Foy Ario

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Jalan Menikung, Refleksi Kekinian Tentang Jalan hidup

Jalan Menikung, Refleksi Kekinian Tentang Jalan hidup

Jumat, 3 Maret 2017 Assalammualaikum Wr.Wb. Jalan Menikung, karya Umar kayam, norak memang.. sebagai pengajar Bahasa Indonesia saya baru saja menyelesaikan roman/ novel ini baru dua hari ini. Memang sudah banyak yang mengulasnya di internet, tapi saya menuliskannya sementara untuk diri saya sendiri dan sukur-sukur ada yang membaca catatan ini sebagai pengingat bahwa kita “Indonesai”, mempunyai karya sastra yang luar biasa dan saya menyelaminya sebagai cerita yang seakan hadir dalam kehidupan saya bersama tokoh-tokoh yang hidup didalammya. Izinkan saya menulas sedikit ya, hehe.. untuk sinopsis saya ambil dari internet saja ya, sama saja ko (padahal malas) hehe.. Identitas Buku Judul Buku : Jalan Menikung: Para Priyayi 2 Nama pengarang : Umar Kayam Penerbit, cetakan ke- : PT Pustaka Utama Grafiti, 4 Kota Terbit : Jakarta Tahun Terbit Cetakan pertama : Desember 1999 Cetakan ke-4 : Juli 2002 Jumlah Halaman : ix + 184 halaman Ukuran : 21 cm ISBN : 979-444-412-X Sinopsis Cerita ini diawali dari kisah Harimurti, seorang redaktur penerbitan di Penerbit Mulia Mutu. Ia dipecat oleh atasannya karena suatu hal yang berhubungan dengan masa lalunya. Hari dikatakan sebagai staf senior yang “tidak bersih diri”. Harimurti menikah dengan Suli, wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya. Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Eko. Ketika Eko kelas dua SMA, ia mendapat beasiswa dari AFS untuk menamatkan SMA di negeri itu. Beasiswanya habis, ia mendapat saran dari induk semangnya, Prof. Samuel D. Levin yang juga seorang Guru Besar mudadi Sunny Brook College untuk mencari beasiswa dan melanjutkan studi di tempat itu. Beliau juga menjamin seluruh baya hidup Eko selama proses belajar. Akhirnya Eko menerima tawaran itu setelah direstui orang tuanya. Dan setelah Eko menamatkan kuliah dengan cepat, Hari justru melarang anaknya kembali ke tanah air karena ia takut nasib buruk akan menimpa putranya akibat predikat buruk yang disandangnya hingga dipecat dari Penerbit Mulia Mutu. Cerita kedua dari sudut pandang Lantip. Lantip ialah saudara angkat Hari, namun kebaikannya melebihi saudara kandung. Lantip menikah di usia 45 tahun dengan seorang wanita padang bernama Halimah. Ia menikah di usia tersebut karena tidak tega meniggalkan Harimurti. Pernikahan setua itu membuat ia tidak memiliki keturunan. Cerita ketiga dating dari Eko. Eko sangat akrab dengan putri D. Levin yang bernama Claire Levin. Terlebih lagi ketika Eko dilarang orang tuanya ke Indonesia dan ia mendapatkan pekerjaan di perusahaan penerbitan Asia Book, sebuah perusahaan penerbitan di New York. Kedekatan Eko dan Claire tanpa sengaja membawa mereka pada hubungan intim sebelum menikah hingga Claire mengandung anak Eko. Kemudian Eko meminta restu kepada orang tuanya di Indonesia. Kedua orang tuanya sangat terkejut, namun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Pernikahan antara muslim-yahudi itu pun berlangsung. Di tempat lain, di Indonesia. Keluarga besar para priyayi, Sastrodarsono, sedang mengadakan rapat besar di rumah Tommy. Tommy ialah sepupu Harimurti. Tommy sebagai pemimpin rapat sekaligus tuan rumah. Ia mengusulkan untuk pemugaran komplek pemakaman keluarga besar Sastrodarsono. Tommy ingin pemakaman itu menggunakan kijing dari marmer Italia. Semua keluarga setuju, kecuali Hari dan Lantip. Mereka minta agar makam orang