Faridatul Khasanati

Penulis adalah ibu dari 4 anak, lahir dan menetap di Tulungagung. Mulai tahun 2013 sampai sekarang bertugas sebagai guru bahasa Arab di MTsN 6 Tulungagung. Sebe...

Selengkapnya
Navigasi Web

BENGAWAN SOLO

BENGAWAN SOLO

Oleh : Faridatul Khasanati

Luas dan tenang. Itu pertama kali yang terasa saat kakiku menapak pinggiran Bengawan Solo. Mataku takjub menatap sungai terbesar dan terpanjang di Jawa ini. Luas membentang. Sampai tak begitu jelas orang-orang yang berada di seberang sungai karena demikian lebarnya. Sedikit mendebarkan memandangi airnya yang bening kemerahan. Membiaskan kilauan mentari di permukaannya yang tenang, nyaris tak menampakkan arus alirannya.

Pemandangan itu cukup mampu menguapkan tumpukan lelah yang berdarah-darah. Perjuangan menempuh short semester sekaligus merampungkan skripsi serta ujian-ujian yang cukup menguras energi, pikiran, dan jiwa. Perjuangan berat agar kuliahku bisa selesei tepat waktu, plus lulus dengan nilai yang tidak mengecewakan. Sekaligus mewujudkan rencana tempatku mengabdi, menyampaikan ilmu setelah lulus nanti.

Kususupkan jemari di riak air Bengawan. Di antara ikan-ikan kecil berlarian. Kesejukan pasir putih menyimpan berbagai jenis kerang dan bebatuan, mencairkan penatnya perjalanan Malang-Bojonegoro yang cukup panjang. Lelahnya berganti angkot, bis, dan kereta api seharian cukup sepadan dengan keindahan dan kesejukan sore di pantai ini. Tepatnya tepi sungai Bengawan Solo, tak jauh dari rumah Anny sahabatku.

Jauh-jauh hari dia menagihku untuk menginap di rumahnya setelah ujian skripsi, bertepatan dengan hari spesialnya. Aku tak punya pilihan lagi karena sebentar lagi lulus. Inilah kesempatan terakhir bersamanya. Bukan apa-apa, aku hanya tak tahan berlama-lama naik kendaraan umum. Alias mabuk kendaraan yang cukup parah. Dengan muka merah akhirnya aku mengaku daripada para sobatkui ngambek atau menuduhku yang bukan-bukan.

Tak jarang Anny menginap di rumahku saat mudik ke Tulungagung. Juga Miss dan Asma, sahabatku asal Madiun. Hanya aku yang belum pernah ikutan menginap di rumah mereka. Selain mabuk kendaraan menghalangiku bepergian jauh, juga karena padatnya kegiatan ekskul yang kuikuti setiap kali liburan semester.

Semilir angin Bengawan Solo membawa kesejukan. Mengalirkan semua ketegangan pikiran dalam arusnya yang melaju tenang tanpa suara. Rembulan bersinar terang di langit biru tanpa awan. Membawa ingatanku pada seorang mahasiswa Unibraw, teman Anny. Siang itu aku berkenalan dengannya saat motor-motor kami meluncur ke taman wisata Lembah Dieng. Kalau tidak salah rumahnya di kota ini juga. Tak jauh dari rumah Anny. Berarti mungkin juga di sekitar Bengawan Solo sini.

Cahaya rembulan benderang membawa anganku sekilas pada senyum dan kelakarnya saat beristirahat sejenak di satu gazebo yang terletak di sepanjang pinggiran telaga itu. Aku sempat menceritakan pengalaman pertama mendaki Panderman bersama rombongan KSR PMI. Dari ketinggian lereng bukit itu, bulan purnama tampak begitu menakjubkan di antara bintang-bintang yang menyatu dengan kerlip lampu kota Batu.

Kami berdebat tentang hal paling menakjubkan dari bulan purnama. Dia bilang bukan soal indahnya alam. Namun tentang indahnya perasaan saat menikmatinya. Bukankah bulan dan bukit sejak dulu tetap sama. Kata-kata yang diucapkannya dengan santai itu cukup mementahkan pendapatku.

