Feerlie Moonthana

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Dua Bentang Tikar Sembahyang

DUA BENTANG TIKAR SEMBAHYANG

Oleh : Feerlie Moonthana Indhra, S.Pd.M.MM.Pd.

......., bila ada cukup sisa

Jahitlah lembaran langit tadi untuk

Sepasang tikar sembahyang:

Sebentang untukku, yang masih belajar jadi imam

Sebentang untukmu, makmum yang paling kusayang.

(Dari puisi Hasan Aspahani; Dua Bentang Tikar Sembahyang).

Ayah menerima lamaranmu untukku karena kesalehan yang ia lihat membias lembab di setiap langkah dan lakumu. Akupun tak ragu sebab senyum santunmu dan tatap lembutmu sudah sedemikian rupa menyihirku. Kita memang tidak pernah dipertemukan waktu sebelumnya, namun takdir yang membuat sesuatu pasti dan tidak pernah kebetulan, menuntun derap jiwa kita untuk menyatu dalam satu prosesi walimahan sakral yang di baluri segala kesederhanaan dan telah mampu menitiskan keharuan yang dalam. Kucium sepenuh takzim punggung tanganmu sesudah ijab qabul di Jum’at pagi yang damai itu dan sepasang mukena kau persembahkan sebagai mahar putih, sesuci harapan kita.

Bahtera pertama kita yang mungil mulai berkayuh. Menempuh terang dan mendung. Menelusup ke danau tenang hingga laut yang sarat gelombang. Menembus sungai di rimbun belantara yang penuh rahasia. Tak sekalipun kau lepaskan hangat rengkuhmu di pundakku seperti tak sedetikpun kubiarkan renggang dekap eratku di pinggangmu. Seperti sembab rindu Adam kepada potongan rusuknya; Hawa, kita saling menepiskan gundah. Seperti gemuruh cinta di jantung Bilqis the Queen of Saba’ kepada Sulaiman, kita saling menumbuhkan kegembiraan. Selembut tulus kasih Muhammad terhadap Khadijah, kita saling belajar menangkap makna yang paling rahasia.

Aku memakmumimu sepenuh tunduk. Sebab hidup tak lain hamparan untuk melabuhkan ribuan ruku dan ribuan sujud. Di belakangmu aku belajar menerjemahkan dzikir pada untaian tasbih tulang unta yang dioleh-olehi ibumu dari Makkah, sesaat sebelum sepasang tanganku dan tanganmu serentak menadah gemetar ke langit kasih sayangNya Yang Maha.

Aduhai Kekasih dunia akhiratku. Penghulu rindu perjalanan hidup hingga matiku. Bahkan seluruh cinta yang penuh di kalbuku, serasa tak cukup membalas semua kebaikan yang sudah begitu ikhlas kau persembahkan. Begitu baiknya Tuhan, sebab telah mengirimmu ke pintu hari berbilang tahun yang lalu. Menghadiahi aku seorang imam berhati santun, yang akan menuntun langkah tertatihku meretas ombak, badai dan gelombang.

Tentu bukan perkara mudah mendampingi perempuan yang tak akan pernah bisa menghiburmu dengan keturunan yang sehat dan saleh (sejak aku terdiagnosa menderita kista endometriosis dan rahimku terpaksa diangkat) dan ku yakin tentu merupakan hal yang teramat sulit berdamai dengan hatimu sendiri juga keluarga besarmu yang senantiasa menuntut kesempurnaan akan buah cinta kasih rumah tangga kita. Penerus hidup di alam fana dan penyangga ruh di alam baka. Lalu di tengah perjalanan yang tak selalu penuh tawa itu, kau hadapi pula kenyataan bahwa nyeri yang sering menghampiri bukit kecil di dadaku adalah kangker.

Aku terjatuh di sebuah jurang lara yang teramat dalam. Sebagai wanita aku merasa begitu tak sempurna. Lembah yang mestinya mampu menjadi sawah ladang yang subur. Milikku hanyalah tanah kerontang yang tak mampu menghasilkan apa-apa, meskipun dalam setiap waktu dan helaan nafas kau senantiasa berusaha untuk menyuburkan lahan itu dengan siraman cinta dan kasih sayang. Bukit teduh yang mestinya menjadi tempatmu melerai kalbu yang terkadang rusuh, justru telah menjadi tandus, berbatu-batu bahkan berhama. Kenyatan inilah yang membuatku semakin tak sempurna berkhidmat padamu. Imamku tersayang.

Namun lihatlah! Tak sekali jua kulihat kau menyesali semua. Meski sering kudapati genangan bening di lembut sudut matamu, tetap kau sungging senyum ketika dalam banyak hal kau dapati aku begitu tak berdaya dan teramat bergantung padamu. Aku tak mampu membayangkan andai nahkoda biduk kita, bukan dirimu? Mungkin sudah lama pelayaranan ini berakhir.

