Pak Bakri sudah di depan laptop kesayangannya. Monitor dan tombol-tombol di keyboard sudah dibersihkan. Zoom sudah di-on- kan. Sambil menunggu siswanya join, ia sempatkan untuk bercermin di video zoom. Ia khawatir ada sebongkah kotoran di ujung matanya atau secarik kulit merah milik sambal bawang buatan istrinya. Setelah diamatinya dengan seksama dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, wajahnya sudah tampan menawan. Pertanda zoom meeting sudah siap dalam kondisi prima.

Sudah seperempat ditambah dua perdelapan menit berlalu namun siswanya belum juga ada yang join. Pak Bakri memanfaatkan waktu menunggu dengan sarapan ketan ampas kelapa berlumur sambal kacang dan kopi hitam gula aren. Tiba-tiba, Dio datang. "Sarapan, Pak. Lezat banget kayaknya." Pak Bakri kaget. Ternyata, ia lupa menonaktifkan videonya. Disambarnya tissue untuk mengelap mulutnya meski si ketan masih dalam mulutnya. Dengan malu ia tekan simbol kamera supaya tergores satu garis diagonal berwarna merah.

Tak lama berselang, satu persatu siswanya bergabung di zoom meeting. Waktu belajar hanya tersisa dua puluh menit. Pak Bakri tetap menyapa dengan semangat dan gembira. Tapi mereka hanya menjawab salam lalu mematikan kembali videonya. Pak Bakri menjadi geram saat semua siswanya mematikan video. Ia marah, nafas dan dadanya naik turun dengan cepat. Ia merasa tidak dihormati sebagai guru. Ia meminta semua siswanya menghidupkan videonya masing-masing dengan nada tujuh oktafnya. Suasana zoom meeting menjadi gaduh. Pak semakin marah. Kepalanya bertanduk merah, giginya bertaring, dan kepalanya mengeluarkan asap dengan tebal. Seketika Dio menghidupkan videonya. "Video bapak saja mati. Kok, kita nggak boleh." Kata Rio membuat Pak Bakri tersentak dan malu. Telunjuk kanannya langsung menekan mouse dan seketika zoom mati. Ternyata kursor tepat di kata end meeting.