“Hei, melamun ya!” Anny mencolekku begitu menyadari aku terlalu lama memperhatikan purnama. “Balik yuk!”

Tanpa terasa malam mulai larut. Kami menyudahi keasyikan bercanda dan berfoto ria menikmati malam yang terang benderang di sepanjang tepi Bengawan solo.

Telingaku sekilas menangkap suara yang tidak asing ketika sampai di pelataran rumah Anny. Suara lelaki yang baru saja memenuhi anganku. Di halaman, tampak seorang wedding organizer sedang berdiskusi dengan beberapa bawahannya, mempersiapkan upacara pernikahan Anny. Dari bias lampu taman aku dapat menangkap sosoknya. Aku nyaris tak bisa mempercayai mata dan telingaku. Benarkah dia yang berdiri di sana.

Lelaki itu memaparkan rencananya begitu Anny sampai di hadapan mereka. Sementara Asma dan Missy berkeliling melihat persiapan pernikahan. Aku yang datang belakangan berdiri termangu dengan degup penuh kebimbangan. Antara bergabung dan menyingkir. Namun aku tak ingin menarik perhatian dengan muncul di tengah mereka. Tak hendak mengalihkan kesibukan mereka dengan kehadiranku di hadapan wedding organizer keren itu.

Bangku taman menarikku sejenak menikmati rembulan. Sementara jemariku sibuk memainkan hp. Mengusir kegalauan yang tiba-tiba datang menyeruak. Tak kusangka akan bertemu dengannya di sini. Hey sejak kapan dia jadi wedding organizer? Memang kuliahnya sudah kelar? Katanya masih betah di Malang, padahal sudah tujuh tahun ngendon di kampus UB. Bukan karena nggak selesei skripsinya. Yang benar saja. Yang jelas dia….

“Boleh duduk?” sebuah suara nyaris membuatku terlonjak seketika.

“Sorry…,” katanya sambil menangkupkan kedua tangan melihatku tanpa sadar mengelus dada. Kaget setengah mati.

“Dari mana sih kalian, malam-malam begini? Kami tadi menunggu lama lo,” ucapnya santai di sampingku.

“Lihat bulan di bengawan Solo,” jawabku sambil mengalihkan pandangan pada bulan yang semakin benderang. Berusaha menyamarkan debar yang begitu saja muncul saat bertatapan dengannya.

“Indah ya,” bisiknya lembut.

“Seindah perasaan kita saat melihatnya,” aku memandangnya sekilas.

Sengaja mengutip kata-katanya saat mendebatku dulu. Berusaha meredakan gemuruh di hati dengan bercanda dengannya.

“Sepakat ya,” katanya sembari menawarkan kait ujung kelingking dalam senyum yang menggema di binar matanya.

Apa? Aku menggelengkan kepala, menyangkal deburku sendiri. Aku tahu dia hanya bercanda. Namun senyum dan tatap matanya membuatku gentar. Itu bukan tatapan gurau. Aku tak menanggapinya. Hanya membalas dengan senyum penuh ragu.

“Wahh, rupanya mojok di sini ya.”

Dengan santai dia berdiri menyambut ramai para sahabatku berdatangan. Gurauan mereka menyelamatkan degup jantungku yang nyaris terbongkar.

“Hmm, ternyata....” kata Missy.

“Percaya deh, bakal ada yang menyusul Anny besok,” kata Asma.

“Yakin!” tambah Anny mantap.

“Apa sih kalian,” terasa pipiku semakin panas.

Sementara lelaki itu hanya tersenyum menatapku, sebelum permisi melanjutkan pekerjaannya.

Bukan aku tak memahami tatapannya. Juga kesungguhan rasa yang disamarkan dalam gurau dan senyuman. Aku tak berani berharap banyak, meskipun setangkai mawar yang diberikannya mengalahkan terangnya rembulan di bengawan Solo malam ini. Mendaratkan dayung-dayung mimpi dalam alunan gelombangnya yang lembut. Menyejukkan hati. Membuatku semakin takjub akan kebesaran-Nya. Menguatkan langkah untuk mengikuti jejak takdir di sungai-Nya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post