Foy Ario

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
HIDUNG BELANG DAN CINTA TERLARANG

HIDUNG BELANG DAN CINTA TERLARANG

HIDUNG BELANG DAN CINTA TERLARANG

Di adaptasi oleh : Foy Ario, SMAN 12 Jakarta

Awan mendung menyelimuti sekitar Syadhiusplien Batavia seakan mengisyaratkan apa yang akan terjadi, pagi itu 19 Juni 1629 angin yang bertiup sepoi-sepoi diantara pohon beringin besar didepan sebelah kiri gedung megah berlantai dua itu. Sepasang penjaga berdiri di kedua sisi pintu masuk dan beberapa orang lagi berada disekitar masyarakat seakan menjadi pagar betis agar tak seorangpun masyarakat dapat melewati batas yang telah ditentukan. Meski tanah agak becek sisa hujan semalam. Pelataran balai kota tetap telah disesaki oleh masyarakat Batavia, mereka terdiri dari pribumi, orang-orang tionghoa, dan beberapa orang Arab yang tinggal di sekitar Pekojan. Suara mereka berbisik-bisik tak berani mengeluarkan suara keras, entah apa yang mereka perbincangkan, hanya sesekali terdengar desis-desis dengan wajah yang rata-rata tegang, penasaran menunggu kelanjutan apa yang akan mereka lihat.

Tampak di sisi kiri gedung megah itu, Tiang pancang yang kokoh dengan tinggi kurang lebih 5 meter berbahan dasar kayu jati berbentuk huruf L terbalik dengan tali yang dapat melingkari leher berbahan ijuk kelapa yang disesuaikan dengan tinggi manusia, dengan lingkar tali yang juga disesuaikan kebutuhan. Letak berdirinya di tengah trap papan yang luasnya 5 X 5 Meter, dengan tinggi kurang lebih 2 meter, terlihat jelas bila orang berdiri di atasnya. Bagai panggung pementasan sederhana, namun lebih mencekam dari panggung horor manapun karena ditempat itulah akhir dari perjalanan hidup seseorang.

Sementara di ruang lainnya di lantai bawah gedung balai kota terdapat ruang khusus untuk tahanan atau orang-orang yang telah divonis bersalah, tempat itu hanyalah ruang yang sangat sederhana malah terkesan dibuat sederhana, hanya berlantaikan batu alam dan tempat berbaring terbuat dari semen dan keras menempel di dinding lembab dan berudara pengap berjeruji besi menghadap ke taman. Ruangan ini merupakan penjara yang memang disediakan khususu di balai kota saat itu. Ruang yang sama ada di dua tempat di sebelah timur dan sebelah barat tepat dibawah tangga turun menuju taman di dalam balai kota tersebut.

Di penjara sisi timur, Peter tertunduk duduk di dipan terbuat dari semen yang dingin, kedua tangannya memeluk kedua kakinya yang tertekuk, ia memeng terlihat hanya diam wajahnya terlihat sembab, lingkaran matanya menghitam tubuhnya terlihat kurus, disampingnya tergeletak wadah makan terbuat dari kaleng persegi empat yang tersekat-sekat berisi makanan yang masih utuh dan gelas yang juga terbuat dari kaleng dengan isinya yang masih penuh. Di kaki kanannya melingkar besi dengan gembok besar sebagai pengunci, bersambungan dengan rantai pengikat berwarna hitam kecoklatan yang berakhir diujungnya sebuah bola besi seukuran bola basket dengan berat yang bisa dikira sekitar 10 s.d 15 Kg. Pikirannya berkecamuk, ia teringat kampung halamannya di Belanda, Papa dan Mamanya juga adik adiknya yang ia tinggalkan karena mengikuti kata hatinya, di usianya yang masih 15 tahun bergejolak untuk berpetualang ke negeri orang lain sebagai marsose seorang prajurit penjaga Kasteel.

