Fatchur Rohman

PAMONG BELAJAR DI BP PAUD DAN DIKMAS PAPUA [email protected]...

Selengkapnya
Navigasi Web

POTERT MINAT BACA DAN TAMAN BACAAN DI BUMI CENDERAWASIH

Tri Fatchur Rohman

Pamong Belajar BP PAUD dan Dikmas Papua

Minat baca masyarakat Indonesia masih sangat memprihatinkan, oleh karenanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus berupaya meningkatkan minat baca masyarakat. Berdasarkan hasil sebuah studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain yang bekerja sama dengan sejumlah peneliti sosial yang dirilis pada bulan Maret 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca. Survei dilakukan sejak 2003 hingga 2014 dan menempatkan Indonesia satu strip dibawah Thailad yang berada pada urutan ke 59 dan hanya unggul dari Bostwana (salah satu Negara di Afrika Selatan ) yang puas di posisi 61. Padahal dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Penilaian berdasarkan komponen infrastruktur Indonesia ada di urutan 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan.

Kenyataan ini, menunjukkan Indonesia masih sangat minim memanfaatkan infrastruktur. Jadi indikator sukses tumbuhnya minat atau budaya membaca tidak selalu dilihat dari seberapa banyak perpustakaan, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), jumlah buku, dan mobil perpustakaan keliling dan lain sebaginya.

Survei serupa juga dilakukan oleh UNESCO, menunjukkan bahwa indeks minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya, dalam seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca, atau dapat juga diartikan di antara 250 juta penduduk Indonesia hanya 250 ribu orang yang punya minat baca.

Menilik pada data tersebut diatas tentunya menunjukkan bahwa minat baca atau budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah dan tertinggal bila dibandingkan dengan negera lain, bisa dikatakan Indonesia berada nomor dua dari belakang soal minat baca. Situasi itu tentu saja menjadi catatan penting dalam dunia pendidikan di tanah air.

Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah dalam rangka menggenjot minat baca adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. “Permendikbud itu diwujudkan dengan gerakan wajib membaca 15 menit sebelum waktu pembelajaran dimulai, khususnya bagi siswa SD, SMP atau SMA. Selain itu juga ada Gerakan Indonesa Membaca (GIM) dan program kampung literasi, yang telah menyasar 31 kabupaten, di 31 provinsi di Indonesia, Termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat. Target secara nasional kampung literasi hingga tahun 2019 mendatang adalah 514 kampung. Hingga saat ini baru terbentuk 31 kampung literasi di 31 kabupaten.

Sementara itu, berdasarkan hasil kajian Direktorat Jenderal Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan yang membawahi Subdit Keaksaraan dan Budaya Baca Kemendikbud, penilaian literasi terdiri dari atas tiga komponen, yakni literasi dasar, kompetensi dan kualitas karakter. Dari beberapa komponen penilaian tersebut nilai literasi dasar Indonesia masih sangat rendah. Literasi dasar yang meliputi literasi baca-tulis-berhitung, literasi sains, literasi informasi teknologi dan komunikasi, literasi keuangan, literasi budaya dan literasi kewarganegaraan

Sejalan dengan kajian tersebut, beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab masih rendahnya budaya membaca pada masyarakat Indonesia antara lain (i) membaca belum menjadi sebuah gerakan budaya, (ii) rata-rata tingkat kemampuan membaca pada masyarakat Indonesia masih rendah, (iii) sulitnya memperoleh fasilitasi ketersediaan bahan bacaan oleh masyarakat, (iv) harga bahan bacaan dinilai masih terlalu mahal dijangkau oleh rata-rata masyarakat Indonesia, sementara kemampuan daya belinya masih relatif rendah, (v) tingginya budaya menonton yang dinilainya lebih praktis pada masyarakat sebagai akibat terjadinya lompatan dari budaya tutur (lisan) dan budaya literasi (membaca). Hasil survei Badan Pusat Statistik tentang minat baca dan menonton anak-anak Indonesia pada 2012 menunjukkan hanya 17,66 persen yang punya minat baca dan 91,67 persen yang memiliki minat menonton

