Firya aulia

Firyati, S.Pd sering muncul dengan nama pena Firya Aulia. Lahir di Kerinci 06 Agustus 1981. Menikah dengan Hasril Apriyanto Putra dan Memiliki seorang putri ber...

Selengkapnya
Navigasi Web
Embun di Mata Jingga  (part 14) cerber
25 Januari tagur hari ke 25

Embun di Mata Jingga (part 14) cerber

"Jadi, kamu putri pertama Lina?"

Aku hanya mengangguk. Aku merasa lelaki itu mengamatiku secara detail. Kaki kirinya diangkat dan disilangkan di atas kaki lainnya. Mengapa kami bisa tertukar? Oh bagaimana nasib Embun, adikku. Di kota yang dia tak tahu, bersama pria yang salah pula.

Aku merogoh saku jaketku. Mencari HP. Aku sudah tak peduli dengan lelaki di depanku yang masih mencoba menginterogasi. Aku menghubungi Embun.

"Hey, aku bertanya padamu." Serunya. Aku memberi isyarat agar diam dan menunggu. Ada hal yang lebih penting dan mendesak. Sementara nada sambung ke Embun terdengar terhubung.

"Hallo ..." terdengar suara lembut di seberang sana.

"Embun ... jangan menangis!" Entah mengapa aku begitu yakin dia akan menangis. "Ini tidak terlalu buruk. Kita akan segera bertukar tempat."

"Jangan menangis!" Ulangku sekali lagi. "Aku menyayangimu." Untuk pertama kali aku mengucapkan kata itu demi menenangkannya.

"Apa itu Embun, Putriku?" Lelaki itu berdiri merebut ponselku. Tapi ...

Klik ponsel itu telah dimatikan.

"Aku sebenarnya tak peduli pada kalian. Pada masalah atau masa lalu, apapun itu. Baik papaku sendiri ataupun anda. Jadi ijinkan aku pergi menjemput adikku."

Lelaki itu termangu. "Kalian saling menyayangi?" tanyanya.

"Cukup kalian saja, orang dewasa yang saling membenci. Kami tak akan mewarisi itu." Aku berdiri, menyandang kembali tas ranselku. Sementara tangan satunya menyeret koper. Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Tujuan sebenarnya dari perjalanan.

"O iya, perjalanan kami sebenarnya hanya membawa satu amanah dari Nek Rawiyah. Hanya untuk memberi kabar bahwa Mamaku sudah tiada."

"Lina?!" Lelaki itu berdiri lagi. Aku membalikkan badan. Pergi.

Brukkk ...

Aku menoleh. Lelaki itu terkulai seraya memegang dada kirinya.

Aku berhenti. Kaki ini mendadak kehilangan arah menapak. Apa aku harus memungut serpihan benci, yang tak berdaya karena kehilangan cinta? Sedangkan aku dan Embun kehilangan segalanya, sejak lama.

Bersambung ...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

25 Jan
Balas

Terim kaish pak sudah mampir. Salam literasi kembali

26 Jan



search

New Post