Hariyani

Hariyani adalah nama asli sejak lahir dari Ibu bernama Marsini dan Bapak bernama Paniran yang tinggal di Blitar. Berlatar pendidikan SDN Jatituri 2 Blitar, SMPN...

Selengkapnya
Navigasi Web

Ada Doa di Balik Canda

Ada Doa di Balik Canda

Hariyani

“Begitu unik Allah mengatur jalan hidup manusia, tetapi semua mengandung hikmah yang luar biasa sebab ternyata di balik canda ada doa.”

"Sudah ada yang melamar atau belum, Bu? Kalau belum biar bapakku ke rumah sampeyan1," kata Pak Huda sambil tertawa saat jam istirahat di ruang guru.

Aku pikir guyonan2. Meski dengan nada bercanda, mungkin juga ada udang di balik batu. Nyoba-nyoba saja siapa tahu bernasib mujur. Kalau aku menanggapi dia beruntung, kalau tak aku tanggapi dia tak malu karena teman-teman akan mengira sekedar berkelakar.

Aku harus menjawab apa? Andai langsung aku jawab jujur bahwa memang belum ada yang melamar, sungguh malunya aku. Andai aku tak menjawab, padahal gelombang ombak di dadaku ini berdeburan. Itu artinya aku membohongi diriku sendiri.

"Hla, yang di Jakarta bagaimana?" Aku berusaha menanggapi, tetapi aku alihkan.

"Halah, ditanya balik bertanya. Alamat ini," timpalnya tetap sambil tertawa.

"Alamat tak bersambut, ya?" seloroh Pak Jiono.

Tak berlanjut. Kami sama-sama dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Aku biarkan gejolak hatiku yamg sudah berdebaran ini. Perawan mana yang tidak suka mendengar kalimat semacam itu. Rasa bahagia dan malu kini berbaur jadi satu.

***

Satu bulan berselang sejak Pak Huda mengatakan itu. Aku pikir memang benar dia hanya bergurau. Untungnya, aku juga tidak menanggapinya dengan serius. Meski aku merasakan detak jantung ini semakin berdegup setiap kali berpapasan dengannya. Bahkan setelah apa yang disampaikannya itu, secara diam-diam aku sering mencuri pandang dari balik jendela kelasku ketika dia sedang mengajar olah raga di lapangan. Ada kekaguman tersendiri,

Postur tubuhnya tinggi besar. Hidungnya mancung. Aku seperti berhadapan dengan bintang film Bolliwood tiap kali aku menatapnya. Tingkahku yang semakin hari aku rasakan semakin kubuat semanis mungkin ini sebenarnya aku sadari sepenuhnya. Tak lain karena ingin menarik simpatik darinya.

Hari ini adalah ujian sekolah. Aku mengawasi anak-anak. Aku menundukkan wajah mengecek absensi. Tetiba Pak Huda muncul di hadapanku seperti seorang murid yang menghadap gurunya.

“Bu, sudah ada yang melamar atau belum? Kalau belum, biar bapakku ke rumah sampeyan.”

Dug! Aku kaget langsung mendongakkan wajah. Mataku memandangnya tak berkedip. Entah murid-muridku mendengar atau tidak aku tak bisa melihatnya karena terhalang oleh besar tubuhnya di hadapanku. Hati siapa yang tidak kaget dikejutkan dengan pernyataan ini. Sudah kali kedua, ia mengatakan hal yang sama. Aku yakin dia benar-benar serius. Anehnya , mulutku seperti terkunci. Bagaimana mungkin aku menjawab lamaran di hadapan murid-muridku? Pasti akan menjadi bahan tertawaan mereka. .

Aku sembunyikan merah mukaku sambil mendatangani absen pengawas yang disodorkannya. Aku tersenyum. Entah apa yang dirasakannya aku tak berani lagi menatap matanya. Dia mengucapkan terima kasih kemudian berlalu dari pandanganku.

Aku merasakan kejanggalan. Mengapa tiba-tiba saja dia menjadi petugas piket dan meminta tanda tangan kehadiran pengawas? Apakah memang tugasnya? Aku mengecek jadwal tugas piket dan pengawas ujian. Hari ini Pak Huda tidak piket. Seharusnya dia juga menjadi pengawas di ruang 11. Wah, modus ini. pikirku.