Sesekali air matanya meleleh melewati hidungnya yang mancung dan ia menghapus dengan ujung kerah bajunya, , “moomy maafkan saya”, sesekali ia memenggi mamanya dan sesekali juga ia meminta maaf. Kulitnya yang kuning dengan bercak kemerahan, matanya yang berwarna biru dan rambut pirangnya tidak membuatnya terlepas dari jeruji besi dan hukuman yang sebentar lagi akan dijalaninya. Menurut pemerintahan Jan Pieterzoon Coen yang calvanis, moralis, dan dibalik kekejamannya memegang erat aturan gereja dan memerintahkan anak buahnya untuk menghukum gantung Pieter J Cortenhoef dan Sara Speck.

Sara Speck adalah anak dari Jaques Speck, seorang pemimpin tinggi VOC di Jepang, yang bertempat di Hirado, ditugaskan ke indie (Indonesia) dengan jabatan Eeste Road Ordinar Van Indie. Jaques diketahui memiliki seorang anak dari hubungannya dengan seorang selirnya yang orang Jepang. Karena sebelum ke Batavia ia harus kembali dulu ke Belanda, sementara menurut aturan saat itu anak hasil hubungan di luar perkawinan resmi sesama orang Belanda tidak diakui dan tidak boleh dibawa ke negerinya itu, sehingga oleh ayahnya Sara Speck dititipkan kepada penguasa Belanda saat itu yaitu Jan Pieterszoon Coen saat usianya 12 tahun.

Pieter Terbayang kembali pertemuan pertamanya dengan Sara Speck kekasihnya itu pada sebuah tugas penjagaannya, saat pesta keluarga besar JP Coen, pesta itu di gelar di tengah taman yang terlebih dahulu dihiasi dengan berbagai lampu-lampu yang indah, beberapa meja besar digelar berhiaskan taplak meja yang menyala warnanya, tampak hidangan berbagai macam mulai dari kue-kue tart, daging panggang sapi, hingga babi guling bertaburan rempah dan kecap, dihiasi garnis sayuran dan dikelilingi oleh piring sendok dan gelas minum yang disampingnya berdiri botol-botol minuman terbaik kala itu. Tamu undangan yang asik bercangkrama, ada yang duduk namun tak sedikit juga yang berdiri, kisarannya hanya puluhan orang dan diperkirakan mereka adalah pejabat-pejabat VOC dan beberapa orang dari pademangan di sekitar Batavia. Suasana pesta semakin menarik karena pemutaran piringan hitam yang mendendangkan lagu-lagu dari negeri Belanda.

Pieter yang ditugaskan menjaga acara pesta itu kini dapat masuk ke dalam area taman balai kota, padahal sebelum-sebelumnya ia hanya berjaga di pintu gerbang masuk utara atau malah pintu belakan di sebelah timur yang kini menuju stasiun Jakarta Kota. Ini adalah keistimewaan dan hanya beberapa penjaga kasteel yang berprestasi yang dapat masuk ke dalam melakukan penjagaan pada malam itu. Namun tetap saja tugasnya hanya berdiri mematung dan sesekali melempar senyum kepada tamu undangan yang menyapanya, dan hanya boleh berbicara secukupnya padahal banyak istri-istri pejabat yang diundang saat itu berusaha menggodanya dengan usil karena ketampananya berbeda dengan penjaga-penjaga lain saat itu.

