Green Leaf Endang

ENDANG SETYANINGSIH Pegiat Literasi Kabupaten Blitar sekaligus guru di SD Negeri Pagerwojo 03 Pegiat budaya wayang bocah dan seni budaya Jawa Menghabiskan se

Selengkapnya
Navigasi Web
Sudut Bawah Tangga Masjidil Haram
True Story

Sudut Bawah Tangga Masjidil Haram

SUDUT BAWAH TANGGA MASJIDIL HARAM

Oleh: Endang Setyaningsih, Guru SDN Pagerwojo 03

Kerinduan memuncak melayangkan khayalan dan cadangan ingatan masa lalu kembali. Jauh melintasi masa, menyebrangi oase gambar-gambar berjajar yang lambat laun menjadi jelas kembali. Dari samar tumbuh kembali menjadi nyata seperti memutar ulang video offline di You Tube androidku. Dua tahun lalu, 5 menit berlari sendirian tergesa-gesa melintasi ribuan jamaah yang sudah bersiap untuk mendirikan salat Dhuhur. Mayoritas dari mereka yang wanita mengenakan burkha dan bercadar berdiri dalam shof yang rapat tanpa alas sujud.

Barisan yang sangat rapat untuk ukuran shof jamaah di Indonesia, karena jamaah salat di mekah satu dengan yang lainnya saling berimpitan seperti tidak menyisakan satu jengkal ruangpun untuk syetan berdiri mengukuti barisan salat kami. Dan ketika kami berdiri seolah-olah tangan kami bergandengan satu dengan yang lainnya untuk saling melindungi dan menguatkan. Itulah indahnya salat di Mekah, aku ingin lagi dan lagi. Ingin ku ulang sampai ribuan kali dalam hidupku. Ah, indahnya kenangan itu.

Agak sulit memang untuk menyibak jalan, ditengan barisan jamaah wanita bertubuh tinggi besar berburkha hitam, wanita yang tak bercadar tampak berhidung mancung dengan bibir sexy dan cantik luar biasa. Mayoritas pakaian salat mereka memang burkha hitam, hanya sebagian kecil saja yang mengenakan pakaian ibadah berwarna putih.

Sesekali kusibak bagian bawah burkha mereka yang menjuntai liar di lantai setiap jengkal halaman masjid yang telah berubah menjadi lautan manusia. Excuse me, excuse me, kusapa mereka sambil menyebarkan seribu senyuman penuh persahabatan sambil membuka jalan kerumunan jamaah. Saya faham mayoritas mereka akan paham bahasa itu, meskipun mereka berasal dari ratusan negara yang berbeda.

Dan jikapun mereka tidak memahaminya maka senyumanku akan menjadi bahasa komunikasi yang paling efektif untuk membuka jalanku supaya aku bisa masuk kedalam masjidil haram. Berbekal kemampuanku berbahasa inggris aku terus mencoba berkomunikasi dengan petugas yang kutemui di sepanjang jalan supaya aku diperkenankan untuk lewat dan masuk ke dalam masjid. Tentunya sambil terus menebar senyum diiringi kata permohonan “please” sambil dua tanganku ditangkupkannya kedua tanganku di depan dada. Setelah ijin diberikan mereka, tak lupa kuucapkan “thank you” sambil tersenyum manis.

Rayuan, ya memang dimana-mana kita berada harus pandai memanfaatkan kemampuan melobi, termasuk lobi untuk menerobos barikade petugas askar, disaat jamaah di suatu sisi halaman masjid telah penuh sesak. Bergegas aku berlarian, sendiri sambil menikmati kebebasan untuk menapaki lantai halaman masjid. Sepenuh hati ku rasakan betapa langkah-langkahku bergitu bermakna dan historis dalam hidupku.