Kondisi tersebut diatas tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia bagian barat saja, melainkan juga terjadi di wilayah paling ujung timur Indonesia yaitu Papua. Jika di wilayah barat permasalahanya fokus pada minat atau budaya bacanya yang masih rendah, sedangkan keberadaan infrastruktur tidak lagi menjadi permasalahan utama karena sudah sebagian besar ada, tentu tidak demikian dengan wilayah timur Indonesia. Di Papua keduanya menjadi fokus permasalahan utama baik budaya baca masyarakat yang masih sangat rendah diperparah dengan ketidak adaan infrastruktur yang mendukung itu. Sehingga tidak salah apa yang disampaikan oleh Anis Baswedan pada Pada puncak peringatan hari aksara Internasional ke-50, di Abepura, Jayapura, Papua, 12 November 2015 mengatakan dari 11 Provinsi di Indonesia, Provinsi Papua masih sangat kurang minat membaca. Hal senada juga disampaikan Kepala Badan Perpustakaan Daerah dan Arsip Provinsi Papua, Hans Hamadi “berdasarkan dari hasil survei yang dilakukan pihaknya, minat baca masyarakat di Papua hanya 0,1 persen tiap tahun. Padahal Kota Jayapura misalnya, disebut sebagai barometer pendidikan”

Di Kota Jayapura, seperti diberitakan tabloidjubi.com, 15 Februari 2016, Kepala Dinas Pendidikan Kota Jayapura, I Wayan Mudiyasa mengakui minat baca siswa rendah, bahkan Papua urutan terakhir di Indonesia. Pihaknya pun menyiasatinya dengan program 15 menit membaca sebelum pelajaran seperti yang diprogramkan Menteri Anis Baswedan. Dinas Pendidikan Kota Jayapura bahkan mendorong para siswa untuk membaca novel, cerpen dan surat kabar seperti koran, tabloid dan majalah.

Dari sisi infrastruktur memang Provinsi Papua diurutan belakang bila dibanding dengan provinsi lain di Indonesia, termasuk infrastruktur yang mendukung untuk tumbuhnya minat baca masyarakat. Jadi tidak bisa sepenuhnya disalahkan jika minat baca masyarakatnya rendah karena fasilitas pendukungnya tidak ada.

Terkait hal tersebut diatas, masih oleh Hans Hamadi, yang menyatakan bahwa “Ironisnya, buku yang sekarang ada di perpustakaan adalah buku dari tahun 70-an. Sehingga minat orang datang keperpustakaan untuk membaca menjadi berkurang. Sehingga minat orang datang keperpustakaan untuk membaca menjadi berkurang” disamping itu “dari sisi fasilitas lain di dua Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Papua terkendala pada kekurangan fasilitas penunjang bila dibanding lainnya”

Pegiat literasi di Sekolah Menulis Papua sekaligus penulis novel “Cinta Putih di Bumi Papua”, Dzikry el Han berpendapat banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya minat baca di Papua. Faktor-faktor itu, antara lain: buku yang tidak memadai dan akses buku yang susah. Kalaupun ada, harganya mahal. Hanya kalangan tertentu saja yang menyempatkan berkunjung ke toko buku atau perpustakaan. Faktor lain, dan ini terjadi di seluruh Indonesia, karena lompatan budaya.

“Masyarakat kita belum mencintai dan menyadari pentingnya kegiatan membaca, tetapi sudah diburu masuk ke era teknologi informasi. Hasilnya ya seperti sekarang ini. Masyarakat terbuai oleh internet, media sosial dan semacam itu”.

Menurut Ana Lany (30 tahun) warga Perumnas III Waena, Kota Jayapura, yang dimuat dalam kabarpapua.co “harusnya untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, pemerintah daerah harus menyediakan fasilitas tempat membaca, sebab hal itu harusnya menjadi tanggungjawab pemerintah”

Bagaimana mau menyuruh orang membaca, tapi pemerintah tak meyediakan fasilitas yang mudah di jangkau untuk menumbuhkan minat baca. “Terutama pada anak dengan menyediakan sarana dan fasilitas di tempat umum yang mudah diakses, seperti buku cerita, dongeng, dan sejarah”