tuanya tetap menggunakan kijing dan teras berwarna abu-abu dari Solo. Rapat itu berlangsung cukup panas, semua dalam pendirian masing-masing. Keadaan seperti itu membuat Tommy lagi-lagi lari pada selingkuhannya, Endang Rahayu Prameswari, seorang janda cantik yang mampu memuaskan Tommy, namun sangat gila harta. Tommy bertambah geram ketika mendengar anak perempuannya hamil dengan laki-laki berdarah Cina. Bahkan ia tidak mau datang ke pernikahan anaknya tersbut. Ia tidak mau darah priyayinya bercampur dengan darah bukan Jawa. Kembali lagi kepada Eko dan Claire. Saat pernikahannya mereka mendapat kado dari atasan Eko berupa tiket bulan madu sekaligus tugas kantor untuk pergi ke kota-kota di Asia Tenggara, termasuk ke Jakarta. Dan mereka pun sampai di Jakarta. Di tempat itu, Claire langsung akrab dengan mertuanya dan kluarga Lantip. Ia juga akrab dengan suasana di sana, pemandangan sawah, suara gambang dan suling, suara burung dan makanan ala Jawa. Harimurti dan Suli sangat antusias dengan kedatangan putra dan menantunya. Ia ceritakan semua kejadian selama Eko di negeri orang. Tak lupa ia menceritakan tentang rencana pemugaran komplek makam Sastrodarsono. Selama di Jakarta Eko dan Claire sowan ke seluruh keluarga Sastrodarsono. Mereka disambut dengan gaya masing-masing. Tommy yang serba mewah pamer, dan kebarat-baratan. Marie juga bergaya mewah namun ala Jawa. Dan Lantip yang apa adanya namun penuh kasih sayang. Akhirnya tibalah hari pemugaran itu. Pesta pemugaran itu lebih meriah dari pesta pernikahan. Tommy mengundang Gubernur setempat dan rekan-rekan bisnisnya. Makam-makam keluarga Sastrodarsono nampak megah dengan marmer Italia kecuali makam ayah Harimurti. Semua berjalan sesuai keinginan masing-masing yang sama-sama keras kepala. Selesai pemugaran itu, Eko, Claire, Hari, Suli, Lantip, dan Halimah pergi ke Padang untuk mengunjungi makam keluarga Halimah yang sederhana. Di sana mereka membicarakan perantauan Halimah ke Jawa, dan Eko ke New York. Mereka merenungi betapa jalan masa lalu mereka sangat menikung dan jalan masa depan juga menikung. Jalan menikung itu dapat dilalui Eko dan Claire. Mereka kembali ke New York dan Claire melahirkan seorang anak laki-laki bernama Solomon. Eko menganggapnya Sulaiman sesuai agama Islam. Sedikit ulasan sok tahu saya tentang novel ini : Sesuai dengan nama besarnya Umar Kayam merupakan pengarang yang memiliki pengetahuan yang sangat luas 12 bagian dari novelnya ini berhasil membawa saya pada imajinasinya yang luarbiasa dan saya yakin tidak hanya sekadar imajinasi, tapi mungkin hasil risetnya bertahun-tahun tentang segala bagian yang diceritakannya, mulai dari kisah sejarah, kisah budaya, hingga cerita-cerita yang disinggahi oleh tokoh Eko dalam perjalanan bulan madunya. Tentang kenyataan bahwa seorang Harimurti yang eks seniman lekra, yang dalam kisahnya terpaksa mengunduruak diri karena kasusnya dimasa lalu, dan pada bagian ini saya sempat berfikir akan dikembangkan menjadi konflik berkepanjangan, dan ternyata saya salah. Kekuatan riset, penelitian, atau perjalanan langsung mungkin menguatakan diri pengarang untuk mengisi ruang-ruang cerita dalam novel ini, dan semakin meciutkan saya yang sedang bercita-tita sebagai penulis, atau malah memberikan saya pelajaran yang hangat, yaitu berupa tamparan keras, agar saya banyak meneliti, meriset, meski hanya sekadar dengan membaca, atau sekali-sekali melakukan suatu perjalanan dan mencatat detail setting kota/ daerah sebagai “calon tulisan” saya. Memang bangga dan gelisah juga saya rasakan