Aku berada di Makkah seruku berseru riang sambil sesekali berbisik penuh misteri dengan hatiku. Kutarik napasku dalam-dalam untuk menikmatinya, seolah aku baru terbebas dari semilyar beban, sesekali kudongakkan wajahku menatap langit yang terik oleh cahaya matahari untuk menahan air mataku yang bersiap untuk merayap keluar.

Ya Rabbi, terima kasih atas kasih sayangMu, Terima kasih telah mencintaiku, dan mengabulkan permohonanku untuk berkunjung ke rumahMu, bisik batinku kepada Allah. Satu persatu air bening itu meleleh keluar, untunglah aku memakai kaca-mata hitam, sehingga air mataku tersamarkan oleh cucuran keringat yang menetes deras karena suhu yang cukup panas dan tenaga yang terkuras untuk berjalan cepat dan berlari beberapa menit itu.

Dan semakin aku mendekati rumahMu ya Allah, sungguh tak terbendung lagi, bersama setiap langkah yang kutapakkan seribu air mata tumpah menetes mengiringi setiap langkahku dihalaman rumahMu. Sungguh indah rumahMu ya Tuhanku. Jika rumahMu di dunia demikian besarnya seberapakah besar rumahMu di syurga?

Aku sungguh beruntung berkesempatan ke rumah Allah, sela hatiku. Menyesak rasa di dada, maka segera saja ku jeda pikiranku untuk membahas indahnya rumahMu. Ku percepat langkahku karena aku sadar harus sampai dibawah tangga sebelum salat jamaah dimulai oleh imam. Semakin cepat aku berlari, kupasang otot leherkuku untuk tidak menoleh kesamping lagi. Lurus pandang kedepan dan fokus.

Berpapasan dengan rombongan jamaah dari negara lain yang juga berlari bergegas untuk mencari tempat, memaksaku untuk sesekali berjuang menerobos ikatan grup mereka. Karena secara fisik aku kalah besar dari mereka yang berasal dari Timur Tengan dan Afrika. Tetapi fisikku yang lebih kecil dan berjalan sendirian membuatku lebih gesit untuk menerobos jalan. Tak kupedulikan lagi seberapa banyak air mataku keluar dan sebegitu pula aku tidak peduli akan ribuan manusia yang aku lewati semua yang tampak dihatiku hanya Allah, Allah dan aku mencintaiMu ya Allah.

Setelah berjuang keras, tangga di sebelah kiri masjid berhasil juga dicapai. Itu arah menurut persepsiku sih karena di Masjidil Haram terdapat puluhan tangga dan kurang lebih 129 pintu yang hanya dibedakan dengan kode angka saja. Masing masing tangga dan pintu digunakan jamaah untuk menjangkau lokasi yang berbeda-beda di dalam masjid.

Tentu mudah bagi penduduk asli kota Makkah atau jamaah yang sudah berkali-kali mengunjungi masjid ini untuk mengenali masing-masing tangga dan pintu. Tetapi kondisi ini menjadi sulit bagi jamaah yang masih awam dan baru sekali berkunjung ke Makkah. Untuk orang awam seperti aku satu-satunya solusi yang bisa kami terapkan untuk mengurangi resiko tersesat adalah berlatih untuk mengingat. Mengingat kode tempat dan sering bertanya adalah adalah solusi tepat untuk mencapai tempat yang diinginkan tanpa takut nyasar kemana-mana.

Aku bangga pada diriku sendiri karena aku ditakdirkan Allah menjadi wanita yang kuat dan mandiri sehingga berani menjelajahi Masjidil Haram sendirian. Sebenarnya saat itu aku membawa serta ayahku untuk menunaikan ibadah umrah bersamaku. Tetapi karena lokasi ibadah jamaah laki-laki dan perempuan berbeda maka aku menitipkan ayah kepada jamaah laki laki lain serombongan umrah kami yang kebetulan sudah sangat baik dan aku percayai.