Hasil studi program-program pendidikan masyarakat yang dilakukan oleh BP-PAUD dan DIKMAS Papua sebelumnya, terlihat bahwa masih banyak kelemahan dan kedala dalam penyelenggaraan program pendidikan masyarakat, tidak terkecuali Taman Bacaan Masyarakat. Setelah dilakukan pengkajian lebih mendalam ternyata hampir disemua segmentasi mengalamai kendala, artinya faktor penyebab tersebut tidak berdiri tunggal tetapi jamak dan saling mempengaruhi, diantaranya mulai dari peran pemerintah daerah yang kurang kaitanya dengan pendidikan masyarakat khususnya upaya-upaya yang berbasis gerakan untuk mendorong minata baca masyarakat, pemerintah daerah banyak memberikan program-program pemberdayaan ekonomi dengan melalaikan sisi pendidikan SDM yang harus dibangun, khususnya budaya literasinya.

Selain itu kendala tersebut adalah berasal dari sisi internal masyarakat itu sendidiri yaitu kesadaran akan pentingnya pendidikan utamnya budaya baca masyarakat masih sangat rendah sehingga motivasi untuk seantiasa belajar juga rendah, yang pada akhirnya berdampak pada tidak diminatinya atau stagnasi program-program pendidikan masyarakat yang dikembangkan oleh pemerintah, terlebih taman bacaan masyarakat

Pada hasil studi eksplorasi atau studi lapangan yang merupakan deskripsi hasil pengambilan data kepada informan menggambarkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Ketenagaan Taman Bacaan Masyarakat

Dalam sebuah kelembagaan apapun bentuk dan jenisnya keberadaan Sumber Daya Manusia (SDM) memiliki peran yang sangat vital, bagaimana tidak karena SDM-lah yang menentukan lembaga tersebut bergerak atau tidak, mati atau hidup. Keberdaaan SDM penting untuk menjalankan roda kelembagaan, tanpa SDM tentu lembaga tersebut sudah dipastikan mati.

Begitu pula lembaga pendidikan nonformala, terkhusus Taman Bacaan Masyarakat atau sejenisnya tentu juga membutuhkan tenaga yang khusus dan terampil untuk mengelolanya, karena tidak mudah untuk mengelola sebuah Taman Bacaan disaat budaya literasi belum bertumbuh pada sebagian besar masyarakat Indonesia, terkhusus lagi di Papua.

Fakta yang didapati dilapangan oleh pengembang menunjukkan kebanyakan taman bacaan tidak dikelola oleh tenaga-tenaga khusus yang terampil, dan cenderung sebagai program yang tidak populis pada lembaga pendidikan nonformal seperti PKBM, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Magdalena (PKBM Karya Kasih):

“sebetulnya dari kita saja, merangkap tutor dan pengelola PKBM, yang mengelola TBM satu orang dibantu dengan pengelola PKBM”

Dari penyataan tersebut tentu dapat diketahui model atau bentuk pengelolaan taman bacaan yang ada dimasayarakat. Dikelola oleh orang-orang yang notabene secara subtantif tidak memahami secara mendalam apa itu taman bacaan. Lebih lanjut Magdalena menyatakah bahwa:

“Tidak ada struktur tersendiri, tetapi menyatu dengan PKBM karena TBM hanya salah satu program pendukung di PKBM”

Hal tersebut semakin menguatkan anggapan bahwa pengelolaan taman bacaan pada lembaga PKBM bukan menjadi program prioritas yang harus dikembangkan.

Banyak hal sejatinya yang menjadi latar belakang, kenapa pengelolan taman bacaan pada satuan pendidikan nonformal khususnya di PKBM belum berjalan optimal, namun menurut Ketua PKBM Karya Kasih pada wawancara dengan pengembang menyatakan bahwa:

Maunya mau lebih dari itu tapi kami terkendala dengan mereka punya kesejahteraan, ada banyak juga yang sebetulnya punya potensi, terutama kami punya warga belajar yang lulusan dari sini. Kan ada yang kuliah siang, maksudnya kami mau berdayakan tetapi terkendala dengan dana”.