Pelayaran kita semakin kelat dan pekat, manakala penyakit yang semula hanya berupa benjolan sebesar kelereng dan berpendar-bendar di bukit kecilku, yang kupikir hanyalah benjolan biasa, tiba-tiba mengeluarkan darah dan bernanah. Dari hasil diagnosa terakhir benjolan itu diponis kangker ganas. Aku merasakan sakit yang sangat.

Hari-hariku berlalu semakin berat. Kemoterapi yang menyakitkan membuatku kehilangan banyak kekuatan, bahkan sekedar untuk menopang tubuh yang semakin ringkih. Kepalaku yang perlahan kehilangan mahkotanya tak urung menderai cemas, karena kian mengingatkan betapa aku telah kehilangan kekuatan untuk berkhidmat padamu, Imam Tercintaku.

Kitapun mulai mendiskusikan kematian. Sebab ia terasa semakin dekat saja. Dan kita sama-sama meyakini sakaratul maut adalah babak perjalanan baru ke sebuah tempat yang menjadi tujuan akhir penghambaan manusia. Tentu tidaklah gampang menerima kematian dengan hati yang sungguh-sungguh lapang. Namun kau dan aku berusaha untuk tidak pula menyikapinya sebagai semata-mata keperihan yang hanya menumpahderaskan airmata. Maka yang kita lakukan kemudian adalah saling menguatkan. Tak ada yang pasti tahu alamat ajal saat menyua hidup seseorang. Ia adalah sebab bagi perjumpaan denganNya untuk mereka yang bersungguh-sungguh memaknai hidup sebagai ibadah. Maka siapapun kelak yang berpulang terlebih dahulu, tak akan mengurangi cinta yang telah tumbuh sepanjang penempuhan itu.

Tak ada yang harus kau risaukan. Begitu selalu kau katakan. Memang untuk menghiburku, namun tak cukup bisa membuatku kuat melawan rasa bersalah. Kau rengkuh tubuhku lembut tanpa kata-kata, namun lewat hangat kecupmu di kering kulit dahiku, kau ungkapkan sepenuh cinta bahwa engkau akan bersabar dengan semuanya.

Akankah nanti kita dapat dipertemukan kembali?

Kutatap penuh sepasang matamu yang selalu merunduk teduh.

Kau tersenyum. Insyaallah, Makmum Tersayangku

Berbagai obat dari dokter sudah kuminum. Bahkan operasi pengangkatan payudarapun sudah aku lakukan. Namun ternyata sel kangker yang ganas itu benar-benar telah melumat habis kekebalan di tubuhku.

Aku anfal dan harus dilarikan ke rumah sakit. Aku mulai mengalami krisis keikhlasan, dan kesabaran. Bukan karena penyakit yang terus menggerogoti setiap organ dalam tubuhku, namun lebih kepada rasa iba dan kasihan terhadapmu yang selalu setia merawat dan mendampingiku. Sementara aku sangat singkat waktuku untuk berbakti padamu. Seperti yang sering kau katakana bahwa aku tak perlu merasa bersalah atau menyesali semua kodrat diri, sebab semua sudah diaturNya, Termasuk penyakitku. Engkau hanya memintaku untuk lebih sabar dan kuat menerima wujud cinta Sang Pencipta.

Lamat terdengar suaramu melantunkan surrah Yasin. Sesekali kulihat kau menyeka airmata. Di detik yang sama aku diiris perasaan sakit yang serupa. Betapa pisau perpisahan yang seolah terhunus di depan mata tak lama lagi akan segera meneteskan perihnya sebelum menyisakan bilur-bilur luka.

Saat selesai, kau kecup sampul kuning keemasan itu lalu meletakkannya di sisi kanan bantalku. Kemudian kau bentangkan tikar sembahyang dari pandan hadiah dari nenek saat pernikahan. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Ah, betapa aku ingin berada di belakangmu menunaikan tahajjud itu seperti biasa. Dengan dua tikar sembahyang, kita usaikan rakaat-rakaat khusyu’ dalam munajat syukur dan juga doa yang runduk.

Salam kau usaikan. Ketika wajahmu menoleh ke tempat biasa kau jenguk senyumku, makmummu ini, kulihat hujan yang runcing itu menggelinding deras di pipimu. Kau menangis. Sungguh betapa ingin aku menghambur memelukmu. Membiarkan kau terisak sepuasnya di pangkuanku sebelum kuseka lembut airmatamu yang bening itu. Aku nyaris tak pernah melihatmu menangis. Hingga ketika harus menyaksikanmu begini terluka, sungguh tak mampu kuhalau rasa sakit yang sama untuk tidak merejamku sedemikian rupa.