Beliau sangat baik sehingga aku yakin ayahku akan selamat jika bersama beliau. Dan kerena beliau berangkat bersama ibunya yang sudah sangat tua, beliau kadang-kadang bergantian untuk menitipkan ibunya untuk beribadah bersamaku. Tetapi ibu tersebut sering memilih pergi bersama rombongan wanita lain yang berasal dari Kediri. Karena beliau tahu saya suka sekali membaca Al Qur’an. Sedangkan sang ibunda selalu ingin cepat-cepat pulang untuk beristirahat di hotel.

Dan begitulah akhirnya petualangan ibadahku di Makah lebih sering saya jalani sendirian. Sama seperti petualanganku selama beribadah di Madinah. Dan kesendirianku membawa banyak berkah dan cerita yang luar biasa keren bagiku. Seperti menjadi tamu istimewa dan dinaungi oleh pengawalan pribadi askar wanita di raudhah ketika beribadah di Masjid Nabawi.

Diberi tausiyah secara pribadi oleh ustadzah Masjid Nabawi, di beri pelayanan istimewa dan diperbolehkan kapan saja beribadah di raudhah. Bertemu tempat yang menyejukkan hati di Masjidil Haram, berhasil mencium hajar aswad. Beberapa kali salat di hijir ismail. Melakukan tawaf sendirian setiap waktu. Dan mendapat hadiah dari Sufi di Masjidil Haram. Sungguh luar biasa bukan.

Sebenarnya tempat yang aku favoritkan dan kuperjuangkan untuk ditemukan adalah tempat yang sama sekali tidak istimewa dibandingkan tempat lain di masjidil haram. Pojok lantai dasar berlantai marmer dingin dan tidak berkarpet. Tepat dibawah tangga masjid, jarang dan bahkan mungkin tidak pernah dilirik oleh jamaah lain yang datang untuk beri’tikaf.

Tidak tahu mengapa saya kok merasa mencintai tepat itu. Sepertinya aku mengenali tempat itu dengan baik. Seperti ada pertautan hati antara aku dengan pojok bawah tangga tersebut. Apakah mungkin dulu almarhum kakekku pernah duduk di tempat itu juga sebelum beliau dinyatakan hilang dan tidak kembali ke Indonesia dalam ibadah haji beliau tahun 1979.

Entahlah, hanya Allah yang maha tahu rahasia kehidupan. Tetapi yang aku rasa tempat itu menentramkan batiku dan tereduksi dari hiruk pikuk jutaan jamaah yang lain. Jauh dari kerumunan jamaah juga. Meskipun jarak dari shof lain hanya beberapa meter saja.Tetapi dalam jamaah salat wajib tentunya aku tetap bergabung dengan shof yang ada di depanku.

Jutaan jamaah yang ada di jajaran shof teratur terhanyut oleh aktivitas penghambaan kepada Allah. Masing-masing tidak saling menoleh ataupun saling mencampuri satu dengan yang lain. Yang ada hanya senyuman, anggukan dan sorot mata teduh bersahabat. Kesadaran bahwa kami berasal dari negara yang berbeda-beda membuat kami mendewasakan diri untuk tidak saling mengobrol berlebihan. Kami lebih suka membaca Al Qur’an atau bermunajat kepada Allah sambil menunggu imam memulai salat berjamaah.

Tak sedetikpun ingin kulewatkan waktu di makkah kecuali untuk mensyukuri Kemaha Kuasaan Allah yang luar biasa atas kehidupanku. Allah, Allah aku mencintaimu. Tolong jangan lepaskan tanganku dari perlindungan dan kasih sayangMu selamanya.

Karena hanya engkau milikku dan hanya Engkau Dzat yang paling memahamiku dan membuat aku nyaman karenanya. Biarkan aku berada dalam naungan kasih sayangMu selamanya. Please never let me go again ya Rabb. Because I love you and feeling save with You. Bisikku sambil menyeka derai air mataku pelan pelan supaya jamaah disekelilingku tidak menyadarinya.