“Yang menyebabkan ini karena kami tidak punya tenaga khusus yang harus standbay disini untuk full time, seandainya kalau kami punya itu pasti bisa”

Ketenagaan di Badan Perpustakaan Provinsi Papua, karena merupakan instansi pemerintah secara umum ketenaagaannya terdiri tenaga fungsional umum dan tenaga fungsional tertentu (pustakawan). Pustakawan memiliki kewajibana untuk membina berbagai jenis perpustakaan yang ada di daerah dalam rangka meningkatkan minat baca, karena hal tersebut merupakan tugas pokok fungsi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh bu Yohana (Pustakawan):

“ Semua jenis perpustakaan, (apa itu perputakaan sekolah, perpustakaan kampung, perpustakaan umum) tenaga pengelolaanya kita (pustakawan) yang membina, memberikan pelatihan (bagaimana membuat katalog, klasifikasi, bagaimana membuat kegiatan agar masyarakat minat membaca)”

Lain halnya dengan ketenagaan di Sekolah Menulis Papua (SMP), meskipun orangnya sudah ditentukan berdasarkan dengan bagian-bagian, akan tetapi mereka bergerak secara ramai-ramai apabila ada kegiatan literasi, tanpa harus kaku dengan bagian-bagian yang sudah ditentukan. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Ibu Dzikriyah: “Mengelola perpusatakaan ramai-ramai biasanya 5 orang, tapi kalau ramai semuanya 15 orang ikut, tugasnya mensortir buku dan memastikan kegiatan tersebut berlangsung”

Selain dari sisi kuantitas ketenagaan (pengelola) taman bacaan yang sangat kurang, dari sisi kualitas, khususnya pemahaman atau kompetensi tentang pengelolaan Taman Bacaan Masyarakat dan budaya literasi pun juga masih sangat rendah. Hal ini ditambah lagi dengan sulitnya menemukan orang-orang atau kelompok masyarakat penggiat literasi, di kota Jayapura saja pengembang baru menemukan satu komunitas yang konsern terhadap literasi (Sekolah Menulis Papua).

Keberadaan pegiat literasi menjadi sebuah instrumen penting dalam upaya mendorong masyarakat untuk menumbuhkan dan meningkatkan budaya baca, karena berdasarkan pengalaman di wilayah Indonesia bagian barat, literasi tidak lagi hanya sekedar program tetapi telah menjadi sebuah gerakan kolektif bersama yang sangat masif, dan semua itu relawan pegiat literasilah yang turut berperan vital disamping perhatian pemerintah juga, dan hal tersebutlah yang belum didapati atau masih sulit untuk konteks Papua.

2. Kegiatan Taman Bacaan Masyarakat

Sebuah kondisi ideal ketika taman bacaan bertumbuh menjadi pusat literasi di tengah-tengah masyarakat bukan malah sebaliknya keberdaan taman bacaan tidak dirasakan masyarakat dengan artian adanya taman bacaan sama dengan tidak adanya, tidak meberikan pengaruh terhadap tumbuhnya budaya literasi dimasyarakat sebagaimana tujuan awal dibentuknya sebuah taman bacaan.

Seiring perkembangan taman bacaan hendaknya mampu bertransformasi menjadi sebuah gerakan kolektif masyarakat tidak hanya bersifat statis sebagaimana selama ini yang umum terjadi pada taman bacaan. Mayoritas taman bacaan masyarakat selama ini hanya bersifat statis, menunggu pengunjung, dan sekedar memberikan layanan baca dan peminjaman. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Magdalena bahwa:

“TBM kami statis, karena kami tidak punya sarana untuk itu (semisal TBM keliling)”

“untuk sementara kami hanya bisa menyiapakan seperti itu, mereka membaca, ada kalau senang meminjam untuk beberapa waktu”

Keberadaan badan perpustakaan provinsi sebagai lembaga yang konsern dalam literasi dirasa sangat penting peranya dalam meningkatkan budaya baca masyarakat, selain program baca keleksi buku di tempat, dan layanan peminjaman buku juga ada program lain yang diselenggarakan dalam rangka mendongkrak minat baca dan kunjungan masyarakat ke perpustakaan, diantaranya kegiatan perlombaan, hal ini sebagaimana di sampaikan oleh Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Badan Perpustakaan Provinsi Papua:

“ kita ada kegiatan selain layanan, yaitu kegaiatan lomba-lomba. Kita kan ada dana APBD dan APBN, dari APBN pernah dilaksanakan lomba bercerita tingkat SD, ada lomba perpustakaan sekolah, perpustakaan kampung, pustakawan berprestasi dan juga kegiatan pemasyarakatkan pepustakaan melalui sosialisasi”.

