haryono

Harry B. Pras nama ini menggabungkan nama pemberian orang tuaku, dan nama bapakku. Aku diberi nama Haryono oleh bapakku yang bernama Bedjo Prasodjo. Sebagai seo...

Selengkapnya
Navigasi Web
BAHASA MATEMATIKA
VESPA 64

BAHASA MATEMATIKA

Brow en brew, aku mau cerita sedikit. Boleh?! Mau tahu gak dengan ceritaku? Siiiiip, kalau mau. Kalian luar biasa!!! Awas, kalau gak mau! Dari pada benjol, baca saja ya ceritaku yang cuma sedikit ini (kudu dipaksa! Aku bisa menulis juga dipaksa. Sudah kutulis ceritaku, kamu gak mau baca—kudoakan kupret seumur hidup!).

Broow…, broow..!, breew… breeew…!!

Jauh-jauh aku dari Jogja, meninggalkan kota zaman old-ku, yang diiringi deraian air mata dari orang-orang yang kucintai—sebut saja Ida, itu salah satunya (bukan cemewew-ku—kang Sule, aku pinjem istilahmu ya). Ida memang orang yang sangat-sangat kucintai. Kalau cowok sepertiku, kamu semua pasti akan mencintai Ida—ibu dan ayah. Betuuul?!

“Kowe kudu sukses, Le!” pesan bapakku dengan mata berkaca-kaca. Sementara ibuku berurai air mata saat melepas kepergianku. Mukaku sembab—tapi masih kutahan agar tetap tegar.

Dengan bekel uang 75 ribu rupiah dari bapakku, kutinggalkan mereka semua. Kutinggalkan semua yang kusayangi dan menyayangiku. Visi dalam hatiku—aku kudu dapat mengangkat derajat kedua orang tuaku—dengan membahagiakan mereka! (Eh, kok malah jadi melo ya—galau nih batinku, mengenangnya!)

Pertama kalinya aku tiba di Bogor, yang kupegang saat itu pagar tembok Tugu Kujang yang menjulang ke atas. Terus, aku duduk di altarnya. Kuucapkan kepadanya,”Haaai..! Aku datang!” Kuelus-elus keramiknya yang mulus, yang menghiasi sekeliling altar tugu itu. Norak ya?! Betul, itu kejadian norak pertamaku di kota hujan ini. Karena saat itu belum musim selfie-selfie-an. Yang ada aku kehujanan terus—maklum, Bogor sepanjang hari hujannya gak bisa diprediksi.

Di Tugu Kujang itu aku langsung disambut tetesan air yang suka rela turun dari langit kota Bogor—aku kehujanan. Aneh dan jengkel perasaanku. Sesampai di Internusa hujannya reda—gak setetes air hujan pun sudi membasahi jalan di depannya. Busyeeeet! Gerutuku sebel sendiri. Jarak Tugu Kujang ke Internusa gak lebih dari 400 meter brow! Itu kejadian tahun 1992. Di bulan puasa—Ramadhan, awal bulan Maret. Aku dan temanku terdampar di kota hujan.

Perjalananku masih lumayan jauh. Dari Tugu Kujang, aku terpaksa menunggu datangnya angkutan umum—sebut saja miniarta. Betul, aku menunggu angkutan yang akan melaju ke arah Jakarta—supaya mau membawaku ke daerah Warung Jambu. Setahuku, belum ada sebutan untuk kota Bogor—kota seribu angkot.

Aku berdua dengan temanku, berdiri di situ—berteduh di sebuah halte bus di pinggir jalan—gak jauh dari Internusa. Jalan Pajajaran masih dua jalur. Belum selebar seperti sekarang. Untung memori dikepalaku sekelas Core i7, jadi masih dapat mengingat 27 tahun yang lalu.

“Mas Bud, Alhamdulillah, tas kita tadi disimpan di rumah om Eko,” ujarku membuka percakapan.

“Betul Har. Untung juga, kamu punya om tinggal di Bogor. Kalau tidak, nasib baju-bajuku pasti sudah basah kuyup semua…,” sahutnya. Dia menjawab sambil menggigil kedinginan.

GPL—gak pakai lama, aku semakin jauh terdampar di kota yang baru aku datangi ini. Kenek bus miniarta teriak-teriak,”Jambu..! Jambu..!” kenek itu menoelku. Geragapan sedikit—bingung aku ditanya oleh dia.

“Enggak. Aku gak makan jambu…,” jawabku.

“Mas turun Warung Jambu?” tanyanya rada sewot.