Bacaan takbir yang dibaca imam mulai membuka kembali kunci kran air mataku yang telah aku seka. Tetes demi tetes meluncur deras membanjiri burkha yang kukenakan. Kebetulan salah satu teman di Madinah menghadiahkan sebuah burkha. Jadi sengaja kukenakan selama aku tinggal di Makkah.

Air mata yang membanjir dan rasa hati yang tidak bisa dilukiskan itulah yang membuatku lebih suka menjauh dari kerumunan jamaah lain ketika beribadah. Karena aku malu terlihat menangis oleh mereka. Karena jika melihat orang lain menangis mereka biasanya merasa khawatir dan memelukku. Seperti yang pernah aku alami selama di Masjid Nabawi Madinah.

Dan begitulah setiap kali Salam dari salat gaib selesai diucapkan oleh imam setelah salat fardlu berjamaah selesai dilaksanakan), sedetik setelah Salam aku segera berpindah ke sudut di bawah tangga masjid. Karena salat gaib memang merupakan salat rutin yang didirikan oleh seluruh jamaah sesudah salat wajib untuk mendoakan para jamaah yang meninggal di Makkah dan Madinah.

Karena memang setiap hari banyak jamaah haji dan umrah yang meninggal dunia di tempat tersebut, baik karena faktor usia ataupun karena sakit selama di Makah dan Madinah. Sudut tempatku duduk beri’tikaf sungguh penuh dengan kedamaian dan kenyamanan. Suasana tenangnya segera menengelamkanku kedalam dunia lain. Dunia penuh kasih sayang antara aku dan Tuhanku, Allah.

“Wahai Allah Tuhanku yang aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau”, isakku. “Sungguh aku sangat mencintaimu dan tidak memiliki siapapun yang benar-benar memahamiku kecuali Engkau”. Air mataku segera berderai mengiringi kata-kata lirihku kepada Allah. Dan segera rajukan berikutnya meluncur mengikuti aliran air mataku yang sederas sungai Nil. “Tolong lindungi aku dengan perlindungan tanganmu sendiri Ya Allah.

Kedatanganku di Masjid ini adalah bukti bahwa Engkau sungguh-sungguh menyayangiku dan hanya Engkau kasih sayangku. Tolong jangan pernah lepaskan tanganku dari kasih sayangMu. Wahai Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, Tempatkan 1000 malaikat untuk melindungi kami. Lapisi hatiku dengan perisaiMu. Perisai yang sangat kuat sehingga luka-luka dari fitnah yang segaja mereka tanamkan tak terasa lagi bagiku. Naungi jalan kehidupanku dengan ArasyMu yang Maha Luas.

Engkau Dzat yang menciptakanku dengan penuh kasih sayang. Engkau dzat yang telah berjanji tentang hari berbangkit dan pembalasan amal. Seberapapun buruk orang meniupkan sihir kejahatan dunianya padaku. Hanya Engkau Tuhanku yang mampu membuka tabir kehidupan manusia. Sehingga tidak ada satu kekuatan jahat yang yang Engkau ijinkan untuk melukai aku dan anak-anakku.

Ya Rabbi. Tempatkan aku di tempat yang seharusnya aku di tempatkan. Tempat istimewa yang sebelumya mustahil dan tidak pernah terbayangkan akan tercapai olehku dan manusia-manusia lainnya. Tempat yang tercapai hanya bimbingan cahaya dan kuasa Allah”.

Bederai air mataku setiap kali mengenang kata Allah. Sama persis dengan kondisiku saat ini. Saat aku menuliskan cerita perjalananku di Makkah dalam buku Penyihir Literasi yang konon akan merubah jalan hidupku selanjutnya. Ah, entahlah mau dibawa kemana jalan hidupku oleh yang menciptakannya. Aku nurut saja. Cuma yang kadang aku tidak habis pikir itu adalah mengapa ya didunia ini tercipta manusia yang memiliki iri dengki. Andai saja semua manusia memiliki jalan pikiran yang tulus seperti hatiku tentu tidak aka nada ucapan orang yang saling menyakiti ya. “Cie… kenapa kamu sombong sekali Endang, merasa hatimu pure” seloroh setan. “Ya memang begitu adanya kok.

