Goa Surowono
Air bening mengalir dari satu lubang menuju sebuah lubang lain. Rimbunnya rumpun bambu menambah kesan angker dari terowongan ini. Satu pintu besi menutup pintu masuk menuju ke sungai bawah tanah, menambah ciut nyali bagi para pengunjung yang akan memasuki terowongan. Hawa yang dingin dan ruangan yang gelap memberikan kesan wingit .
Rasa ragu bercampur rasa ingin tahu melihat suasana goa yang terlihat sepi mendadak sirna begitu rombongan anak anak datang sambil teriak teriak .
“Pak terowongannya sebelah mana”. Tanya salah seorang anak.
“itu lho nak, hati hati agak dalam” jawab ku
“ Pak boleh gak masuk kedalam” tanya salah satu anak perempuan yang kelihatannya sangat antusias.
“Gak usah masuk nak, ruangannya gelap”.jawabku menghawatirkan keselamatan mereka.
“ Ah pak guru ………………” keluh beberapa anak hampir secara serempak.
“ Pak kalau sudah sampai disini tapi tak bisa merasakan sensasinya masuk terowongan sama juga bohong pak” kata salah seorang anak setengah memaksa.
Setelah mengadakan diskusi yang cukup panjang akhirnya kami menemui petugas pemandu yang akan memandu kami memasuki terowongan. Anak anak yang ingin masuk ternyata cukup banyak dan sebagian besar justru perempuan.
‘’ Ayo perempuan masuk dahulu dibelakang pak pemandu” perintahku pada anak anak yang berjubel di depan pintu.
Pintu masuk terowongan sekitar dua meter tingginya dengan lebar sekitar setengah meter. Air jernih dan bersih sedalam setengah meter mengalir menuju kedalam terowongan. Dasar terowongan yang berbatu membuat kami harus berhati hati menelusuri lorong. Semakin dalam kami memasuki terowongan suhunya semakin dingin dan ruangan semakin gelap.
“ Pak gelap …………. Gelap ………….. Gelap” teriak anak anak panik.
“Keep moving ……….. just keep moving” perintahku dalam bahasa inggris.
“ Just go a head……………. Move on, go go go” teriakku terdengar menggema di terowongan.
“Pak depan gelap sekali, dingin dan sulit nafas” seorang anak mundur mendekatiku.
“Keep moving. we’ll finish soon. Lets go” kataku menyemangati.
Nampak di depan mulai kelihatan berkas cahaya dari ujung lorong goa.
“Look over there that’s the end of our adventure. Lets go ahead.”kataku pada seorang anak yang nampak begitu ketakutan.
Keluar dari mulut terowongan membuat nafas begitu lega. Terangnya suasana diluar dan segarnya udara yang kami hirup kembali memberi semangat dan memompa keberanian untuk melanjutkan tantangan pada trowongan yang kedua. Meski terowongan yang kedua ini lebih pendek, namun tantangannya justru lebih berat.
Tinggi lorong goa kedua hanya sekitar satu setengah meter dengan kedalaman air mencapai setinggi pinggang membuat usahaku untuk menghindari pakaian basah saat melewati lorong menjadi sia sia. Semakin kedalam ruangan semakin sempit dan pendek membuat kami harus berjalan sambil jongkok dan tak lagi menghiraukan lagi pakaian yang basah karena terendam air. Ruangan yang gelap hawa yang dingin menjadikan petualangan kedua ini lebih memacu adrenalin. Tidak ada suara teriakan dari anak anak, semua begitu hati hati dan waspada, membuat suasana begitu menegangkan. Hanya suara air yang beriak terdengar memecah ketegangan. Seorang anak yang kebetulan berperawakan pendek dan kecil dengan santainya berjalan tanpa merunduk. Dengan penuh percaya diri mendekatiku.
‘’ Sir, this is the advantage of being short. I don’t need to bent to explore this exiting place’’. Kata anak itu dalam bahasa inggris, sambil terawa bahagia.
“ he he he lucy you, that’s true”sahutku sedikit parau.
Agak kaget mendengar kata kata yang keluar dari mulut anak itu. Bagaimana tidak, tubuh kecil dan pendek biasanya menjadikan anak menjadi kurang percaya diri tapi anak ini justru merasa senang. Dia tahu bahwa segala yang diberikan yang maha kuasa pasti memiliki kelebihannya masing masing. Dalam kondisi seperti ini dia bisa melihat betapa teman temannya yang punya badan tinggi dan besar harus bersusah payah menelusuri terowongan dengan cara jongkok bahkan kadang merangkak dengan kepala berada diatas permukaan air sementara dirinya dengan santai berjalan tanpa banyak mengalami kesulitan.
Ketegaran dan kebahagiaannya menerima keadaanya yang kecil dan pendek mengingatkanku pada sebuah kisah teladan yang pernah saya dengar lewat seorang khotib dalam khutbahnya, Kisah Abu Qilabah.
Dalam khutbahnya khotib menceritakan tentang seorang musafir yang sedang menempuh perjalanan di tengah hamparan padang pasir, ia menemukan sebuah kemah yang sudah tua. Musafir itupun mendekati kemah dan didapatinya didalam kemah itu ada seorang tua yang duduk dengan tenang. Setelah diamati dengan seksama ternyata orang tua itu buntung kedua tangannya, buta kedua matanya dan diapun hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Terlihat dari mulutnya komat kamit mengucapkan beberapa kalimat.
“Segala puji bagi Alloh yang telah melebihkan aku atas banyak manusia” ucapnya lirih berulang ulang.
