Embun di Mata Jingga (part 17) Cerber
Embun tak bisa pergi, karena harus menunggu Jingga menjemput. Seperti kesepakatan terakhir mereka. Maka ia mencoba melakukan hal yang sekiranya bisa membuatnya lupa bahwa ia sedang tersesat. Kubangan masa lalu ini sangat dalam dan bertabur duri.
Ia mulai memasak, menyulam, juga menulis sebait puisi untuk menghibur diri. Dan kadang-kadang ia keluar untuk sekedar memetik setangkai dua tangkai bunga Canna lily yang banyak tumbuh di pinggir kota. Lalu meletakkannya dalam jambangan di samping jendela.
Eduino yang terlihat cuek sebenarnya selalu memperhatikan Embun. Menyantap hidangan buatan tanganya. Memeriksa kamar saat Embun keluar, seraya memastikan semua kenyamanan.
Puisi itu di tulis pada secarik kertas bergaris warna-warni. Lalu ditempel di jendela. Singkat, dan jelas memperlihatkan aura kesepian.
***
Pada dingin pagi yang menyisakan rintik sepi
Berguguran satu per satu kelopak embun
Memeluk sunyi di kaki bumi
Purnama berlalu dengan cara seharusnya
Mentari tenggelam menuruti perintah alam
Aku mencoba memahami
Bahwa pergi adalah sebuah keniscayaan, saat hati memutuskan untuk datang.
Aku hanya belum terbiasa
Belum***
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Waduh, saya bingung
Jangan bingung bunda. Ikuti dari part 1 ... eh tapi kejauhan. salam kenal bun.