Aku memang sedang tidak naif. Jika tidak percaya tanyakan saja pada Allah yang menciptakannya. Yang menjahati dan tega melukaiku itu karena belum mengenal karakterku saja”, bela hatiku sambil berkaca-kaca. Dan begitulah hari-hariku selama di Makkah kuhabiskan di bawah tangga itu hanya untuk banyak berdoa, membaca Al Qur’an dan bercerita kepada Allah.

Back to main story. Setelah sedikit menceritakan tentang tempat teduh favoritku di bawah tangga masjid, saatnya menuju cerita lain yang tak kalah ajaib. Tentang perjuangan dan keberhasilanku salat di Hijir Ismail dan mencium Hajar Aswad. Nah kali ini juga berawal dari lucky. Kebetulan di hotel tempat aku menginap bersama ayah dan rombongan lain dari Cakra Tour and Travel ada beberapa office boy dan respsionist yang telah aku kenal dengan baik.

Karena keramahanku dan keberanianku melobi juga. Beberapa dari mereka pernah mentraktirku makanan roti di kedai Turki. Tetapi aku memilih untuk membungkusnya dan memakannya bersama ayah di kamar hotel. Dan kali ini aku sudah membulatkan tekad untuk bertawaf sendirian dan tidak pergi berbelanja bersama ibu-ibu ke pasar tidak jauh dari Masjidil Haram.

Lagi-lagi aku memanfaatkan kebaikan resepsionis. Ku tanyakan dengan Bahasa Inggris kira-kira pukul berapa Kakbah dalam kondisi sedikit sepi pengunjung dan aku bisa bertawaf untuk mencium Hajar Aswad. Tidak lupa aku menanyakan dibagian mana lokasi Hajar Aswad dan Hijir Ismail serta strategi yang harus aku tempuh untuk mencapainya. Karena jujur selama beberapa kali bertawaf bersama rombongan dan mutowif aku belum pernah melihat mana itu lokasi Hajar Aswad karena begitu penuh sesaknya jamaah yang tawaf.

Rombongan selalu memilih untuk mengambil rute tawaf di bagian luar yang aman dari resiko terseret arus para jamaah negara lain yang selalu bertawaf dalam rombongan besar, berjalan dengan cepat dan tubuh yang tinggi besar pula. Rasanya kena kepret anginnya saja bisa berpusing tujuh keliling. Mutowif selalu melarang kami mendekati Hajar Aswad demi keamanan akibat terseret arus jamaah tinggi besar tersebut.

Tetapi jujur aku sedikit nakal. Pada saat itu hari bebas dimana semua jamaah umrah kami bebas menggunakan waktu mereka untuk berbelanja, beristirahat di hotel ataupun memilih beri’tikaf sendiri di masjid. Diam-diam aku pergi tawaf sendirian berbekal informasi dari seorang tamu hotel yang asli orang Makkah.

Informasi bahwa kakbah yang tidak pernah sepi meskipun tengah malam atau dini hari itu ternyata pernah juga mengalami masa agak berkurang kepadatannya. Yaitu setiap jam 9 pagi hari. Kata beliau sambil menunjukkan tampilan layar televisi hotel yang secara otomatis menggambarkan kepadatan jamaah yang sedang tawaf di Kakbah.

Dan benar saja aku hari tersebut memang sudah ditinggal rombongan wanita dari grup kami untuk berbelanja oleh-oleh maka pilihan satu-satunya adalah menuju ke Kakbah. Kebetulan bagiku petualangan untuk mencium Hajar Aswad lebih menarik dari pada pergi berbelanja, itu pikirku. Memasuki kamar hotel aku berpapasan dengan ayah dan beberapa jamaah laki-laki yang sedang berbicang-bincang di teras kamar. Kelihatan begitu seru sih. Aku segera bersiap, mengambil wudhu dan berpamitan ingi salat di Masjid. Tentunya aku tidak jujur jika ingin salat di Hijir Ismail.