Kau bangkit mendekati tempat berbaringku. Kemelut seolah terapung di kedua teduh matamu, mengalirkan sizofrenia dan asetat yang teramat pekat ke jiwaku, dan mungkin telah kau lihat lara itu tumpah dan meruah di wajahku yang telah kehilangan ronanya. Bulir-bulir itu bertambah deras. Lalu lagi-lagi kau sunggingkan sebuah senyum ketegaran mercusuar di tengah lautan. Dengan jemari kasihmu kau usap airmataku. Kurasakan berulangkali kecup hangatmu di dahi dan kedua belah pipiku dan dengan gemetar kau raih jemariku. Sebuah cincin platina bermata putih melingkar longgar di jari manisku yang kian hari kian kurus itu. Kau kecup lembut buhul yang menjadi penanda hubungan kita.

Sekarang aku ikhlas, Sayang. Apapun yang terbaik bagimu. Jika kau masih sanggup bertahan, maka berjuanglah demi cinta kita. Namun jika telah kau lihat jalanmu di depan, melangkahlah dengan tenang. Karena doaku akan terus menyertaimu, Makmumku Tersayang…

Kudengar lirih katamu. Hujan dari teduh matamu menderas kembali. Kau kecupi berulangkali punggung tanganku yang pucat. Di telingaku lafash syahadah yang kau bisikkan terdengar begitu indah. Meski rasa sakit ini kian mendera, merambati sekujur tubuh, namun aku tak ingin memperlihatkannya padamu. Ku tutup mata, mencoba melerai rasa sakit.

Tahukah kau, Imamku Tercinta, aku belum mau melangkah sebelum mengucap salam padamu. Maka kumohon guncanglah lembut tangan atau bahuku, agar kau bisa mendengar suaraku.

“Tataplah aku sebentar sayang” pintamu dengan suara bergetar. Lembut kau guncang bahuku. Meski teramat berat, kurasakan kelopak mataku membuka. Senyum hangatmu rekah di bawah sepasang matamu yang basah.

Assalamu’alaikum… bisikku lirih.

Kudengar kau menjawab salamku.

Lalu lafash syahadah pun kau tuntunkan ke lidahku yang terasa semakin berat dan kelu. Sungguh aku bahagia sebab meski pelupukmu sembab, kau tetap berusaha tersenyum seperti yang dulu kunjung kuminta.

Kali ini kudengar kau kembali mengulang lirih sepotong bait puisi yang pernah kau bacakan untukku saat kita duduk berdua menjelang sebuah senja tembaga di beranda:

……., bila ada cukup sisa

Jahitlah lembaran langit tadi untuk

Sepasang tikar sembahyang:

Sebentang untukku, yang masih belajar jadi imam

Sebentang untukmu, makmum yang paling kusayang.

Imamku tersayang! Mungkin pelayaran biduk kecil kita harus kandas di batas usiaku, namun jika boleh sekali lagi ku meminta. Lepaslah aku dalam penghambaan kita bersama untuk yang terakhir kalinya. Jadilah kau imamku, dan aku menjadi makmummu. Hantar aku untuk menemui kekasih sejati dengan keikhlasan.

Seperti mampu menembus cakrawala batinku. Tanpa isyarat apalagi permohonan dariku, kau beranjak ke kamar mandi tuk berwudhu. Kudengar gemericik air memecah kesenyapan ujung malam yang kelat. Lalu tak lama berselang kulihat kau mengusap debu-debu di dinding kamar dekat kepalaku. Kemudian tangan lembutmu mengusapkannya di wajahku. Lalu tanganmu berpindah ke tangan kananku, kau sapu dari sikuku hingga ke jari-jemari tanganku, kemudian hal yang sama kau lakukan di tangan kiriku. Terakhir kau letakkan tangan kiriku di antara perut dan dada kemudian dengan perlahan tangan kananku kau letakkan di atasnya.

“Kita sembahyang bersama sayang, kita akan berdoa untuk kesembuhanmu”. Lembut kau bisikkan kata itu di telinga kananku. Kuanggukan kepalaku tanpa bisa bicara padamu. Dua hari ini memang aku sudah sangat kesulitan untuk berbicara. Hanya ada titik-titik bening di sudut mataku, mewakili ucapan trimakasihku untukmu. Kau bentang dua tikar sembahyang, satu untukmu, satu lagi kau siapakan untukku, meski aku tak mampu untuk menempatinya.

Lamat-lamat ku dengar kau membaca ikomad, Lalu dengan suara sedikit gemetar oleh letupan rasa haru, kau baca Iftitah, dilanjutkan membaca Al-Fateha, dan membaca Al-Falaq. Sampai kau takbir aku terus mengikuti lafazmu dengan bahasa nurani meski dengan nafas tersengal.