“Ooooh, eee, iya…, Warung jambu. Kukira makan...,” setengah menutupi rasa malu aku dan temanku turun dari angkutan bis yang berukuran tiga perempat itu. Kata om-ku, menyebut bus-bus kecil seukuran miniarta dengan istilah bus tiga perempat. Bahasa matematika yang unik. Aku baru mendengarnya.

Dari Warung Jambu untungnya lagi, aku dipandu oleh beberapa siswa yang berjalan beriringan. Kulihat name tag sekolahnya. Alhamdulillah, sampai juga ke tempat yang kuinginkan. Sesampainya aku di sekolah yang akan menampungku, di situ sudah ada beberapa temanku yang lebih dulu hadir. Mereka sudah diwawancarai beberapa hari sebelumku.

Setelah giliranku, melalui proses wawancara seperti yang lain, aku dan mas Bud dianggap memenuhi syarat, dan akhirnya diterima kerja. Bahkan kami semua telah dinobatkan menjadi guru yayasan di sekolah swasta itu. SK sebagai guru yayasan diberikan oleh seorang ibu yang tadi mewawancaraiku—brow, ternyata ibu itu yang punya yayasan (hebat bener ya, kayak dapat nobel aja istilahnya—dinobatkan).

Karena saat itu belum musim HP, semua berita hanya melalui sepucuk surat saja. Saking senangnya menjadi guru, diusiaku yang masih sangat muda—seperempat abad saja juga belum sampai. Buru-buru aku share info itu ke orang tuaku yang nun jauh di sana—di Jogja. Isi beritanya intinya begini ‘Bu, aku sudah menjadi seorang guru. Diangkat menjadi guru yayasan!’

Beberapa temanku yang sama-sama datang dari Jogja, mengajar di sekolah itu, semua mendapatkan SK pengangkatan. Hanya saja yang mendapatkan tambahan julukan cuma diriku sendiri. Yang lain tidak.

“Pak Kecil, sini…, kemari. Ini SK pengangkatan Bapak..,” kata ibu yayasan sembari menyerahkan map berwarna biru kepadaku.

Aku menerima SK itu sambil tersenyum. Pak Kecil?! Gumanku.

Teman-temanku disebut namanya saat SK-nya diberikan kepada mereka. Lha, kok namaku jadi pak Kecil? Kapan aku diberi bubur merah dan bubur putih?! Kenapa tidak dipanggil saja namaku? Aku jadi kebingungan sendiri. Mulai hari itu, aku sudah harus standbay di sekolah itu.

Begitu brow en brew ceritanya!

Aku sempat bingung dengan pengetahuan dasar matematika anak-anak yang kuajar. Piye iki brow, kok kayak begini?! Gimana aku gak gagal paham?! Aku tanya ke anak-anak yang sedang istirahat, karena waktu kulihat di jam dinding menunjukkan pukul 9.45 menit. Tandanya sebentar lagi memasuki waktu istirahat—ngaso, kata orang Jawa.

Aku saat ini sedang memerlukan sebuah kertas untuk sarana praktik menggambar. Lalu, apa yang membuatku bingung? Aku jelas bingung dengan TKP yang belum familier di kehidupanku yang baru saat ini. Maklumi saja brow, aku kan orang baru—aku baru seminggu terdampar di kota hujan. Supaya tidak tersesat di jalan, kudu gak malu bertanya—jangan menjadi korban peribahasa. Coba, aku harus bertanya kepada siapa? Karena di sekolah gak menyediakan sarana itu—gak jual kertas kalkir. Nah, lo, kalau mau beli kertas kalkir di mana?! Begitu kira-kira setengah rasa bingungku kuungkapkan ke mas Bud. Temanku menunjuk salah seorang siswa yang sedang makan di depan gerbang sekolah,”Tanya deh, ke Agung. Itu anak yang sedang makan.”

Eeemmprrrrit! Mas Bud malah sudah akrab dengan murid-muridnya. Lha, aku sendiri masih belum mengenal nama mereka?!

"Dik, kalau toko yang jual kertas kalkir dan kertas mili meter dimana ya..?" kutanya salah seorang muridku. Aku perlu kedua kertas itu untuk mengajar anak-anak menggambar layout rangkaian elektronika.

"Di toko itu Pak, sebelah toko baju yang dekat perempatan. Bapak tinggal menyebrang, sebelah kanan ada gang kecil. Nah, itu tokonya..."

Aku bengong, kenapa? Karena setiap aku ke sekolah, melalui jalan raya hingga sampai ke sekolahku ini, yang kulalui hanya ada pertigaan—simpang tiga. Belum pernah melewati perempatan—simpang empat.

