi kerja yang mewajibkan training dulu. Karena mungkin kompetensi yang di butuhkan pabrik sudah lebih tinggi standarnya ketimbang apa yang dipelajari di sekolah.

Namun kabar baiknya, orang-orang yang banyak menebar manfaat dengan berbagai ilmunya biasanya disenangi orang-orang disekitarnya. Dia biasanya menjadi sosok yang terpercaya dan dipercaya. Nah, dititik tak terduga ini biasanya datang aneka ragam rezeki yang tak di sangka-sangka. Pekerjaan, kerjasama usaha, pemberian, yang semuanya justru datang tanpa harus membuat puluhan lembar surat lamaran pekerjaan.

Percayalah, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” Begitu dalam sebuah hadits. Dan, saya yakin, sebaik-baik manusia hidupnya tak mungkin ditelantarkan oleh Sang Maha Kuasa!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post