sebagai manusia pembaca penikmat karya sastra, saya sempat merasakan berkecamuk dan harga diri ini melambung ketika kekuatan budaya Jawa sangat kental dibicarakan dalam cerita melalui tokoh-tokohnya, dan beberapa hal yang berkaitan dengan kebiasaan orang Indonesia yang diangkat dalam novel ini begitu menyentuh rasa “nasionalisme” saya sebagai orang Indonesia. Namun pada beberapa bagian kisah, saya justru mngerenyitkan dahi saya, karena Umar Kayam sendiri seakan-akan membukakan mata saya alkan faktanya “Indonesia” tercinta, tentang kisah bupati penerima suap, kisah birokrat pemain uang negara, kisah pedagang curang, dan kisah pengusaha sukses dengan segala intrik-intiknya yang jauh dari kata “halal”. Belum lagi paparan lain tentang penataan kota dari negera-negara yang dikunjungi oleh tokoh Eko yang dibandingkan dengan kota Jakarta yang semrawut pada pandangan tokoh-tokohnya termasuk tokoh Claire yang notebene orang Amerika Yahudi. Hal ini seakan-akan jelas menampakkan ketidaknyamanan saya terhadap kisah-kisah tersebut dan berkesan Indonesia ko lebih banyak “jeleknya”. Kisah lain yang membuat saya memang agak merasa setuju-tidak setuju, mengenai kisah-kisah yang berkaitan dengan kepercayaan tokoh-tokohnya terutama sentuhan-sentuhan cerita yang berkaitan dengan keimanan tokohnya dikisahkan beragama seadanya dan perbuatan yang mereka lakukan seakan sangat lumrah dan tidak berdampak secara relijius, dampaknya hanya dunia saja, tai saya malah berfikir ulang, mungkin pengarangnya ingin mengatakan ini adalah fiksi, seandainya toh ada, mudah-mudahan ini menjadi kisah yang bisa kita contoh dan mengambil segala kekurangan darinya. Dan satuhal lagi yang terakhir dari cerita yang dibangun pada tahun 1998 ini adalah berkaitan dengan kepedulian akan minat baca di negeri ini, kalau yang ini saya ga berani mengandai-andai, saya coba kutip saja dari novel tersebut : … Eko dan Claire merasa sangat sedih dan tertekan berjalan selama seminggu menjelajah toko-toko buku dan bertemu dengan pengusaha buku dan para tokoh universitas. Eko dan Claire langsung jadi murung memikirkan hal tersebut. Kok susah betul soal pendidikan tinggi di negeriku, keluh Eko. Dia sudah membayangkan akan bagaimana bunyi laporan kepada Alan bosnya, nenegi ini kok tidak punya kemampuan membeli buku pelajaran dan buku reference? Apakah negeri ini sudah tidak memiliki kegendak untuk maju? (halaman 137-138) Ini kiranya yang menjadi gong dari kisah ini, tulisan di tahun 1998 masih sangat relevan dengan kenyataan hari ini, ya.. hari ini. Semoga ulasan sok tahu ini menyadarkan saya dan pembaca, hehe kl ada yang mau baca ulasan ini, untuk penyadaran bahwa dengan membaca kita ternyata masih punya kegendah untuk maju, tapi kalau kita tidak mau membaca, berarti kita sulit punya kehendak untuk maju”. Tahun 1998, memang tahun yang sangat menentukan bagi bangsa kita, kehadiran novel ini setahun setelah terjadinya reformasi, jadi mungkin wajar bila citraan yang sedemikian jujur dikisahkan sedemikian apa adanya oleh pengarang, lepas dari itu semua saya tetap merasakan keindahan cerita dan tuturan kisah yang liwes dan tidak menghakimi konflik secara dramatis, intinya saya menikmati kisahnya dengan segala kedamaian. Demikian ulasan sok tahu saya ini, bila ada yang perlu dikomentari silakan, tapo mohon komentari dengan santai dan bermartabat... hehe Assalammualaikum Wr.Wb. SALAM LITERASI

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantab, nanti kirim lagi ya Resensi yang lain biar ga kudate

13 Mar
Balas



search

New Post