haryono

Harry B. Pras nama ini menggabungkan nama pemberian orang tuaku, dan nama bapakku. Aku diberi nama Haryono oleh bapakku yang bernama Bedjo Prasodjo. Sebagai seo...

Selengkapnya
Navigasi Web
BELUM MOVE ON
bacaan selingan saat santai, sambil minum kopi....

BELUM MOVE ON

Rahman masih asyik sekali menikmati sisa-sisa kopinya. Santai, tenang, mengulum cairan kopi yang masih hangat itu di dalam rongga mulutnya masuk diantara sela-sela giginya. Tidak lama kemudian dia menelan cairan kopinya. Dia seakan sedang mencari sensasi terlebih dahulu dari rasa kopi buatan Bejo. Hmm, nikmat bener rasa cairan hitam pekat itu. Mungkin batin Rahman berguman begitu.

Teman-temannya memandangi dengan heran. Iiih, begitu amat sih minum kopinya?! Dia mencium aroma kopi itu lagi dari cangkirnya yang sudah tinggal sisa ampas hitam. Atau barangkali Rahman sudah terpengaruh iklan-iklan di TV yang sering menayangkan seseorang yang sedang meminum kopi?! Atau sedang membayangkan mantan-mantannya?!

“Loe bukannya mikir malah menikmati kopi!”

“Terus gimana kelanjutan karung berasmu? Sudah selesai belum ceritanya?” tanya Engkus setengah memaksa Rahman.

“Iya nih, lagi seru-serunya. Saya pingin tahu kelanjutan si Mak dan binimu. Apa komentar Abah setelah itu?”

Rahman diam saja, cangkir kopinya masih di tangan dia.

“Wah, si Rahman sedang menikmati ngopi ala orang Jawa nih. NGOPI itu artinya Ngolah Pikiran, makanya rasanya PAHIT. Tapi se pahit-pahitnya kopi dia masih bisa dibuat LEGI (manis). LEGI itu maknanya Legowo ning ati. Berlapang dada hatinya, caranya kudu ditambah sedikit GULA—Gulangane Rasa. Mengelola perasaan baik, yang asalnya dari tanaman TEBU—Anteb di kalbu. Mantab hatinya, setelah diseduh ditempatkan di CANGKIR—Nyancangkan ing Pikir. Menguatkan Pikiran, terus disiram dengan WEDANG—Wejangan yang membuat terang. Wejangan itu nasehat yang menentramkan hati, jangan lupa brow, harus di-UDHEG—Usahanya jangan sampai mandeg. Usahakan jangan sampai berhenti saat ngudheg (mengaduk). Coba pakailah SENDOK—Sendhekno Marang Sing Nduwe Kautaman, maknanya Pasrahkan semua kepada yang maha kuasa, kemudian ditunggu sebentar biar agak ADEM—Ati digowo Lerem, hati supaya menjadi tenang. Setelah itu di-SERUPUT—Sedoyo Rubedo Bakal Luput maknanya semua godaan akan terhindar,” kata Aryo mencoba mengungkapkan istilah ngopi—dia ngopas juga dari kiriman WA salah seorang temannya. Karena dia kan asli Jogja, jadi bisa menterjemahkan sepenggal demi sepenggal makna yang terkandung dari istilah ngopi. Kemarin dia dapat kiriman WA yang mengulas makna istilah ngopi. Pas bener kalau diungkapkan di sini.

Rahman diam saja. Dia tidak terusik dengan gurauan teman-temannya supaya bercerita lagi tentang karung beras yang diboncengin. Sedang istrinya masih di tinggal di seberang pasar. Kontradiktif banget, tadi dia sempat mengeluh dengan tabiat bininya yang cemburuan sekali! Dan tidak lama kemudian, akhirnya Rahman membuka suara juga. Dia ingin menyenangkan perasaan teman-teman biar lega—tidak penasaran lagi dengan cerita karung beras itu.

“Abah sudah pergi, jadi gak komentar lagi. Bisa kalian ketahui sendiri, gue ribut dengan biniku. Dia gak terima waktu gue tinggal jalan duluan pergi berlalu dari pasar. Gue hanya membawa karung beras, sedang dia masih berdiri di pinggir jalan sambil teriak-teriak.”

“Wah, gak ada kelanjutannya dong cerita tentang karung beras itu lagi,” pancing Ade kecewa. Dia ingin beranjak dari tempat duduk, tapi masih ditahan oleh Engkus dan Bejo.

“Mau kemana? Nanti dulu… Rahman masih punya cerita. Kayaknya ini masih berhubungan dengan mantannya…,” seloroh Engkus sok tahu.

“Sepertinya sudah the end kok.”

“Belum. Tadi dia kan bilang, kalau bininya marah, pasti mengkait-kaitkan dengan mantan-mantannya.”

“Oh, iya…!”

Benar juga. Rahman ngoceh juga masalah hubungannya dengan bininya,”Gue nih pengantin baru yang terusik dengan berbagai macam godaan…” Katanya. Itu kalimat pembuka dari dia. Selanjutnya mengalir deras cerita tentang seluk beluk rumah tangganya yang dialaminya.

Sudah beberapa bulan mereka berumah tangga. Ada perasaan dosa kepada wanita yang dulu dekat dengan dia—Lina yang mengharapkan kehadirannya—datang melamar kepada orang tuanya. Tapi karena Rahman tidak tahu kalau wanita itu punya perasaan terpendam seperti itu!

Jadi tidak salah kalau akhirnya pernikahan yang dijalani Rahman dengan perempuan lain—Mery. Bukan dengan dia.