Selain kegiatan perlombaan juga ada kegiatan pepustakaan kampung dalam rangka memasyarakatkan perpustakaan, ada sekitar 17 kampung di Provinsi Papua dan Papua Barat diberikan bantuan dalam pengembangan perpustakaan kampung bawah binaan Badan Perpustakaan Provinsi Papua. Hal ini sebagaiaman yang disampaikan Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Badan Perpustakaan Provinsi Papua:

“Tahun ini dari APBN, kami menyalurkan bantuan untuk 17 perpustakaan kampung, bantuan itu dalam bentuk buku dan rak buku. Satu kampung 1000 buku”

Sedangkan kegiatan yang dilakukan di SMP tidak hanya menyediakan buku-buku, akan tetapi lebih bersifat aksi literasi, seperti pelatihan menulis, bedah buku, terapi menulis bagi warga binaan LAPAS, diskusi reguler, baik buku yang ditulis sendiri oleh anggota komunitas maupun buku-buku lainnya yang sudah beredar. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala SMP, Ia mengatakan bahwa:

“Kegiatan di SMP yakni bedah buku, workshop penulisan karya fiksi, pelatihan photografi, pelatihan menulis, pelatihan membuat skenario film, kafe sastra bentuk kegiatan seperti talk show tentang hubungan sastra dengan ilmu lain, pelatihan jurnalistik, dan fasilitasi menulis bagi warga binaan”

Kegiatan taman-taman bacaan yang hanya sekedar memberikan layanan baca ditempat dan peminjaman koleksi buku atau bersifat statis tentu dianggap belum mampu berkontribusi optimal terhadap bertumbuhnya budaya literasi. Konsep atau model taman bacaan seperti ini sudah seharusnya bertransformasi kearah yang lebih menyetuh akar rumput dalam hal ini masyarakat secara langsung. Taman-taman bacaan sudah seharusnya berorientasi pada bentuk-bentuk kegiatan yang fokus pada gerakan penyadaran dan pemasyarakatan budaya literasi secara terus-menerus dan berkelanjutan.

3. Penyelenggaraan Taman Bacaan Masyarakat

Kehadiran pemerintah dalam upaya mendorong tumbuhnya taman bacaan masyarakat dan tumbuhnya budaya literasi tentu sangat diharapkan oleh pengelola. Pemerintah diharapkan mampu memberikan solusi atas keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh pengelola karena hal tersebut merupakan tanggung jawab sekaligus kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya.

Namun yang terjadi dilapangan tidak demikian, banyak taman bacaan yang ada tidak mendapat diperhatikan dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang memeiliki kewenangan melakukan pembinaan dari kewilayahan. Sehingga keberadaan Taman Bacaan Masyarakat bisa dikatakan mati suri karena minimnya sentuhan dari pemerintah. Hal ini senada dengan penyataan Magdalena yang menyatakan bahwa:

“Jujur saja kami tidak pernah dapat dari pemerintah, kami hanya dapat modul Paket B (dinas pendidikan kota), dari pemerintah pusat belum karena belum pernah dapat, kami hanya dapat sarana buku saja.

Sedangkan dukunganya dari masyarakat adalah sumbangan buku dari alumni, orang tua murid yang telah lulus”.

Setiap pengelola patinya memili harapan yang besar atas apa yang telah dibangunya, termasuk terhadapa taman bacaan yang sudah dirintis dan diubayakan berkembang, meski kondisi ideal yang diharapkan tersebut belum bisa terwujud karena berbagai macam faktor yang mempengaruhi hal hal tersebut terjadi. Hal ini sesuai pernyataan Magdalena :

TBM ini kan salah satu yang bisa membuka wawasan orang banyak, merupakan jendela melalui memabca, jadi kami memeberikan motivasi terbatas, melalui informasi-informasi dan itu tidak setiap saat. Jadi harapan saya ya ada perhatian mungkin untuk bisa mengakomodir satu pengelola dan dia full time disitu, untuk bisa mengelola dengan baik (manajemenya) dan juga peralatanya masih sangat kurang, katalognya juga belum ada, sebetulnya dari segi pengelolaan yang ini masih banyak kekeurangan kami, masih sangat banyak yang kami butuhkan dari segi tenaganya, prasaranya kami belum punya”.

