Fitri Aliningsih

Seorang guru kecil dengan semangat yang besar....

Selengkapnya
Navigasi Web

Gara-gara Graham Bell

Lintang Kasih namanya. Ia seorang gadis kecil yang ceria. Tapi gagap menghantuinya. Ia sendiri lupa dan tidak menyadari kapan gagap itu mulai menghinggap. Seingatnya ketika kelas III SD, ia sudah mengalami kesulitan ketika harus mengungkapkan apa yang telah tersusun rapi dalam pikirannya. Gagapnya bukan tipe yang mengulang-ulang penggalan kata, seperti “ak ak ak akkkuuuu….” Bukan. Bukan seperti itu. Ia bahkan tidak bisa mengeluarkan kata. Nafasnya seperti tercekat, suara tertahan di tenggorokan. Sekuat apapun ia ingin berkata, kata itu tak mampu keluar. Dan anehnya gagap itu tidak terus muncul setiap saat. Terkadang ia berbicara sangat lancar, bernyanyi pun tanpa jeda. Tapi gagapnya sering muncul tanpa kira. Ketika sangat dibutuhkan untuk berbicara, suaranya tersendat dan tak pernah tersampaikan. Ia sedih tapi tidak putus asa.

Lintang kecil itu pintar. Begitu menurut gurunya. Ia pun ditunjuk menjadi ketua kelas. Dan itu serasa musibah baginya. Bagaimana tidak? Ia harus memimpin doa dengan lantang pagi dan siang. Terkadang tanpa kendala. Tapi sering guru dan temannya harus sedikit bersabar dan menunggu sampai aba-aba doa mulai keluar dari mulut mungilnya. Dan anehnya, gurunya itu tidak juga mengganti tugas memimpin doa dengan siswa lain. Ia ingat, Pak Guru selalu memandang padanya. Ketika bibirnya menganga dan bergetar tanpa suara, wajahnya pun gemetar karena suara yang tak kunjung keluar. Ya, Pak guru tahu jika murid kecilnya itu gagap.

Di kelas VI, si gadis cilik terpilih mengikuti lomba cerdas cermat. Sukses di dabin, ia melaju ke kecamatan. Ia cukup percaya diri dengan kemampuannya. Benar saja, ia masuk putaran final dengan skor juara. Lalu bencana bermula di sana. Di babak terakhir, ia harus adu cepat menjawab secara lisan! Ya, kekhawatirannya terjadi. Ia tak bisa berteriak lantang menjawab. Di antara tepuk dan sorai para penonton lomba, ia seperti hilang di keramaian. Skornya kini dikejar si pesaing. Satu pertanyaan penentu yang sangat ia ingat, “Siapa penemu telepon?”

Ia menjawab,” Aku tahu. Aku tahu. Alexander Graham Bell”

Tapi hanya di hati saja. Bukan dari bibirnya. Dan sampai acara berakhir, jawaban itu tak pernah keluar dari mulutnya. Akhirnya, ia harus cukup puas dengan peringkat II. Pak Guru memandangnya dengan bangga, tapi ia ingin menangis saja. Ya, si gagap gagal jadi juara.

Sepanjang perjalanan pulang, di atas motor tuanya Pak Guru Gagah ceria bercerita. Tapi tak satupun cerita yang bisa ia tangkap maknanya. Ia terlanjur sebel. Semua gara-gara Graham Bell.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Dahsyat

05 Aug
Balas

Terima kasih. Masih butuh bimbingan ini, Pak.

05 Aug

Makasih, Bu. Tulisan-tulisan Bu Antin juga keren lho. Sampai ketemu tanggal 8, nggih Bu....

05 Aug
Balas

keren

05 Aug
Balas

Bu Isna juga keren.... Senang ada bersama teman-teman hebat yang penuh semangat.

05 Aug

Bagus mb cerpennya....

05 Aug
Balas

Makasih, Bu. Tulisan-tulisan Bu Antin juga keren lho. Sampai ketemu tanggal 8, nggih Bu...

05 Aug

Ok mbyu

06 Aug
Balas

Mang bakat kok dirimu bu V3

07 Aug
Balas



search

New Post