Farida Hanum

Orang ndeso yang punya angan-angan jadi penulis....

Selengkapnya
Navigasi Web
TUHAN TOLONG HAPUS AIR MATAKU (3)

TUHAN TOLONG HAPUS AIR MATAKU (3)

“Bun….” Aku membangunkan pelan-pelan, kuraba tangannya masih hangat, lemas tapi keras bak sepotong kayu.

“Bun…ayo periksa ngge, bunda panas lo” bujuk mas Beny

Bunda berusaha membuka matanya, tapi pusing yang amat sangat membuatnya kembali memejamkan matanya. Bunda hanya memberi isyarat dengan anggukan kepala. Mungkin saking sakitnya, akhirnya bunda menyerah dan mau diajak periksa. Aku merapikan kain bunda, menyisir rambutnya dan memasangkan kerudung untuknya. Kemudian mas Beny menggendong bunda menuju mobil dan menidurkannya dijok tengah. Aku mendampingi bunda, duduk di jok belakang. Sesekali kulirik bunda yang tampak gelisah.

“tidak biasanya bunda seperti ini, sesakit apapun bunda biasanya kuat.” gumamku.

Mobil melaju pelan menuju rumah sakit daerah, suasana jalan lumayan ramai, mungkin karena bebarengan dengan pulangnya para pekerja. Bunyi klakson saling bersahutan, memekakkan telinga. Sementara kendaraan roda dua menerobos disela-sela kendaraan besar berharap bisa mendahului kendaraan roda empat dan segera sampai di rumah. Makin menambah riuhnya suasana jalan. Mas Beny tetap tenang dengan suasana jalan yang memusingkan kepala, dia tidak tergoda sedikitpun untuk meningkatkan laju kendaraannya, karena memang jalanan sedikit ramai. Sesekali berhenti, mengikuti laju kendaraan di depannya atau terkadang memberikan kesempatan kendaraan roda dua menerobos di sela-sela kendaraannya. Lantunan ayat tedengar lembut menambah ketenangan batin yang gundah karena bunda sakit. Aku memijit-mijit kepala bunda sekedar untuk meringankan sedikit pusingnya. Hampir 45 menit perjalanan menuju rumah sakit daerah. Padahal dalam kondisi normal perjalanan dari rumah menuju rumah sakit umumnya mencapai 30 menit. Mungkin Karena jalanan sedikit tidak mendukung. Tapi bersyukur sekali, setibanya di rumah sakit, bunda langsung mendapat pertolongan.

Masuk ruang UGD bunda diperiksa oleh dokter jaga. Melihat kondisi lemah bunda, dokter menyarankan untuk rawat inap, agar bisa mengobservasi sakit yang diderita bunda. Mas Beny langsung meng-iyakan saran dokter. Bunda-pun tampak pasrah dengan saran dokter, dia hanya bisa mengangguk saat mas Beny menjelaskan keterangan dari dokter. Mas Beny sibuk mengurus administrasi agar bunda segera dipindahkan ke ruang inap. Dokter memberiku resep untuk ditebus. Segera aku menuju apotik, kutinggalkan bunda sendirian.

“Hem, banyak sekali antriannya?” sesaat pikiranku melayang, menghawatirkan bunda yang sendirian di ruang UGD. Tiba-tiba ponselku berbunyi, segera kuambil dari dalam tas,

“Assalamualaikum, sudah beres urusan administrasinya pa?” aku langsung bertanya kepada mas Beny, berharap urusan administrasi beres sehingga bunda bias dipindahkan ke ruang rawat inap.

“Iya ma, ini papa lagi nungguin bunda yang sedang diinfus oleh perawat, setelah itu bisa dipindahkan ke kamar. Kalau mama lama antrinya, mama bisa langsung nyusul di paviliun 1 nomor 3.” Jelas Mas Beny.