Dengan Bismillah dan berdoa kepada Allah aku mulai melangkah cepat menuju masjid, seperti biasa kukenakan burkha dan kacamata hitam dengan model berjalan cepatku yang so cuek dan yakin diri. Memang saya harus tampak telah mengenali Masjidil Haram dan seluk-beluknya dengan baik.

Supaya tidak memancing perhatian askar yang bertebaran disetiap sudut masjid. Saya harapkan mereka bakalan mengira saya adalah penduduk asli Kota Makah. Segera setelah memasuki masjid melalui gate 91 yang telah biasa kulalui untuk memasuki masjid, kususuri rute yang umum dilalui jamaah menuju pintu masuk kakbah.

Seperti biasa air mataku telah bercucuran sejak kakiku menapakkan kaki di pelataran masjid. Sampai di pintu tangga masuk Kakbah ternyata kehadiranku telah disambut oleh antrian jamaah yang luar biasa banyaknya. Terdiri dari ratusan bahkan ribuan orang yang tingginya hampir dua atau tiga kali ukuran tubuhku.

Tapi jumlah antrian jamaah saat ini masih tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan waktu aku tawaf bersama teman-teman beberapa kali yang lalu. Ya Haj, Ya Haj thoriq thoriq” seru para askar memberi aba-aba supaya para jamaah yang berbadan tinggi besar terus berjalan maju sehingga tidak menimbulkan kemacetan di pintu masuk Kakbah.

Dan dengan menunduk melindungi wajahku yang telah berlinang air mata kususupkan diri bersama kumpulan jamaah berburkha hitam. Supaya aku tidak lagi dianggap asing. Semoga usahaku dimudahkan Allah, bisik hatiku. Satu dua kali putaran tawaf yang menguras air mata. Hatiku hanya berdoa dan berdoa saja. Allah dan hanya Allah yang aku ingat. Dunia dan isinya telah lenyap dari pandanganku. Begitu juga jamaah rombongan jamah luar negeri yang tadi kuikuti.

Perlahan kubuka mataku dan kupandang matahari yang bersinar sangat terik. Bismillah kulangkahkan kaki menerobos jalur tawaf membentuk garis diagonal merangsek pelan ke barisan tawaf paling dalam. Subhanallah indah sekali Kakbah dari dekat.

Tak hentinya aku bersyukur atas keberuntunganku. Kebetulan ada beberapa jammah laki-laki asli timur tengah berbaik hati memberikan jalur tawafnya untuk kulalui terlebih dahulu. Mereka memilih berada di jalur tawaf dibelakangku karena aku kelihatan seorang wanita dan sedang berjalan sendirian. Dan Alhamdulillah karena ijin Allah aku berhasil menyentuhkan kakbah dan bertawaf satu kali putaran sambil tanganku meyentuhnya. Mmmm indah banget Ya Allah, kebahagiaan yang tidak pernah terlukiskan.

Di sepanjang jalur tawaf yang kulalui sempat kulihat beberapa jamaah yang duduk sambil mencium kakbah menangis dan meratap-ratap. Tetapi aku hanya memperhatikan saja sambil berlalu. Karena hatikupun sejak tadi sama sekali tidak pernah kering oleh air mata. Akhirnya setelah tujuh kali putaran mengelilingi kakbah dari tepian terdekat Kakbah. Akhirnya aku tertarik juga untuk ikut masuk dan salat disuatu tempat yang dijaga banyak sekali askar.