Pandanganya tertuju dengan seorang gadis belia yang tak lain adalah Sara Speck, gaunnya yang indah berwarna putih bersih dengan khas seorang putri pejabat dengan rok yang melembung besar sebagai tanda ia adalah anak dari pejabat ternama, kecantikannya terlihat dari kejauhan oleh Pieter, maklum Sara bukanlah Peranakan Belanda tulen tapi perpaduan wajah barat dan asia karena ibu sara adalah seorang selir dari Jepang, maka paras wajahnya perpaduan oriental asia dengan barat dan untungnya hidung sara mewarisi wajah ayahnya. Sesekali Sara melewati Pieter dan tersenyum kepadanya, lalu iapun memberanikan diri menyapa Sara ketika Pieter berkeliling sekitar taman dan menemukan Sara duduk sendirian di bangku taman, terjadilah perbincangan-demi perbincangan dan berlanjut pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

Kali Ciliwung, pagi hari. Matahari sudah tinggi namun udara masih dingin dari kejauhan terlihat masyarakat yang beraktivitas mencuci berjajar di sepanjang kali. Delman dan sado yang lalu Lalang dan tak seberapa mobil yang hilir mudik, pedagang yang lewat berjalan kaki dengan pikulan daganannya menjadikan pemandangan sehari-hari pohon trem,besi dan pohon kelapa menjadi penghias kanan kiri kali ciliwung yang kabarnya masih sejuk dan dingin seperti hawa pegunungan. Namun di belakan balai kota kali ciliwung memang di tutup untuk umum, karena saat itu kali yang melewati belakang balai kota itu yang memeng agak jauh letaknya dari musiam fatahilah sekarang, adalah tempat khusus pemandian bagi orang Belanda saat itu. Cengkrama noni-noni Belanda tak lepas dari mata penjaganya. Pagi itu sarah tertinggal rombongan mandi, ia merasa malas untuk bersegera mandi, dan ia memutuskan untuk mandi agak terlambat. Piter yang memang sedang lepas dinas sudah berada dipinggitan sungai ciliwung sekadar mandi dan melepas Lelah. Pucuk dicinta ulampun tiba, piter yang duduk agak ke pinggir dekat semak pohon perdu memeng tidak terlihat oleh Sarah yang masuk perlahan menuruni anak tangga menuju tempat mandi yang tidak tertutup apa-apa kecuali semak dan pohon perdu. Jantung Pieter berdetak kencang, dalam sel itu ia mengingat kembali peristiwa tersebut. Pieter yang mengetahui kedatangan kekasihnya itu semakin beringsut ke pohon dan bersembunyi, siasatnya berhasil. Penjagaan yang telah berakhir pada pukul 10.00 itu membebeaskan Pieter untuk berada di arela permandian khusus noni-noni Bbelanda itu, dan mudah dibayangkan apa yang terjadi, ketika Sara mulai melakukan ritual mandi dan menanggalkan pakaiannnya satu persatu Pieter melihatnya dengan sangat jelas, jantungnya berdegup semakin kencang, dan iapun memberanikan diri menghampiri Sarah kemudian langsung memeluknya dari belakang, Sarah yang terkejut hampir saja berteriak, namun ketika ia melihat siapa yang memeluknya sontak saja ia terdiam dan jantungnyapun berdegup keras kemudian membalikkan badannya menatap wajah kekasihnya itu lalu jelas apa yang terjadi pertama kali itu selalu melekat di benak mereka berdua. Di sanalah keseharian Sara dan Pieter bertemu dan berbincang disela-sela tugas dan Sara memang sering kali sembunyi-sembunyi mengajak Pieter berduaan memadu kasih.

Teringat kembali oleh Pieter, bagaimana ia akhirnya memiliki akses masuk ke dalam balai kota memalui pintu belakan menuju ruang tidur Sara yang sengaja mereka siasati agar selalu bisa bersama di sela-sela jaga ataupun selepas jaga, mereka kasmaran. Meski usia mereka masih belia, pergaulan orang Belanda tidaklah terlepas dari perbuatan orang dewasa. Keberhasilan mereka memadu kasih di dalam balai kota tidaklah berlangsung lama, karena ternyata telah lama juga kegiatan mereka diketahui oleh beberapa teman penjaga lainnya dan kebetulan adalah seseorang yang tidak menyukai Pieter. Laporan demi laporan dilayangkan kepada JP Coen namun beliau masih menunggu momen yang tepat dan berniat menangkap basah Sara dan Pieter.