"Perempatan yang mana ?" tanyaku lagi.

Auto klepek-klepek pikiranku. Biarin aja deh, mau pertigaan atau perempatan yang penting aku bisa memperoleh kertas yang kubutuhkan untuk praktik.

"Yang itu Pak, yang mau mengarah ke sekolah ini...."

"Kan itu simpang tiga...., pertigaan namanya....," aku mencoba membetulkan konsep dan pola berpikirnya.

Siswaku garuk-garuk kepala, nyengir mirip kuda, karena salah kaprahnya sudah menganak cucu dari orang tuanya. Mau pertigaan, perempatan atau simpang lima..., kata orang tuanya nama persimpangan seperti itu perempatan.

Itu brow ceritaku pertama kali terdampar di kota hujan. Lain waktu, kalian semua bakal kuceritai ketika aku kenal sama ibunya anak-anak. Biar tambah seru…..

*****

Suatu ketika aku iseng melihat anakku yang waktu itu duduk dikelas dua SD. Mereka debat dengan temannya. Sedang kerkom rupanya (kerja kelompok) di rumahku. Buku-buku bertebaran di ruang tamu. Ternyata ada PR matematika yang belum dapat terpecahkan. Masalahnya unik, tentang penjumlahan dan pengurangan. Kebetulan mengerjakan kerkomnya di rumahku. Kata anakku, PR itu kudu dikerjakan, oleh gurunya tidak diperbolehkan menggunakan kalkulator. Saking jujurnya, anak-anak itu jadi bingung—takut kalau pakai kalkulator—besok-besok, kerja kelompoknya ada yang ngebocorin ke gurunya. Padahal sepele, hitungan angka yang sangat mudah.

"Ada apa sih kok ribut terus dari tadi...?"

"Ini Yah.., tiga ratus lima puluh dikurangi seratus tujuh puluh lima belum ketemu...."

"Coba pakai pengurangan ke bawah aja...," usulku. Aku terpaksa mengotretnya di selembar kertas. Mereka dengan seksama mengamati angka-angka itu. Otak mereka seperti buntu.

"Iya sudah...., masih bingung...!" jawab anak-anak. Maklum kelas dua SD.

Aku ikutan bingung. Otakku mencari solusi buat mereka. Jeng..! Jeng..! Jeng…!! Prosesor di otakku langsung cair. Ide itu muncul dan membantuku untuk mengatasi masalah mereka.

"Emm, begini…! Kalau kamu punya uang tiga ratus lima puluh, dijajanin seratus tujuh puluh lima, kembaliannya berapa??" aku iseng-iseng.... sebenarnya juga bingung. Ngasih tahu rumus apa yang pas untuk anak kelas dua SD.

"Seratus tujuh puluh lima rupiah...." sahut teman-teman anakku.

Sempruuuuuuuuullll, mata duitan semua nih anak-anak. Belegug, batinku dongkol! Aku diplekotho oleh anak-anak bau kencur. Eh, anak-anak bau ompol! Empriiiiiiiit, sialaan!! Aku berlalu dari TKP diiringi gelak tawa anak-anak. WKWKWKWK—cekakak!!

cacatan : emprit (umpatan rasa jengkel supaya tidak kasar. Sebutan nama burung pemakan padi istilah orang Jogja--burung pipit)

Diplekotho = semacam dibuli

Harry B. Pras

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pak kecil...

08 Oct
Balas

Hehehe, iya sebutanku begitu. Teman-temanku sekarang sudah pada sukses yang dulu mengajar di sekolah itu...

08 Oct

Hehehe, iya sebutanku begitu. Teman-temanku sekarang sudah pada sukses yang dulu mengajar di sekolah itu...

08 Oct

Pak Haryono, saya sudah baca tulisannya, saya gak bakal benjol kan? Tulisannya keren pak, sepertinya ketika menulis ini semua mengalir begitu aja ya pak,gak perlu make mikir untuk ngatur kata-katanya, dekat dengan bahsa sehari-hari. Sukses terus pak!!

08 Oct
Balas

Hahaha.., gak benjol kok. Sudah membaca. Terima kasih...

08 Oct

Wihhh mantap

08 Oct
Balas

Kenangan awal, terbang menjadi kuli tinta...

08 Oct

Wihhh mantap

08 Oct
Balas

Lanjutkan pak...

08 Oct
Balas

Terima kasih bu Suci suport-nya

08 Oct



search

New Post