Jika dilihat dari aspek sarana dan prasarana yang dimiliki Sekolah Menulis Papua, tentu masih jauh dari kata lengkap bahkan kurang memadai, baik perpustakaan yang ada di rumah maupun perpustakaan jalanan yang ada taman IMBI. Perpustakaan yang ada di rumah hanya ada 1 unit lemari dan koleksi buku pribadi. Sedangkan perpustakaan jalanan hanya menggelar buku di kursi, alat untuk mengangkut buku hanya menggunakan sepeda motor anggota SMP, wadah yang digunakan kardus dan tas anggota SMP. Jika hujan, mereka menggunakan spanduk untuk melindungi buku agar tidak basah.

Hal tersebut diperkuat dengan peryataan oleh informan yaitu Dzikry mengenai pertanyaan “Apa kendala yang Anda hadapi dalam penyelenggaraan perpustakaan ini”? Ia mengatakan:

Kadang hujan sementara tidak ada fasilitas. Idealnya ada fasilitas untuk mengangkut buku agar lebih praktis, sekarang membawa buku, teman-teman bawah kardus dan menaruh buku ditas”

Sedangkan dukungan penyelenggaraan perpustakaan khususnya untuk kalangan perusahaan sudah baik, namun semuanya tergantung dari proposal yang diajukan, bentuk kegiatan yang laksanakan dan kemampuan berkomunikasi. Sedangkan dari masyarakat atau pemerintah belum kelihatan dukungannya.

Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan informan Dzikry. Ia mengatkan bahwa:

“Dukungan dari Masyarakat: penghargaan ketika masyarakat datang membaca buku di taman IMBI. Dari perusahaan: dukungan dana, seperti dari Indosat pernah membantu 800 ribu, Trakindo 700 ribu, Sumber Makmur 500 Ribu, pernah satu kali dari TELKOMSEL dapat 20 juta, kita gunakan untuk 2 tahun. Sedangkan dari pemerintah sama sekali belum ada, pernah mengajukan ke dinas tapi hasilnya nihil”

Adapun harapan terkait penyelenggaraan perpustakaan, baik terhadap masyarakat maupun pemerintah yaitu Masyarakat lebih gemar membaca agar ada peningkatan ekonomi dan peningkatan pengetahuan lebih baik lagi. Sedangkan pemerintah harus lebih peduli dengan kegiatan-kegiatan literasi, tidak hanya sekedar slogan, akan tetapi perlu ada tindakan secara nyata. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ketua SMP, bahwa:

“Kegiatan kontinyu, bisa lebih baik, ada efek masyarakat, sadar membaca buku, ada nilai ekonomi yang meningkat. Harapan terhadap Pemerintah: lebih memperhatikan kegiatan-kegiatan literasi, karena entah semacam slogan bahwa literasi adalah jantung kehidupan, nah itu pemerintah dimana? Untuk mewujudkan hal tersebut, dan perhatiannya mana?”

Sudah barang tentu sebuah lembaga, termasuk taman bacaan tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan stakeholder yang lain, ketika tingkat kesadaran masyarakat akan keberadaan taman bacaan dan budaya literasi masih sangat rendah. Oleh karenanya pemerintah baik pusat maupun daerah sudah sehrusnya memebrikan perhatian yang lebih besar dalam upaya membumikan budaya literasi, khususnya di wilayah paling timur Indonesia (Papua), karena dilihat dari banyak sisi Papua masih banyak tertinggal jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainya, terlebih kaitanya dengan budaya literasi.