Lagi-lagi karena pertolongan dan kasih sayang Allah semua menjadi mudah bagiku. Entah kenapa laki-laki Arab yang sedang menunggu antrian di depanku mengalah dan mempersilahkanku untuk menempati posisinya. Akhirnya aku bisa salat di tempat yang diminati ratusan jamaah itu. Berdoa lama sekali karena aku merasa sangat nyaman berada disana. Entah kenapa tidak ada yang mengusirku. Padahal sebenarnya para askar dengan aturan tegas memberikan waktu terbatas bagi jamaah yang salat di tempat tersebut.

Sejujurnya awalnya hatiku tidak paham jika tempat yang kugunakan salat itu adalah Hijir Ismail. Karena tamu hotel yang tadi memberikan informasi hanya memberikan diskripsi kabur dari denah lokasinya saja. Hanya saja yang paling mencolok adalah ketika kita mengambil rute tawaf paling dekat dengan Kakbah maka akan tampak antrian yang sangat banyak di sana. Berjubel-jubel dan dijaga oleh beberapa askar.

Berawal dari penasaran dan ikut-ikutan. Dan setiap kali tawaf sendirian, alhamdulillah kesempatan salat di tempat tesebut selalu kudapatkan. Lucunya setelah beberapa kali salat ditempat tersebut yang akhirnya baru hari ini aku ketahui jika ternyata tempat itu adalah Hijir Ismail. Ah entahlah Ya Allah.

Setelah puas bercerita dengan pemilik tempat yang indah dan luar biasa nyaman itu akhirnya aku bangkit dari sujudku. Tujuan selanjutnya adalah keluar lewat jalur pintu exit yang dijaga askar. Proses keluar yang sama antrinya dengan ketika akan memasuki Hijir Ismail.

Dan lagi-lagi jammah tinggi besar menyambutku di jalur tawaf yang sudah sangat padat. Wao, postur tubuh yang tinggi dan sangat besar. Mayoritas mereka yang berasal dari Afrika, Nigeria dan wilayah sekitar Sudan berkulit hitam pekat. Sebagian lagi jamaah yang berasal dari Timur Tengah Saudi Arabia, Irak, Iran, Plestina dan Mesir berkulit putih tinggi besar dan berhidung mancung.

Postur tubuhku yang middle size untuk ukuran orang Indonesia tampak seperti kurcaci dilautan manusia-manusia big size, bukan tandingannya. Tetapi ukuran tubuh jamaah Indonesia memberikan keberuntungan tersendiri lho. Pengalaman lucu dan unik sering diceritakan oleh para jamaah.

Ayahku sendiri pernah bercerita jika pernah diangkat oleh jamaah yang ukuran tubuhnya sangat besar ketika sedang asyik berdzikir di Masjid Nabawi. Mungkin saja terjadi kesalahan pada saat itu. Bisa saja tempat yang digunakan oleh ayahku berdzikir adalah rute lalu lalang jamaah. Jadi terpaksa ayah dipindah oleh mereka ke tempat yang aman. Bahkan selanjutnya beliau tidak terlalu menyadari apakah yang sebenarnya terjadi dan langsung melanjutkan kegiatan doanya. Lucu bukan?

Sedangkan bagiku ukuran tubuhku sangat menguntungkan dalam proses petualangan menembus barikade jamaah menuju Hajar Aswad. Memang benar untuk mencapai kenikmatan ruhani mencium batu dari surga Hajar Aswad diperlukan perjuangan yang gigih dan perlu keberanian. Termasuk butuh kenekatan ekstra.

Jujur aku pernah memiliki pengalaman konyol tentang kenekatan tersebut. Yaitu ketika melihat kenyataan bahwa didepanku terdapat ribuan makhluk tinggi besar sedang adu otot mengerumuni tempat tersebut. Entah dari mana aku memiliki pikiran konyol tersebut.

Tanpa malu-malu aku menundukkan badan dan mulai menggunakan taktik perang TNI. Beberapa menit berjuang dalam himpitan dan desakan akhirnya barikade musuh berhasil aku lalui melalui jalan semut. Jalan yang tidak biasa dilalui manusia yaitu menerobos sela kaki jamaah luar negeri yang sedang bertawaf di depanku.