Aku tak boleh menyia-nyiakan keseriusannya. Dibela-belanya dia menyamar menjadi petugas piket agar bisa bertatap muka denganku untuk mengatakan hal yang sama. Namun, bagaimana caranya aku bisa mengetahui maksud sebenanrnya dia menyatakan itu? Aku harus punya akal untuk memastikan pernyataannya. Aku kirim saja surat untuknya.

***

["Assalamualaikum Wr. Wb., Pak, mohon maaf, ya, sudah dua kali saya mendengar Pak Huda menyatakan hal yang sama. Terus terang, ketika pertama saya mendengar candaan Pak Huda, saya malu dengan pertanyaan Bapak yang didengar banyak orang di ruang guru. Bagaimana saya harus menjawab pertanyaan seperti itu di hadapan mereka. kemudian Bapak mengulang lagi pernyataan itu di hadapan murid-murid yang sedang ujian. Mana mungkin saya menjawabnya?

Pak, Kita sudah sama-sama dewasa, rasanya tidak perlu berbasa-basi. Kalau memang benar, apa yang Bapak katakan, datanglah ke rumah saya. Saya akan sangat berbahagia menanti kedatangan Bapak. Wassalamualaikum Wr. Wb."]

Surat ini aku titipkan kepada adiknya karena selain mengajar satu sekolah dengan Pak Huda, aku juga mengajar di MAN tempat adiknya bersekolah. Aku mencari di mana kelasnya dan memanggilnya saat jam istirahat. Meski dengan ekspresi yang heran Kumil, adiknya, menemuiku.

“Kumil, titip buku ini ya, kemarin Pak Huda pinjam.”

Surat bersampul aku sisipkan di tengah buku agama Tasawuf Modern. Aku tahu Pak Huda mempunyai latar belakang pesantren. Tentu buku ini bisa dijadikan sebagai alasan.

Kumil tersenyum menyambut buku itu. Entah apa arti senyumnya. Aku tak peduli karena bagiku hanya inilah cara yang tepat dan cepat untuk segera menanggapi pernyataan Pak Huda.

Surat itu ternyata cukup menggetarkan Pak Huda karena aku telah menyambut harapan di balik candaannya. Buktinya, dia menuruti permintaanku. Dia datang ke rumah pada malamnya setelah surat dia terima. Sayangnya, aku sedang keluar membeli mi pangsit. Ini kutahu dari adikku yang mengatakan bahwa aku dicari seorang laki-laki tinggi besar yang mengendarai motor dengan ciri-ciri yang disebutkan. Aku yakin bahwa motor itu adalah milik Pak Huda.

***

Siang yang redup tak seredup hatiku. Justru aku merasakan suasana yang begitu romantis semilir anginnya. Mungkin karena perasaanku yang berbunga-bunga sehingga panasnya suhu udara tertutup oleh suasana hati. Harap-harap cemas dalam masa penantian.

Kring … kring …! Aku dikejutkan oleh Pak Pos yang membawa sepucuk surat untukku. Kulihat pengirimnya. Sebuah nama cewek. Oo, muridku dari Malang mungkin. Pikirku . Pelan kubuka sampulnya.

[“Assalamualaikum Wr. Wb., Dik Har, aku tak bisa banyak berkata. Akhir-akhir ini hari-hariku penuh dengan bunga bermekaran yang indah dan harum. Bunga-bunga itu tak lain dan tak bukan berasal darimu.

Dik Har, Kumil, adikku, mengatakan bahwa dia merasa Dik Har sudah menjadi bagian dari keluarga kami. lucu, ya? Tapi, ya begitulah kenyataannya. Sampai di sini dulu ungkapan perasaanku, Dik. Wassalamualaikum Wr. Wb. ]

Deburan ombak di dada ini semakin menghantam relung hati. Merembet ke urat-urat nadi. Aku Tarik napas lalu aku hembuskan pelan. Aku tata gelombangnya yang tak beraturan ini. meski surat ini tanpa nama pengirim, aku hapal sekali dengan tanda tangannya. Dari Pak Huda.