Pada suatu ketika saat lepas jaga seperti biasa Pieter dan Sara mengatur siasat agar kembali dapat bertemu Sara di raung tidurnya, waktu itu hampir larut, melelui pintu belakang sebelah timur yang penjaganya sudah lepas dinas dan menuju pergantian penjaga, Pieter sudah ada di dalam balai kota karena ia sendiri memeiliki kunci khusus yang diberikan oleh Sara dan sebelum menuju jendela besar berpintu dua ia bersembunyi tak lama di belakang pohon besar sebelum dipersilahkan masuk setelah bersiul bagaikan burung lalu merekapun memadu kasih. Namun tidak seperti malam-malam sebelumnya kali ini mereka bernasib sial.

Sedang asik masyuk, dan tanpa firasat apapun tiba-tiba pintu diketuk dengan keras dari dalam ruang, terdengarlah suara JP Coen yang khas dan agak berteriak.

“Buka Pintu, Sara, Pieter, Buka pintu,… perbuatan kalian telah kami ketahui”.

Sara dan Pieter terkejut bukan main, sambil kembali mengenakan pakaian mereka panik dan bergegas melakukan siasat berikutnya, hingga Pieter memutuskan kabur melalui jendela, ketika jendela dibuka didepan jendela telah berdiri beberapa penjaga menghunus senapan berlaras panjang dengan bayonet khas serdadu belanda yang ternyata telah menanti Pieter. Karena lama pintu tidak dibuka maka pintupun dibuka paksa dengan cara di dobrak, pintu kamar yang tinggi dan besar itupun terdengar sangat keras lalu JP Coen merangsek masuk bersama beberapa penjaga lalu meringkus Pieter yang awalnya berniat kabur melalui jendela.

“Demi Tuhan, saya tidak percaya ini, kalian pezina dan kalian lebih pantas berada di tiang gantungan”.

Memang JP Coen tidak main-main dengan ancamannya tidak berapa lama keputusannya itu memang akan segera dilaksanakan, namun pimpinan tertinggi Dewan Pengadilan atau Raad Van Justitie turut menangani dan menengahi masalah tersebut dan membawa kasus tersebut ke pengadilan. Suasasana pengadilan sangat menegangkan, hakim dan hadirin nampak murung, kecuali JP Coen yang tegar menghadapi keadaan dan wajahnya yang keras dan berkesan bengis telah siap dengan segala tuduhan yang akan dilayangkan kepada Pieter dan Sara, pakaian yang dikenakannya kali ini pakaian kebesaran berwarna merah dengan lengan putih berenda dan pada bagian atas lengan sedikit menggelembing dan berempel, di ikat pinggangnya terselip pedang kebesaran yang bila ia duduk di kursi akan menyentuh lantai. Dengan topi khas kerajaan yang dikenakannya dengan hiasan bulu burung di atasnya, keputusannya sudah bulat, diantara kesedihannya ia tetap memerintahkan hukuman gantung.

Hadirin sidang tidak banyak, hanya beberapa keluarga pejabat balai kota dan beberapa pejabat pengadilan, tak jelas diceritakan apakah keluarga Sara Jaques Spex, dan keluarga Pieter dihadirkan dalam ruang sidang tersebut. Hakimpun masuk dari pintu depan diikuti beberapa orang lain sebagai jaksa dan mungkin pembela dan penuntut dari kasus tersebut mereka berpakaian serba hitam dengan dasi lebar diantara jubah yang mereka kenakan dan rambut yang dikenakan dengan wig tebal berwarna putih yang diatasnya seperti wanita yang rambutnya mau di blow atau di keriting ke salon, dan hadirin turut berdiri, setelah dipersilahkan duduk merekapun duduk kembali. Sidang dimulai, waktu itu 18 Juni 1629, sidang berjalan sebagaimana biasanya pertanyaan demi pertanyaan dapat dijawab oleh Pieter dan Sarah, hingga sampai waktunya keputusan sidangpun dibacakan yang hasilnya memberikan hukuman pada keduanya, Pieter dinyatakan hukuman gantung dan Sarah dinyatakan mendapat hukuman cambuk, hal ini didasari perbuatan Pieter yang tidak menjaga kehornmatan sarah, sebagai penjaga dan laki-laki Belanda yang lebih dewasa dari sarah ia seharusnya membimbing Sarah, bukan malah memanfaatkannya.