Kutahan rasa sesak akibat himpitan yang luar biasa menyakitkan. Rasanya aku nyaris mati tergencet himpunan jamaah yang menakutkan. Hajar Aswad tinggal semili lagi dari mukaku segera kucium dengan penuh rasa syukur sedangkan dadaku terasa sudah hampir meledak. Selesai mencium Hajar aswad aku kehilangan rasa lagi karena kesusahan bernapas.

Tiba-tiba aku berdoa kepada Allah. Ya Allah aku berangkat berumrah bersama ayah. Tolong jangan biarkan ayah menangis karena beliau harus pulang sendirian ke Indonesia. Dan tiba-tiba aku merasa tubuhku terlontar sekeras kerasnya dari depan Hajar Aswad ke arah luar. Jalur tawaf terluar dan mendarat dengan selamat.

Saat mendarat semua tampak baik-baik saja. Denyut jantungku pun stabil seolah-olah saya tidak baru saja sesak napas terhimpit di tengah ribuan jamaah. Lalu siapa yang mendorongku hingga terlempar beberapa meter keluar jalur tawaf? Sungguh sampai detik ini saya belum memahaminya. Biarlah tetap menjadi rahasia Illahi.

Rasanya tidak ada habisnya jika menceritakan Kakbah dan tempat-tempat yang dianggap mustajab. Keluar dari pusaran menakutkan di depan Hajar Aswad. Kenekatanku belum surut juga. Segera tampak di depanku semua jamaah berkerumun dengan tangan ke atas menggapai suatu tempat di tepian Kakbah yang dijaga askar.

Tepat disamping pintu masuk Kakbah. Seperti taktik sebelumya segera aku menyusup di tengah jamaah tinggi besar dari India dan Pakistan. Jika adu otot di area Hajar Aswad nyaris membuatku tinggal selama-lamanya di Makah. Kali ini tidak terlalu brutal. Saling mendorong memang juga terjadi. Tetapi pada saat aku berusaha ikut menyentuhnya sambil berdoa, kami para jamaah wanita diberi kesempatan oleh mereka.

Alhamdulillah sambil berpegang pada kaki pintu Kakbah. Aku hanya mengikuti tindakan sama seperti apa yang dilakukan jamaah pada umumnya. Tempat yang konon sebagai tempat paling mustajab untuk digunakan berdoa di Makkah, Multazam namanya.

Aku bangga telah berhasil menjadi penyusup yang sukses hari itu. Sebagai pembuktian bahwa ukuran tubuh bukan segalanya. Karena Allah menilai manusia dari hati dan ketaatannya bukan berdasarkan ukuran tubuh atau wajahnya. Please jangan minder dengan ukuran tubuh kita yang mendadak terasa menjadi krucil di Makah.

Karena kita Indonesia itu luar biasa lho. Termasuk kenekatannya. Buktinya ketika Mutowif melarang kami mendekat ke tempat-tempat padat yang merupakan konsentrasi jamaah demi keselamatan. Banyak juga diantara jamaah Indonesia yang berhasil nekat pergi dan mengalami pengalaman ruhani mencium Hajar Aswad, berdoa di Multazam, salat di Hijir Ismail dan bahkan ada yang secara tidak sengaja terjebak dan ikut masuk ke dalam Kakbah. Subhanallah. Luar biasa bukan?

Dan akhirnya pengalaman yang melelahkan berjibaku dengan ribuan jamaah big size hari itu membuatku kehabisan energi. Sekembalinya ke hotel aku langsung tertidur sampai malam hari. Allah aku menyayangiMu selalu dan selamanya. Undanglah aku kembali tahun depan ya, Ya Allah. Amin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa, hampir semua kata saya baca sampai berakhir.Emang keren, Bunda.

21 Feb
Balas



search

New Post