Ia tahu hidup ini tak mudah. Ia akrab dengan ketidakmudahan itu. Semenjak lahan persawahan yang luas ini berubah menjadi bangunan-bangunan beton, daerah mata pencahariannya menyempit. Masing-masing bangunan itu dilingkupi pagar besi beton. Pintu-pintu gerbangnya yang selalu tertutup, membuat segan untuk bertamu. Ia dan teman-temannya segan menampakkan batang hidungnya. Bisa dipastikan mereka akan diusir, padahal mereka sama sekali tidak mengganggu para penghuninya.

Ia beranjak dari rumah kecilnya mencari makan. Sudah tiga hari perutnya kosong, hanya air yang sesekali meredakan laparnya. Berjalan ia di pematang sawah yang berada di samping tembok belakang sebuah rumah beton. Kabar yang beredar mengatakan pemilik rumah ini memelihara ayam. Bolehlah ia ambil satu untuk mengisi perut. Persetan dengan kejujuran, ia butuh makan untuk bertahan hidup.

Perlahan ia panjat tembok belakang itu. Mata dan telinganya siaga, jangan sampai tuan rumah memergokinya. Mengendap-endap ia mendekati kawanan ayam broiler yang sedang bersantai di luar kandang. Badan ayam-ayam itu gempal-gempal. Ayam-ayam itu tidak menyadari kehadirannya. Ia semakin mendekat, menyiapkan ancang-ancang. Namun, konsentrasinya terkacaukan saat netranya melihat beberapa telur terserak begitu saja di sekitar ayam itu. Ia menimbang-nimbang mengambil telur atau ayam. Akhirnya ia memilih melahap telur-telur itu. Nikmat menyunggingkan senyum di bibirnya. Tak lama, nafasnya tercekat, perutnya mulai terasa sakit dan mengeras. Esoknya pemilik bangunan itu menyingkirkan bangkai biawak yang kesekian.

#Day25