Tapi sekarang beban pikiran Rahman seakan dibuatnya bertambah stress. Setiap pulang kerja, omelan bininya yang dijumpai. Dia selalu disudutkan dengan keberadaan mantan-mantannya. Rahman pun hatinya jadi kesel! Selalu saja menjadi bahasa pengantar setiap pulang dari bekerja nadanya sama.

“Kenapa kok pulangnya sore terus? Emang jam kerjanya tidak tentu?” tanya si Mery sambil manyun. Bibirnya sudah nyaingin tugu kujang manyunnya.

“Macet di jalannnya!”

“Macet atau mampir di tempat mantanmu?”

“Macet!!”

Nah, mantan lagi!!!

Rahman kepikiran dengan Lina. Kenapa kok dulu gak memilih dia saja?! Bosen rasanya setiap pulang kerja hanya mendapatkan obrolan yang memicu pertengkaran.

Apalagi perkenalan Rahman dengan istrinya yang seumur jagung, terus dilanjutkan dengan ke jenjang pernikahan. Rahman tidak mengenal dengan jeli tabiat dan karakter istrinya itu secara detail. Atau dulu dia ingin menyenangkan hati adik saja—Rahmah, dengan menerima perkenalan teman akrabnya—Mery?! Cemburuannya masya Allah!

Ibaratkan Rahman mendekati seekor kambing betina saja yang dibedakin dan dikasih lipstick bibirnya, istrinya bisa ngamuk-ngamuk hingga semalam suntuk! Terpaksa deh, kalau sudah begitu Rahman terpaksa tidur di depan TV.

Rahman sempat galau.”Aduh, kenapa kok setelah gue menikah dengan biniku, Lina baru mengungkapan ini semua? Kenapa kok tidak dari dulu? Atau gue-nya yang tolol, tidak pernah memperhatikan isyarat-isyarat yang dia berikan untuk gue?!” ada semacam penyesalan dalam hatinya.

Suatu waktu Lina menyampaikan curhatnya ketika dia bertemu Rahman tanpa sengaja di suatu warung makan. Lina semakin kurus—namun bertambah cantik. Rahman nyaris tidak dapat berkedip saat bertatapan langsung. Dia berdiri saja bagaikan patung ketika pandangannya beradu dengan dia. Kala itu Rahman dan teman-temannya sedang makan siang di tempat itu. Perempuan itu juga sedang makan bersama beberapa temannya di tempat itu pula.

“Eh, neng Lina?! Dengan siapa kemari?” Tegur Rahman grogi.

“Aa Rahman. Aku makan bareng teman-temanku…,” sahut Lina sambil menarik tangan Rahman menjauh.

Lina mengajak bertemu empat mata dengan Rahman di tempat yang agak jauh. Mereka berdua menjauh dari perhatian teman-temannya sebentar. Lina pun berurai air mata lagi. Aduuuuh, godaan nih! Batin Rahman berguncang hebat! Semua uneg-uneg Lina tertumpah semua. Dari A sampai Z tentang keinginannya, dan kenapa Rahman pindah kerja tanpa memberi tahu dirinya. Tiba-tiba hanya surat undangan nikah itu sampai kepadanya. Meledaklah kesedihan Lina.

Perasaan Rahman berkecamuk. Dia seolah menoleh ke kanan dan kekiri. Ke kanan dia seakan melihat ada wajah Mery istrinya, saat dia menoleh kekiri ada perawan yang mengaguminya. Ya Allah, kuatkan imanku, batin Rahman seketika.

Sejak saat itu Rahman jadi sering menyendiri. Kalau di rumah, bininya ngomel-ngomel, Rahman menghindar. Males menanggapinya. Ingatannya jadi mengembara kemana-mana. Tapi lebih sering membayangkan wajah Lina.

Kadang kala Rahman jadi sering melamun sendirian. Dia ingat dengan Lina yang masih jomblo sampai sekarang. Kalau dengan Mae, Rahman sudah tidak mungkin berkeinginan mengingat-ingatnya lagi. Dua bulan setelah Rahman menikah, Mae pun juga menyusul menikah—karena Mae patah hati dan menerima lamaran laki-laki lain. Jadi tidak akan dipikirkan lagi oleh Rahman.

Lina—Perempuan itu sudah dekat di hatinya. Karena hampir setiap waktu selalu bertemu dalam lingkungan kerjanya waktu itu. Sedang dengan istrinya baru ketemu setengah tahun menjelang pernikahan. Dia hanya dikenalin oleh adiknya—teman kerjanya yang sering nongkrong di rumahnya kalau menjelang pulang kerja.

“Salahku… ini salahku!!” gerutu Rahman. Karena selama ini belum pernah ada kata atau seuntai kalimat pun yang bertujuan mengikatkan dua hati mereka. Mungkin hanya permainan mata atau candaan-candaan biasa yang selalu mewarnai senda gurau disaat istirahat, atau makan di kantin, tempat kerjanya yang dulu.

“Sudah deh, berani gak mantan yang dulu dijadiin yang kedua?” goda si Ade memecah cerita Rahman.

“Iya nih, kalau dapat omelan terus, kabur ke yang muda.”

Rahman tercenung—diam! Gantian dia yang galau. Perasaannya yang kini menggelayut di atas awan. Kopi di cangkirnya sudah sedikit lagi. Kata-kata dari beberapa temannya cukup mengganggu pikirannya.

Kedatangan Harry di tempat itu memecah suasana,”Haii, brow, kenapa melamun? Lagi pada ngapain?” Dia memukul punggung Rahman.

“Ini si Rahman cerita mantan dan waktu pernikahannya dulu…,” sahut Engkus.

“Brow, gimana ceritanya yang ketangkep basah mertuamu dulu?”

“Lho, cerita apalagi ini?????”

“Ooooh, masih bersambung ya?”

Engkus dan yang lain tambah berbinar-binar. Keponya langsung membuat mereka semua meriang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post