Bapak ... wasiatmu membawaku berjalan di atas kolam pemantul awan dengan pita merah putih terikat di kepala juga serpihan cemas yang terangkum di dada Hingga tiba di lumbung zaman Buku-buku tengah terlelap memangku tabah Aku menyapa atlas yang masih teguh menggaris persimpangan antara antartika dan khatulistiwa

Lalu meminjam runcing bulan untuk membuka botol peradaban Meski setiap hari terik dan rintik lalu lalang di halaman Membuat tikungan tajam sebagai bahan perdebatan

Bapak Ajari aku menuntun Serupa kompas yang jarumnya tak pernah pikun Terka nya akurat tentang selatan dan utara hingga pelayaran tak pernah salah haluan

Kelak jika anak-anak bintang datang

aku sudah sedia

sebab telah lebih dulu kau beritakan

tentang dua kotak bekal,

yang berisi benih keajaiban

Tangan kanan mereka adalah rumah, tanah, pohon dan gunung

Tangan kiri mereka, dentang zaman

yang berputar mengikuti arah mata angin

Aku meletakkan dengan hati-hati

Tak ada yang boleh patah, apalagi mati

segala kata buram tentang maha daya cita harus ditulis

sampai padi menguning, jagung meninggi

sampai ubi menjalar subur, dan kacang membelit sulur

Duhai Bapak aku memang tak setabah air yang meretak karang Tapi sungguh, aku ingin berjuang Melapangkan jiwa untuk menampung semua doa Ijinkan aku terjaga sepanjang masa

Menghidupkan tiga pusaka

Di teras depan, di ruang tengah atau di halaman belakang Aku cermin, aku obor cahaya, aku kereta Hingga anak-anak bintang itu berteriak dengan kata paling sahaja Eureka, eureka ! Dari jendela semesta yang terbuka dengan rela

Sungai Penuh, 29 Agustus 2023