Kuantarkan Kepergianmu dengan Ikhlas
#tantangan_gurusiana_menulis_365_hari#hari_ke_307#tantangan_satuharisatucerpen_kelascerpen2
Kuantarkan Kepergianmu dengan Ikhlas
Bagaimana mengurai rindu pada dia yang telah lama pergi. Dia yang tak pernah mengadu tentang cinta yang semu. Dia yang tak pernah meminta tentang harta yang meraja. Dia yang selalu berikan ceria tak pernah berkata tanpa cela. Adalah dia lelaki gagah cinta pertama yang selalu mengukir tumpukan asa menjadi nyata.
Gundukan tanah merah menjadi saksi tempat peristirahatan terakhirnya. Lautan manusia berjalan mengantarkan kepergiannya ke tempat keabadian. Awan pun tak sanggup menahan beban yang berujung tumpahan air hujan diiringi kilatan cahaya memekakan telinga. Seolah menangis menghadapi kenyataan salah satu putra daerah terbaik gugur di medan laga.
Iya, dia yang berusaha menyuguhkan cerita indah penuh istifadah meruah berkah. Dia yang tumpahkan rasa dan adukan pinta pada Yang Mahakuasa. Pantang mengeluh di hadapan keluarga padahal dia menyimpan luka. Sakit yang diderita tak dirasa bahkan ditutupi. Baginya, membahagiakan keluarga adalah tujuan hidup yang diutamakan. Ketegasannya berikan kekuatan tuk memperbaiki keadaan.
Pola pengasuhan yang disuguhkan kepada kami buah hatinya adalah pengasuhan semi militer. Walaupun semua anaknya perempuan, dia menempatkan kami layaknya perempuan tangguh yang bisa melakukan pekerjaan apapun termasuk kegiatan yang biasa dilakoni oleh anak laki-laki.
Ketegasannya berikan kekuatan. Kedisiplinannya berikan keteguhan. Ketegarannya hadirkan kesabaran. Tak tampak keluh dalam setiap peluh. Namun luluh jika melihat yang dicintai mengaduh.
Adalah dia seorang lelaki yang mengajariku menjadi wanita sederhana. Tak mengenalkanku dengan restoran mewah dan megah. Mengajak makan di ‘warteg’ dan emperan asalkan kenyang dan berkah. Tak ada kata eksklusif dalam kamus kulinernya. Tak ada kata tak selera melihat segala jenis makanan.
Lelaki yang tak pernah menampakan duka bagi istri tercinta. Lelaki yang tak memberikan kabar derita bagi anak tercinta. Lelaki yang begitu khidmat dan taat bagi sang ibu pusaka hati dalam hidupnya. Memberikan teladan bagaimana cara takzim terhadap orangtua. Baginya, tak boleh berikan kabar tak sedap melindap dalam telinga ibunya. Apapun keadaannya, dialah lelaki yang selalu memberikan senyum hangat bagi seluruh anggota keluarga.
Masih terlihat di ujung netra, cara dia tersenyum diiringi air mata jika mendapatkan cerita lucu dari sang cucu. Malam itu menjadi saksi kehangatan itu tercipta, guyonan dan obrolan ringan membawa kami mengingat perjalanan kehidupan di masa silam. Perjalanan penuh liku dan haru namun ruahkan hikmah dan pembelajaran berharga.
“Pokonya Papap mah pengen kita berangkat umroh semua ya. Papap mah pengen ajakin cucu-cucu nyium Ka’bah. Kalo ada yang jahatin kita, kasih senyuman aja, hanya perlu tunjukin prestasi kita tanpa perlu membalas dengan ucapan kasar,” ucapnya yang menjadi pegangan hidupku sampai detik ini.
Naas, keesokan harinya penyakitnya kambuh. Sepertiga malam dihabiskannya dengan meraung kesakitan karena pusing mendera. Hari itu bertepatan dengan jadwal sidang komprehensif pascasarjanaku. Aku yang dilanda kekalutan berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Dinginnya subuh tak kurasakan melihat kegelisahan ayahku yang tak biasa. Ini kali ketiga serangan jantung menyerangnya.
Kepasrahan kami bentengi hati ini. Berusaha tenang di tengah kecemasan yang melanda. Selama perjalanan raungan itu terdengar lirih dengan kalimat toyyibah yang dilafalkannya. Kuparkirkan mobil tepat di depan pintu IGD. Trauma masih menyelimutiku melihat deretan para penunggu yang dilanda kecemasan. Mereka adalah orang-orang yang berharap cemas atas kondisi keluarganya, pun demikian dengan diri ini.
Dengan sigapnya satpam dan perawat menidurkan ayahku di blankar. Tindakan medis dilakukan dengan memasukkan kateter ke tubuhnya. Dipasangkannya infusan dan diberilah beberapa obat. Jelang beberapa saat, ayahku muntah dengan hebatnya. Kusaksikan perubahan drastis darinya. Sampai air berwarna kuning dikeluarkannya dari mulut yang tak henti lafalkan zikir.
Dinding ruangan IGD melihat perkembangan yang terjadi kepada lelaki yang kukagumi itu. Gorden putih dan deretan tabung oksigen menyapa kami dengan penuh arti. Datang kembali dua perawat dan membawa blankar ayahku ke ruangan radiologi. Hanya mampu melihat pintu ruangan yang tertutup menghalangi pandanganku menyaksikan keadaannya.
