Tanpamu

Malam telah tiba dan hari mulai gelap. Aku duduk termangu sembari mengingat sang kekasih dan berharap dalam mimpi bertemu untuk menyapa. Ada rasa gundah, bingung dan takut terseduh jadi satu, bibir yang mulai membirupun tak mampu menyusun kata. Hari-hari yang sudah kita jejaki bersama, telah memagut getarku tak tersisa, hingga aku tak tahu dengan apa kutepikan adamu walau sejenak saja. Tiba-tiba terusik rasa rindu yang menelusup disetiap kedip mataku, begitu menyesakkan dan menyisakan lirih. Namun aku tersadar, Kamu tak disisiku saat ini.

Dalam diamku aku ingin melupakannya seperti ia melupakanku dan aku ingin berhenti mencintainya seperti ia berhenti mencintaiku. Namun tiba-tiba sekelebat bayang hitam muncul, mataku terpana dan melotot kearah jendela. Namun, diriku bagai patung yang tegak berdiri dan tak bisa melangkah kesana-kemari untuk berlari mengikis hawa dingin yang bertahta dirongga jiwa. Tubuhku mulai gemetar, gigi-gigiku gemeretak kian terasa nyeri dan raut mukaku menjelma ketakutan hingga malam mulai menutup dirinya.

Malam masih sama dan histeria duka menambah suasana jiwa kian menghampa dikesunyian dan kelam masih menyembunyikan dia dalam realita yang tak terungkap logika. Aku tersentak, bangkit dan mencoba mendekati jendela. Aku lihat sorot mata yang mulai memerah merona, wajahnya tersayat-sayat, remuk, berantakan, hancur berkeping-keping dengan darah yang masih mengalir dan rambut panjangnya serasa menyapu tanah, namun dia tetap bergeming. “Andai dirimu disini untuk membuka kembali jalan cinta, takkan ada rasa rindu yang mengisi relung hatimu. Namun, seribu puisi cinta yang kusimpan, terbalut akan seribu sayangku padamu. Seribu doa untukmu kutitipkan lewat angin malam. Selamat tidur panjang sayang”, ucapku lirih.