Selembar kertas folio yang digunting bergelombang pada tepi-tepinya ini telah mengalirkan sengatan listrik ke jantungku hingga turun naik napasku. Aku seperti dibawa terbang ke langit biru diajaknya bermain awan. Kadang melenggang menyentuh awan yang membuatku semakin terguncang. Gejolak rasa ini tak bisa kulukiskan ataupun kuungkapkan dengan kata-kata indah seindah ungkapan penyair. Yang ada dalam bayanganku hanyalah saat-saat tubuh tinggi besar itu berdiri di lapangan. Saat melakukan smash3 dalam sebuah pertandingan bola voli. Begitu cekatannya dia menjadi pengumpan. Begitu tangkasnya dia melakukan service4. Bayangan tentangnya memenuhi pikiran dan anganku.

***

Dua bulan berjalan. Pak Huda meminta merahasiakan hubungan kami di sekolah. Aku pun sangat menyetujuinya sebab aku juga takut diketahui Kepala Sekolah. Akibatnya, saat di sekolah, kami berperilaku seakan hanya teman biasa sehingga teman-teman tidak tahu hubungan kami.

Rupanya tidak mengertinya teman-teman mendatangkan masalah bagi kami. Seorang guru yang sudah PNS mengatakan pada Pak Huda bahwa dia suka denganku. Pak Huda mengirimkan surat kepadaku. Surat dalam tulisan Arab, tetapi bahasa Jawa. Abjad Arab Pegon namanya. Tulisan Arab yang seperti inilah membuatku kalang kabut. Aku tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren bagaimana aku bisa membacanya?

Aku mencoba mengira-kira. Alhamdulillah, ada yang bisa aku terjemahkan. Aku tulis ulang di bagian bawah. Bagian yang tidak kupahami, aku lingkari. Namun, aku bingung. Aku mau bertanya kepada siapa? Guru MAN? Aku malu andai mereka menemukan ada hal yang rahasia. Aku putuskan untuk bertanya kepada muridku di MAN yang nota bene5 mempelajari abjad ini.

Aku berkeliling kelas lalu aku sodorkan tulisan yang aku lingkari kepada muridku. Alhamdulillah, bisa membacanya. Lengkap sudah kata-kata dalam surat itu. Aku gabung dan aku tulis ulang. Begini terjemahan dalaam bahasa Indonesianya.

[“Dik, tadi aku bincang-bindang dengan Pak Khudori. Dia mengatakan bahwa ingin menjalin hubungan denganmu. Dik, kalau boleh aku menyarankan pertimbangkan dia. Masa depannya lebih cerah daripadaku.”]

Dug! Jantungku seperti dihantam martil. Mengapa dia mengatakan ini? Aku tak mempunyai perasaan apa pun kepada Pak Khudori. Meskipun dia sudah PNS tapi usianya di bawahku. Aku jadi teringat bagaimana tingkahnya. Tiap kali aku sedang mengajar di kelas, dia bolak-balik lewat di teras kelasku. Ketika sampai di pintu kelas, dia menoleh ke arahku dan melemparkan senyumnya. Aku pun tersenyum menyambutnya. Mungkin ini maksudnya mengirimkan sinyal kepadaku.

Aku jadi gundah. Mulai menduga-duga. Ataukah ini hanya akal-akalan Pak Huda saja? Mungkin dia mempunyai tambatan hati lain. Mungkin anaknya Pak Haji. Mungkin lebih kaya dan lebih cantik. Berbagai kemungkinan memenuhi pikiran dan perasaanku.

Sepulang sekolah aku harus nekad ke rumahnya. Aku haris mendapatkan penjelasan darinya. Apa maksud isi suratnya ini? permasalahan ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut.