Tiba-tiba sejumput angin dingin menerpa wajahku, dan aku seakan-akan melihat wajah lain yang menyeruak di antara nuansa hening itu. Sekelebat wajah penuh cahaya tersenyum padaku. Aku merasa tubuhku semakin dingin, dan tiba-tiba saja aku merasa seperti Quttnun yang melayang di bawa sesosok rupa yang tak bisa kuraba.

Subuh yang basah, kudengar kau masih khusuk berdzikir, bertakhmid. Dan berdoa dengan suara bergetar dan terbata-bata. Aku semakin jauh meninggalkanmu Sayang. Tubuhku terus melayang melewati lorong-lorong panjang yang mencekam. Sosok rupawan itupun menghilang. Tiba-tiba aku merasa sendiri dan dihempaskan dalam lorong kegelapan. Lorong kelam itu begitu panjang, nafasku mulai tak teratur. Seiring denyut jantung yang mulai mengendur. Aku betul-betul telah kehilangan kesadaran.

Dalam alam bawah sadar aku seperti di bawa masuk ke dalam ruang gelap dan pengap. Bau busuk menusuk hidung. Dan suara-suara aneh lamat terdengar di telingaku. Tambah lama suara-suara itu bertambah jelas, seram dan menakutkan. Ada suara seperti meratap pilu, ada lengkingan menyayat kalbu dan ada isak tangis yang begitu menggetarkan sukmaku. Aku tidak bisa melihat semuanya secara nyata. Namun semua suara itu seperti sangat dekat denganku.

Aku ingin berlari, tapi ke mana? Saat inipun aku tak tau sedang berada di mana? Sudah matikah aku? Namun suara hatiku mengatakan belum. Dalam kebimbangan dan kepasrahan, kusebut berulangkali Asma Allah. Sepotong ayat dari Surat Al Baqarah yang begitu ku hafal, langsung mengalun dari kedua bibirku wasta inu bis sobri was salah wa innaka la kabiratun illa alal khasyi’in allazina yazunnuna annahum mulaqu robbihim wa annahum illahi rojiun* Suaraku yang kupikir hanya terdengar olehku, ternyata begitu bergema.

Tiba-tiba aku seperti melihat satu titik cahaya dan semakin lama semakin membesar. Dalam hitungan detik aku sudah dapat melihat sekelilingku. Subhanallah….

Di satu hamparan yang seperti slide aku melihat Imamku masih duduk bersimpuh di atas tikar pandan. Menjerit aku memanggil-manggil namanya. Namun Ia tak pernah mendengarku. Bahkan slide itu kini bertukar dengan pemandangan yang lebih menakzubkan. Aku seperti melihat alam yang begitu indah, dimana ada bunga-bunga, sungai-sungai yang mengalir di dalamnya susu dan madu, buah-buahan yang menggiurkan, dan para bidadari yang cantik jelita.

*

Ya Allah inilah impian setiap penghambaan makhlukMu padaMu. Akupun berusaha untuk menjamahnya. Namun lagi-lagi slide itu menghilang. Berganti dengan slide diriku. Aku seperti melihat pragmen atas semua lakon yang sudah kulakukan, dan itu membuatku merasa betul-betul telanjang. Memang tak ada yang dapat kusembunyi kan dariMu.

Ingin kugapai gambar sendiri. Namun lagi-lagi slide itu pupus dan berganti dengan gambarmu yang dikelilingi oleh makhluk-makhluk menyeramkan. Mereka semua menyerangmu dari segala penjuru. Ada yang memukul dadamu dengan godam, ada yang kulihat menimpakan batu besar di kepalamu, ada yang lebih beringas ingin mencongkel kedua matamu dan darah kulihat sudah membanjiri tikar sembahyangmu.

Aku menjerit-jerit histeris. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk menolongmu, maksud hatiku. Tapi justru makhluk lain yang lebih menyeramkan datang padaku. Ia memberikan reaksi yang sama padaku. Aku berusaha berlari sambil terus memanggil namamu Makhluk yang teramat menyeramkan itupun terus memburuku. Aku merasa tak kuat lagi untuk berlari. Tubuhku terhuyung dan aku terjatuh dari ketinggian yang tak terukur.

“Aaaakhhhh!” Aku menjerit sekuat tenaga. Tes! Satu titik air jatuh tepat di kedua bibirku. Ku buka mata.

“Sayang, kau pasti bermimpi buruk lagi. Itu karena tikar sembahyang itu sudah kau bentangkan, tapi tidak kau pungsikan malam ini. Ayo bangun! kita tahajud bersama”. Imamku mengingatkan.

T A M A T

“Muara Bungo yang senyap bersama sepenggal harap”

01.12.00

* dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu

berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan me-

nemui Tuhannya , dan bahwa mereka akan kem\bali kepadaNya

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih Pak untuk motivasinya. Mohon saran untuk selanjutnya...

30 Sep
Balas



search

New Post