4. Sarana Taman Bacaan Masyarakat

Di era dengan kecangihan teknologi dewasa ini sejatinya menuntut semua lembaga tidak terkecuali taman bacaan untuk beralih pada sistem komputerisasi dalam penyelenggaraan administrasinya, karena hal ini tentu akan sangat memudahkan baik bagi pengelola maupun pengunjung taman bacaan kedepanya. Merujuk pada kondisi tersebut ternyata kondisi dilapangan yang didapati pengembang berbeda kebanyakan taman bacaan belum terkelola dengan baik. Jangankan berbasis komputerisasi, katalog saja belum ada disamping itu memang sarana dan prasana pendukung penting yang lainya juga sangat kurang. Sehingga taman bacaan yang notabene merupakan bentuk layanan kepada masyarakat tidak didukung dengan keberadaan sarana dan prasarana yang memadai. Perlu perhatian pemerintah secara khusus untuk menata dan menginventarisi kembali keberadaan taman bacaan dan juga sarana pendukungnya. Kondisi itu juga dialami oleh TBM yang dikelola PKBM Karya Kasih, mereka berharap ada dukungan sarana bagi TMB, sebagaimana kuitipan wawancara dengan Ketua PKBM yang menyatakan:

“Kalau bisa ada satu komputer yang khusus atau aplikasi untuk TBM dengan tenaganya, terus katalognya, meja dan lemari-lemari buku / raknya. Kalau bisa kedepanya bisa dibangunkan prasarana agar cukup untuk penyimpanan buku”.

Sarana dan prasarana memang menjadi salah satu hal yang penting untuk mendukung pengelolan taman bacaan, dan hal tersebut juga menjadi harapan dari pengelolah untuk bisa terpenuhi.

5. Karakteristik Pengunjung Taman Bacaan Masyarakat

Pengunjung atau pembaca merupan faktor tujuan utama yang menjadi sasaran bagi keberadaan taman bacaan, karena indikator jumlah pengunjunglah yang dijadikan patokan atau dasar bahwa taman bacaan itu dikatakan hidup atau tidak. Semakin banyak pengunjung yang mengakses layanan yang ada pada taman bacaan berarti taman bacaan itu hidup dan juga sebaliknya bila taman bacaan itu sedikit pengunjungnya atau bahkan tidak ada maka dapat disimpulkan taman bacaan itu mati, hanya pajangan buku-buku yang berderet rapi di rak buku.

Sepinya pengunjung di taman bacaan juga dialami oleh taman bacaan yang dikelola oleh PKBM Karya kasih hal ini dikarenakan minat baca masyarakat yang masih rendah, sebagiman penyataan Magdalena:

“Kesadaran masayarakat yang masih kurang”

“Seimbang antara Anak-anak dengan orang dewasa”

“buku belum terlalu sesuai, buku yang dibawah kesana buku koleksi pribadi, kalau buku anak, buku anak saya. Sedangkan buku vokasi belum ada”

Mayoritas taman bacaan yang ada belum menyesuaikan koleksi buku dengan karakteristik pengunjung.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional

Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Nomor 02 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan Model Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat

Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Nomor Nomopr 35 Tahun 2017 tentang petunjuk teknis penyaluran bantuan penyelenggaran program pengembangan budaya baca.

Arifin, Ridwan Nur. 2012. Perpustakaan dan TBM, Versus or Featuring. Yogjakarta (diakses pada web http://coretanridwan.blogspot.com).

Departemen Pendikdikan Dan Kebudayaan. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, 2016. Juknis penyelenggaraan Taman Bacaan Masyarakat. Jakarta: Kemdikbud

Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, 2017. Panduan Penyelanggaraan Program Gerakan Indonesia Membaca. Jakarta: Kemdikbud

Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, 2017. Panduan Penyelenggaraan Kampung Literasi. Jakarta: Kemdikbud

Mudjito. 2001. Materi Pokok Pembinaan Minat Baca. Jakarta: Universitas Terbuka.

Putu Laxman Pendit. 2007. Mata Membaca Kata Bersama. Kumpulan Esai tentang Buku, membaca, dan keberaksaraan. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.

Membaca Buku, membaca Dunia, diakses dari laman: http//www.tabloidjubi.com pada Jumat, 28 April 2017.

Transkrip wawancara, Studi Lapangan Penyelenggaraan TBM di Kota Jayapura-Papua, tahun 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terimakasih bpk...salam hormat,,,masih terus belajar

01 Sep
Balas

Terima kasih Pak informasinya. Semoga minat baca masyarakat Indonesia bisa meningkat. Salam literasi

29 Aug
Balas



search

New Post