“Keluarga Tuan Jajang, adakah keluarga Tuan Jajang?” panggil perawat membuyarkan lamunanku.
“Iya saya, Sus” jawabku menghampiri suster jaga.
“Kaka keluarga Tuan Jajang?” kembali suster bertanya penasaran.
“Iya betul sus, bagaimana keadaan ayah saya?” jawabku diliputi sejuta kekhawatiran.
Kuberlari memasuki ruangan radiologi, lagi-lagi kusaksikan muntahan air berwarna kuning di bawah blakar dan membasahi kemeja yang dikenakannya.
“Papap kenapa? Papap mau apa?” tanyaku diiringi isak tangis yang tertahan. Berusaha sekuat tenaga menahan sedih dan pilu. Mencoba bertahan dengan tidak menunjukan kehawatiran yang berlebihan.
“Ka, pasien atas nama Tuan Jajang harus segera dibawa ke ruangan NICU. Ruangan yang kami miliki terbatas, saat ini dalam keadaan penuh. Kakak bisa cari di Rumah Sakit yang lain. Sebelum kakak mendapatkannya, pasien akan kami singgahkan sementara di ruangan ICU kami. Tapi,kami harap dalam waktu yang segera kakak harus mendapatkan ruangan NICU, biar kami yang antar menggunakan Ambulance.
Dengan berat hati aku pamit ke Ibu dan ayahku. Aku pergi ke Bandung untuk menyelesaikan sidang komprehensif. Sesak dada ini berpamitan kepadanya namun harus kulakukan demi melihatnya bahagia atas kelulusanku. Niat selanjutnya adalah mencarikan RS yang memiliki fasilitas NICU yang kosong di Bandung sana.
Kuajak adik bungsuku mengelilingi kota Bandung untuk sekedar mencari ruangan kosong. Sayang hingga batas waktu yang ditentukan kami tidak mendapatkannya. Penuh. Qadarullah, pihak RSUD di sana memberitahukan bahwa mereka mendapatkan info ada Rumah Sakit swasta yang memiliki ruangan kosong di Bogor.
Akhirnya kami bertolak dari Bandung kembali ke Cianjur. Mendapatkan ibuku tersedu di depan Rumah Sakit.
“Papap dah dibawa ke Bogor pake ambulance,” ucap adik keduaku memelukku dengan erat. Dia adalah anak Papap yang paling lemah diantara yang lain. Mudah menangis dan memiliki perasaan yang ‘roqiq’ cepat sekali bereaksi jika mendapatkan hal yang tidak diinginkan. Tidak sepertiku dan adik bungsuku yang mampu lakukan pekerjaan lelaki. Menyopir dan bekerja berat kami sanggup lakukan. Adik keduaku begitu feminim dengan segala kemanjaannya.
“Maafin Ica Teh, Ica gak bisa jaga Papap. Ica gak berani naik ambulance. Ica nunggu kalian,” ucapnya lirih.
Kulesatkan mobilku berlari mengejar ambulance yang membawa tubuh lelakiku pahlawanku. Qadarullah, Bogor menjadi tempat berkumpulnya seluruh keluarga. Biasanya kami jarang bertemu dengan keluarga yang ada di Bogor. Namun, karena ayahku dirawat di sini, maka tumpleklah semua keluarga mengumpul dari segala penjuru kota. Seolah ingin memberikan kesempatan bersilaturahmi, ayahku menjembatani itu. Sayang, dia terbujur tak berdaya dan hanya menerima respon dengan mengeluarkan air mata.
Akhirnya, harus kusaksikan puluhan selang menempel di seluruh tubuh ayahku. Hingga batas kemampuan kami mengusahakan kesembuhannya. Apapun akan kami lakukan dan ikhtiarkan baginya.
“Keluarga Tuan Jajang,” lagi-lagi perawat memanggilku.
“Ka, ayah kakak kemungkinan untuk bertahannya cukup mengkhawatirkan. Kami hanya memberitahukan kondisi terburuknya. Jika ibu ingin membawanya pulang kami persilahkan,” bagai tersambar petir mendengar pemaparan dari dookter ahli dalam.
Setelah berembuk dengan seluruh keluarga besarku, kami bawa ayah pulang ke rumah. Aku dan adik bungsu yang mendampingi ayah di ambulance. Sementara suamiku ada di depan mendamping pak sopir. Dalam perjalan puncak yang macetnya luar biasa ternyata ada sosok dermawan yang mengaping ambulance kami. Qadarullah, Allah berikan kami sempat untuk mengantarkan ayah menerima sakaratul mautnya.
Betapa meninggalnya berikan hikmah dan pelajaran besar bagi kami semua. Kami pun ada dalam antrian panjang menunggu IjroilNya menjemput. Hanya kewajiban yang telah kami lakukan semaksimal mungkin kami berikan.
Selamat jalan, Pap. Surga menantimu. Biarkan kami melanjutkan perjuanganmu. Bismillah
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi
Allahummaghfirlahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu... Cerpen yang keren penuh ibroh yang bisa dipetik
Kematian adalah nasihat bagi yg hidup. Cakep Bu cerpennya.