Kecemasanku sedikit terobati, karena mas Beny sudah bisa menemani bunda di ruang UGD. Dengan sabar aku menunggu antrian obat. Aku mencari tempat duduk yang jauh dari hembusan angin malam. Ya, karena memang kondisi tubuhku juga belum fit betul. Meskipun demikian, ternyata angin malam tak mau bersahabat, tetap saja aku kedinginan. Jacket, harusnya menemaniku dalam kondisi seperti ini. Ya..kenapa aku lupa tidak mengenakan jacket? dinginnya malam tidak mau diajak kompromi, terus saja menerobos masuk ke dalam tubuhku. Aku mulai menggigil. Menggigil karena tubuhku mulai demam lagi, ditambah dengan angin malam yang nakal.

“Ibu Halimah.” Suara petugas di apotik mengejutkanku

“iya, mbak.” Jawbku tegas,

Aku bergegas menghampiri dan mengambil obat bunda. Obat yang begitu banyak yang harus dimakan bunda. Aku langsung balik menuju kamar bunda, aku menyusuri lorong mencari kamar yang dimaksud mas Beny. Lorong demi lorong aku lewati. Akhirnya sampai juga di kamar paviliun 1 nomor 3. Namun, langkahku terhenti saat mataku tertuju pada kamar nomer 6, kamar yang posisinya persis di depan kamar bunda. Tampak banyak orang berkerumun. Aku mencoba mendekati seorang gadis yang tampak baru datang.

“Siapa yang sakit, nak ?” aku mencoba bertanya

“Nenek, tante.” Jawab gadis berambut lurus itu.

Namun, tiba-tiba saja air matanya menetes di pipi mulusnya.

“Tapi, nenek tidak mau menungguku tante, dia harus menghadap Allah sebelum aku datang mengunjunginya.” Jelas gadis manis itu

Dadaku terasa sesak, bagai tertonjok sebuah kayu besar, wajah bunda yang menahan sakit tiba-tiba saja terlintas dalam benakku. Aku langsung berpamitan pada gadis manis yang kehilangan nenek kesayangannya. Buru-buru aku masuk kamar dimana bunda di rawat. Tampak bunda tengah menikmati istirahatnya setelah seharian mengalami kesakitan. Kupandangi wajah lesu bunda, ada banyak guratan kesedihan dalam wajahnya, ini dikarenakan menahan sakit yang amat sangat. Bunda yang dulu tegar, pekerja keras, dan humoris. Kini, harus terbaring dengan sejuta penderitaan.

“Ya Allah, berikan kekuatan pada bunda, agar beliau tetap semangat dalam menjalani hidup.” Do’aku penuh harap,

Aku mencoba merebahkan badanku di kursi penunggu pasien. Batinku campur aduk tidak karuan, antara merasakan tubuh yang belum fit juga prihatin dengan bunda yang entah menderita sakit apa. Hingga rasanya tubuhku makin sakit semua. Tapi sakitku tidaklah seberapa dibanding penderitaan bunda. Bunda yang tak pernah menunjukkan kesedihannya, bunda yang tak pernah mengeluh dan bunda yang amat sangat sabar. Melahirkan keteladanan padaku tentang hidup yang harus dilalui dengan kesabaran. Reaksi obat mampu menenangkan tidur bunda. Saat di UGD pun, bunda sudah diambil sampel darahnya dan air kencingnya, yang selanjutnya digunakan untuk mengobservasi penyakit bunda.

Malam makin larut, suasana rawat inap rumah sakit makin sunyi, hanya terdengar suara tetesan air dari kran yang membuat irama di malam hari. Bunda tampak nyenyak tidurnya, di samping karena lelah juga pengaruh obat dan infus yang membuat tenang pasien. Moga hasil tes laborat tidak ada yang mengkhawatirkan. Lama aku masih belum bisa terpejam, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul, 01.20 wib. Aku mencoba memejamkan mata sambil berzikir agar bisa segera tertidur.(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga berakhir manis. Bu halimah jg lekas sehat. Ah...selesaikan aja sampai seri berapa bersambungnya. Silakan...he..he...

10 May
Balas

amin...

10 May



search

New Post