Sebenarnya aku sudah lupa jalan ke sana. Seingatku dua kali aku ke sana. Pertama, saat neneknya meninggal dunia. Kami semua guru-guru takziah ke sana. Kedua, saat aku ingin menengok bayi dari teman guru MAN yang rumahnya dekat rumah Pak Huda. Maksudku mau bertanya di mana rumah teman guru MAN itu, ternyata di situ pun sedang ada acara yaitu adiknya melahirkan. Aku pun tidak jadi ke rumah temanku. Aku menengok bayi adiknya dan kado bayi aku berikan kepada adiknya. Aku kecele6 ceritanya.

Kujalankan motorku ke sana. Kecewaku setelah sampai di sana karena ternyata dia tidak di rumah. Bapaknya mempersilakanku masuk dan menanyai maksud kedatanganku. Aku pun tak bisa menyembunyikan masalah ini. Aku bercerita apa adanya kepada bapaknya. Bapaknya bilang bahwa pesanku akan disampaikan kepada Pak Huda.

Sudah terlanjur basah melibatkan bapaknya dalam urusan kami. Ternyata bapaknya menjadi jembatan hubungan kami. Aku dimintanya untuk datang ke rumahnya. Pak Huda menjemputku dan kami berdua dihadapkan kepada bapak yang bijaksana.

“Apa kamu sudah bisa menerima kondisi Pak Huda yang seperti ini? Tidak punya apa-apa. Masih GTT pula.”

Ternyata beliau meminta kepastianku. Aku sangat takut ditanya tentang hari kelahiran. Takut jika beliau tidak menyetujui hubungan kami dengan alasan hari kelahiran yang tidak cocok menurut perhitungan Jawa. Ternyata beliau mempunyai pemikiran yang Islami. Sama sekali tidak menanyakan tentang hari lahir.

Aku berusaha menjawab pertanyaan beliau dengan hati-hati. Aku takut salah ataupun menyinggung perasaan Pak Huda. Aku menjelaskan semua yang aku rasakan. Aku sudah berketetapan hati untuk menerima Pak Huda apa adanya. Aku sudah tidak berpaling lagi mencari yang lain. Bagiku, persoalan agamanya yang lebih tinggi dariku inilah yang aku cari. Pada Pak Huda aku menemukan kriteria yang aku inginkan. Aku selalu berdoa untuk diberi jodoh yang bisa menjadi imamku. Terutama iman dan islamnya yang lebih tinggi dariku.

***

Pernikahan pun terlaksana dengan sederhana. Kami sangat bersyukur akan nikmat yang Allah berikan. Rupanya rasa keceleku saat menengok bayi itu menjadi pertimbangan Pak Huda bahwa aku sudah perhatian dengan keluarganya. Allah begitu unik mengatur perjalanan hidup manusia sebab dari peristiwa itulah Pak Huda terus mengatakan ingin melamarku. Jodohku didatangkan lewat peristiwa unikku.

Pada saat pernikahan itu, kami hanya mengundang saudara dekat. Salah satu saksi dari sekolah adalah Pak Agus yang kebetulan juga saudaraku.

Seperti kebiasaandi sekolah kami, setelah menikah, kami akan mengirimkan nasi kotak dan kue ke sekolah. Aku yang mengirim ke sekolahku di MAN sedangkan Pak Huda mengirimkan ke sekolah tempat kami mengajar. Sekotak nasi dan sekotak kue untuk setiap guru atau pun karyawan.

“Siapa yang tasyakuran?” tanya Pak Khudori kepada Bu Ninuk.

“Saudaraku,” jawab Pak Agus

“Pak Huda sama Bu Har,” jawab Bu Ninuk juga dengan memeragakan. “Ini Pak Huda,” sambil meletakkan sekotak nasi, “Ini Bu Hariyani,” sambil menumpangkan sekotak kue di atas sekotak nasi itu, “dan … , mereka menikah … ,” lanjut Bu Ninuk menjelaskan. Semua tertawa. Semua saling menyahut. Semua saling memberikan komentar bahwa mereka tidak melihat gelagat adanya hubungan di antara aku dan Pak huda selama ini. Pak Khudori memandang dengan tatapan hampa. Tak mengeluarkan sepatah kata pun. Entah apa yang ada dalam benaknya.

***

1 kamu,2 candaan 34 teknik memukul bola voli 5catatan khusus6tidak menemukan

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post