Musafir itu heran, diamatinya sekali lagi keadaan orang itu. Teryata tidak ada seorang keluargapun yang ia miliki, sebagian besar anggota tubuhnya sudah tidak lagi sempurna. Lalu apakah gerangan yang membuatnya merasa diberi karunia yang lebih oleh Alloh yang Maha Pencipta.
Merasa ada seorang yang mendekat, orang tua itupun bertanya,” Kamu siapa”
“assalamu’alaikum, aku seorang musafir yang tersesat. Aku mendapatkan kemah ini” jawabnya. “Dan kamu siapa mengapa tinggal di tengh padang pasir seorang diri” tanyanya selanjutnya. “Mana istrimu, mana anakmu” tanya musafir itu lebih lanjut.
“Aku seorang yang sakit, semua orang meninggalkanku, dan keluargaku kebanyakan sudah meninggal” jawab kakek itu.
“Mengapa ku dengar engkau berulang ulang mengucap segala puji bagi Alloh yang telah melebihkan aku atas banyak manusia padahal demi Alloh aku tidak melihat ada kelebihan yang diberikan Alloh kepadamu. Sedangkan engkau fakir, buntung, buta dan engkau sebatang kara.” Ucapnya.
“Aku akan menceritakannya padamu, tapi maukah engkau mengabulkan permintaanku” tanyanya.
“Jawab dulu pertanyaanku baru aku akan mengabulkan permintaanmu”jawabnya.
“Engkau telah melihat betapa banyak cobaan yang telah Alloh berikan padaku, akan tetapi segala puji bagi Alloh yang telah melebihkan aku atas banyak manusia… bukankah Alloh memberiku akal sehat yang dengannya aku bisa berfikir dan memahami….”
“ Betul “ jawab musafir. Lalu kata orang tua itu “ berapa banyak orang yang gila “
“Banyak juga” jawab musafir. Lalu kata orang tua itu, “Segala puji bagi Alloh yang telah melebihkan aku atas banyak manusia. Bukankah Alloh telah memberiku pendengaran yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa apa yang terjadi di sekelilingku” tanyanya.
“Iya benar” jawab musafir. Lalu kata orang tua itu, “Segala puji bagi Alloh yang telah melebihkan aku atas banyak manusia”.
“Berapa banyak manusia yang tuli” tanya pak tua. “ Banyak juga “ jawab musafir itu.
Orang tua itu terus menyebutkan kenikmatan kenikmatan yang ia miliki dan ia terus menyatakan segala puji bagi Alloh yang telah melebihkanku atas banyak manusia. Sampai akhirnya pak tua itu mengatakan; “Bolehkah aku menyebut permintanku dan maukah tuan mengabulkannya.
“Katakanlah” sahut musafir itu.
Dengan berat menahan tangis orang tua itu mengatakan bahwa satu satunya keluarga yang ia miliki hanyalah seorang anak yang usianya 14 tahun. Ialah yang mengurusnya. Mencarikan makan, minum, membantunya berwudlu, dan mengurus segala keperluannya. Anak itu pamit mencarikan makan sejak semalam dan sampai sekarang belum pulang.
“ Tolong carilah anakku itu. aku tak tahu apakah ia masih hidup atau sudah mati atau sebaiknya kulupakan saja” kata orang tua itu dengan berat.
Setelah ditanyakan ciri ciri dari anak tersebut, berangkatlah musafir itu mencari anak tersebut meskipun tak tahu kemana ia harus mencarinya.
Setelah cukup jauh ia berjalan dari kejauhan tampak sebuah bukit kecil. Diatas bukit kecil iitu tampak sekawanan burung gagak bergerombol mengelilingi sesuatu. Musafir itu segera mendatangi bukit kecil itu karena firasatnya mengatakan; burung gagak tak mungkin bergerombol kecuali ada bangkai atau sisa makanan. Ketika sampai dibukit itu didapatinya potongan potongan daging dan tulang. Ternyata bocah itu sudah meninggal diterkam serigala dan sisa tubuhnya menjadi makanan burung gagak. Tertegun sang musafir, begitu sedih ia menyaksikan nasib anak itu. tapi ia lebih sedih memikirkan nasib kakek tua di tengah padang pasir itu.
Ada rasa bimbang yang menggayuti hatinya. Haruskah aku tinggalkan orang tua itu sendirian ataukah aku datangi dia dan ku kabarkan berita kematian anaknya. Dalam kebimbangannya, ia bingung harus memulai dari mana ia mengabarkan perihal kematian anaknya. Terlintas pada pikiran musafir itu tentang kisah nabi ayyub alaihisalam. Belum lagi musafir bercerita pak tua itu sudah mendahului bertanya, “ Dimana anakku”
Namun musafir itu menjawab,”Jawablah pertanyaanku lebih dahulu, siapakah yang lebih dicintai Alloh, engkau atau nabi ayyub alaihissalam”.
“Tentu Ayyub alaihissalam lebih diicintai oleh Alloh” jawabnya.
“Kalau begitu siapakah yang lebih berat ujiannya”tanyanya lagi.
“Tentu Ayyub “ jawabnya.
“Kalau begitu, berharaplah pahala Alloh atasmu. Aku mendapati anakmu telah tewas diterkam serigala dilereng gunung.” kata musafir itu mengabarkarkan anaknya.
Mendengar kabar kematian anaknya orang tua itu tersedak yang membawa kematiannya setelah mengucapkan Laa ilaaha illallaah.
Sorak sorai anak anak yang telah sampai di luar lorong menghentikan perenunganku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren tulisannya Pak.
thanks mas lama facum. bagaimana kabar
Tadabur alam. Asyik dan menantang. Salam.
Pangestunipun mas.