Firya aulia

Firyati, S.Pd sering muncul dengan nama pena Firya Aulia. Lahir di Kerinci 06 Agustus 1981. Menikah dengan Hasril Apriyanto Putra dan Memiliki seorang putri ber...

Selengkapnya
Navigasi Web
Embun di Mata Jingga (Part 16) Cerber
27 Januari tagur hari ke 27

Embun di Mata Jingga (Part 16) Cerber

Sementara di kota Demaguey, Embun tak kalah bingungnya.

"Jadi kau putri Aslan?" Tanya lelaki paruh baya itu dengan nada tak suka.

"Aku bukan hanya putri Aslan, tapi juga putri Lina." Embun mengingatkan lelaki yang matanya penuh tikam kebencian.

Sejenak semua terdiam.

"Aku akan segera pergi, jika anda tak menyukaiku. Ini kesalahan yang tak disengaja. Kakakku akan datang ..."

"Jingga?!" Lelaki itu memotong pembicaraan Embun.

"Seperti apa dia kini?" lanjutnya.

"Segalanya tentang anda terduplikat sempurna pada kakakku, Jingga."

"Kalian bersama? Sejak Kapan? Lina meninggalkan Jingga demi Ayahmu Aslan. Aku bahkan tak berani menatap dunia sejak hari itu. Aku kalah."

"Anda mungkin kalah. Tapi tahukah kalian para orang dewasa, siapa yang paling menderita? Kami, aku dan kak Jingga." Embun memberikan penekanan pada setiap kata-katanya. Air matanya mulai menitik satu per satu.

"Jangan menangis!" Bentaknya. Dan Embun semakin terisak karena dibentak. Lelaki itu mulai bingung.

"Hey kalau kau tidak berhenti menangis. Aku akan mengusirmu biar di lahap sama hantu jalanan." Lanjutnya.

Tangis Embun semakin keras. Lelaki itu semakin bingung.

"Oke. Terserah kau mau menangis? Silahkan menangis saja. Aku minta maaf kalau salah."

"Anda tidak bertanya mengapa saya menangis?"

"Kau pasti punya alasan sendiri kan? Apa aku harus tahu?" Mata lelaki itu melunak.

"Karena anda mengingatkan saya kepada Kak Jingga."

Eduino, Papa Jingga termangu. Begitu dalam ikatan kedua kakak beradik ini.

"Ceritakan kepadaku tentang Jinggaku!" Pintanya.

Embun berdiri meraih tangan Pak Eduino menuju cermin.

"Lihat saja di sana. Anda dan Kak Jinggaku bagaikan objek dengan bayangan."

"Benarkah? Ah caramu itu membuatku melankolis." Pak Eduino menepis tangan Embun. Begitu tersadar bahwa ini bisa membuat anak itu menangis lagi. Ia kembali minta maaf.

"Maaf."

"Aku sebenarnya tidak peduli, di sana atau di sini. Bersama ayahku atau anda. Sebab aku mengemban tugas yang sama. Bukan untuk mengambil hati, merebut cinta. Tidak! Kami sudah tak peduli dengan itu semua."

"Kami?!"

"Ya. Aku dan Kak Jingga telah menjadi kami." Embun meyakinkan.

"Bentuk kepatuhan terhadap Nenek. Mungkin bakti terakhir kepada Bunda."

"Mengapa Terakhir?"

"Bunda sudah tiada. Entah ada wasiat atau amanah apa, nenek bersikeras mengusir kami untuk pergi sekali ini."

"Lina? Sudah tiada?" Lama ia terdiam. Lalu dengan terburu meninggalkan Embun di ruang tamu.

Perlahan Embun mendengar lelaki itu menangis. Ia persis seperti Jingga. Menyembunyikan segala derita. Bersikap sok kuat dan tegar. Menutupi air matanya hingga mengering sendiri oleh waktu. Dia mungkin adalah rapuh paling rentan.

Bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post