Tibalah saatnya, pintu besi tahanan bawah tanah itu dibuka oleh penjaga dan masuklah seorang pendeta yang langsung menyapa Pieter dengan hangat.

“Selamat pagi Pieter,

Mata Pieter membuka sedikit dan cahaya yang masuk dari sela-sela pintu besi membangunkannya dari lamunan dan iapun menjawab seperlunya sapa pendeta.

“Kini sudah saatnya, bangkitlah Pieter, ketentuan dunia dan pembalasannya sudah di depan mata, apa permintaan terakhirmu Pieter?. Pendet bertanya.

Pieter hanya terdiam dan mnyerahkan secarik kertas yang sudah ditulisnya pagi ini, ia memintanya kepada penjaga untuk disediakan kertas dan alat tulis, ia menuliskannya untuk seseorang, tak lain selain Sara. Dan diserahkan lagi secarik kertas kedua yang diperuntukkan untuk keluarganya di Belanda. Lalu penjaga yang juga teman-temannya itupun memapahnya berdiri dan membuka rantai pengikat dari kaki Pieter, lalu mereka bersama-sama bangkit dan berjalan keluar dar sel menanjak melalui anaak-anak tangga menuju halaman depan balai kota, bersamaan dengan itu rombongan Sara pun berpapasan dengan Pieter, mereka saling bertatapan. Dan Pieter meminta izin berbicara kepada Sara, dan iapin mendapatkan izin, dibisikannya ditelinga kekasihnya itu,

“aku tidak menyesal akan perbuatanku, dan aku bangga karena mencintaimu”.

Sebelum pintu gerbang keluar dibuka, datang seorang petugas eksekusi menghampiri Pieter, ditangannya membawa baki kecil yang diatasnya terdapat mangkuk kecil yang diisi dengan bubuk hitam yang ternyata arang yang telah ditumbuk halus, dengan sigap ia lalu mengoleskannya ke hidung Pieter yang mancung, kini terlihat dengan jelas wajahnya tergoreskan warna hitam di sekitar hidung dan terlihat dari kejauhan akan menjadi belang, mengingat warna kulitnya yang putih. Pintu gerbang perlahan dibuka, sementara di luar gedung masyarakat Batavia telah berkerumun, dan di atas panggung seorang algojo berbadan besar hanya bercelana hitam pangsi tanpa baju atau pakaian bertutup kepala sehingga memperlihatkan otot-ototnya yang terkesan kuat dan kokoh, menunggu aba-aba dari balai kota untuk melaksanakan eksekusi.

Pieter berjalan dengan tenang, sedangkan Sara menangis dan meronta-ronta dipegangi oleh para penjaga hingga rombongan mereka dipisahkan selepas keluar pintu, sedangkan pendeta terus membacakan ayat-ayat suci dari kitab yang dibawanya. Pieter digiring ke panggung sebelah kanan naik ke atas dan diposisikan di bawah tiang gantungan, Sara digiring ke halaman di sebelah kiri. Hadirin yang sedari tadi agak gaduh, mendadak diam dan kembali hanya berdesis

“hidung sinyo belang, hidung sinyo belang, Sinyo hidungnya belang, Sinyo hidung belang”.

Salfo senjata tantara menandakan eksekusi segera dilaksanakan, mendung menyelimuti balai kota di Batavia 19 Juni 1629.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post