haryono

Harry B. Pras nama ini menggabungkan nama pemberian orang tuaku, dan nama bapakku. Aku diberi nama Haryono oleh bapakku yang bernama Bedjo Prasodjo. Sebagai seo...

Selengkapnya
Navigasi Web
BERBAGI  REJEKI  APA  SUSAHNYA
PULO CEMETI-PASAR NGASEM-KOTA TUA JOGJA

BERBAGI REJEKI APA SUSAHNYA

Hai gaes, pernah ke Jogja? Kalau kalian ke Jogja, mampir dong ke rumahku. Gak jauh kok dari Keraton Jogja, apalagi dengan Malioboro yang namanya telah mendunia itu. Sepuluh menit jalan kaki, kalian sudah sampai di Keraton. Kemudian jalan ke utara, gak lebih dari lima belas menit, sampai deh gaes, kalian di Malioboro—Pasar Beringharjo—Taman Pintar atau Beteng Vredeburg.

Kalau pingin sarapan pagi di sana, aku paling suka ke pasar Ngasem. Ada warung nasi yang menyediakan jangan ndeso. Eh, kalian pasti belum kenal—belum tahu, apa itu jangan ndeso?! Kepo kan dikau?! Jangan = sayur. Ndeso = katro. Tapi enak kok kalau aku menyebutnya dengan jangan ndeso saja. Lidahku lebih pas. Datang saja ke warung bu Ng*d**i, pasti kalian bakal kangen…! (ceritanya kalau sedang menyiarkan Iklannya, ditutup pakai suara “Tiiiiiit!”)

Aku sedang menulis di Facebook-ku. Ceritanya aku sedang lawatan ke Jogja menengok anak sulungku yang kuliah di UGM. Kalimat-kalimat tulisanku, karena sedang kangen dengan suasana Jogja, maka aku membahas tentang daerah-daerah di sekitar rumahku yang berada di tengah kota. Review tentang kulinernya yang sangat kugandrungi. Lha, kok malah jadi serius begini?!

Nah, lo.., kok aku jadi teringat kejadian saat menengok si Sulung ya. Piye iki gaes?! Gara-gara menulis khayalan tentang lawatan di dinding Facebook-ku…

Oke deh, satu saja kenangan yang akan ku-share, kalian boleh membaca (aku gak pelit lho). Karena aku bingung milah-milihnya! Suueeeer!! Sebentar brow, aku buka-buka dulu catatanku.

Nopember 2014, Jogja….

Aku dan anakku sudah merasa lapar sejak tadi. Teriknya matahari, terasa di atas ubun-ubunku saat ini, bisa kalian kira-kira deh, jelas banget waktunya sudah mendekati saat-saat lohor. Pantes saja kalau perutku mulai bersuara. Sepertinya sudah mengumandangkan orkes masing-masing... keroncongan dan dangdutan. Via Vallen dan Nella Kharisma sedang duet mendendangkan lagu Pamer Bojo—itu kalau istilah di zaman now. Nah, perutku dan perut anakku malah sudah karaokean. Minta diisi lagu-lagu yang berirama koplo—bukan diisi pakai bensin.

"Aa.., laper gak?" tanyaku. Sedikit saja kulirik wajahnya yang sudah pias. Peluhnya membanjiri di kanan kiri keningnya.

"Iya, makan dimana Yah?" suaranya kudengar seperti orang yang belum makan berhari-hari. Lemes dan lemah.

"Ayo, makan di soto Tamansari....," ajakku. Raut mukanya langsung bergairah. Dia bangkit dari tidur-tidurannya. Ada semacam suntikan darah segar yang mengalir di tubuhnya. Pias wajahnya langsung sirna.

Dia manggut tanda setuju. Sejenak kemudian, dia beranjak lalu berganti kaos. Setelah itu anakku pergi menutupi pintu rumah. Aku sudah menunggunya di depan rumah—duduk di bangku beton berhiaskan keramik. Sejenak aku pandangi rumah warisan ibuku. Rumah kecil berukuran 3 x 6 meter di pinggir jalan raya, yang sangat pada lalu lintasnya kalau menjelang siang hari. Setelah beres semua, dia menghampiriku. Ujug-ujug anakku bertanya,"Naik apa ya Yah..?!"

“Jalan kaki yuk?!”

“Gak ikut ah, bungkusin saja. Udah laper nih!” sungutnya dengan wajah setengah ngambek.

Aku tersenyum. Candaanku langsung dimakannya mentah-mentah.

Kebetulan dari arah barat, ada tukang becak yang melintas di depanku. Sopir becak itu sudah kelihatan sangat berumur. Ubannya tumbuh di mana-mana. Kalau menurut perkiraanku, usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Atau mungkin malah sudah enam puluh tahunan. Peluhnya bercucuran membasahi keningnya. Kaos lusuhnya juga basah kuyup. Bau keringatnya sangat khas, karena pengaruh debu yang melekat, langsung dibakar oleh panasnya terik matahari. Haruuuuuum semerbak bagaikan bunga melati yang telah busuk.

“Pak, bisa mengantar kami, ke soto Tamansari?”

“Monggo Den, sak kersane.”

Aku bingung kalau sudah dijawab sak kersane. Bukan apa-apa. Masa aku kudu gak bayar? Sak kersane = sak karepmu = semaumu!

“Berapa Pak ongkosnya, kalau bolak-balik?”

Setelah tawar menawar berakhir—deal, aku sepakat. Bapak tua tadi menyanggupiku, mau mengantarku bolak-balik. Berarti dia mau menungguku makan sampai kelar. Dan sungguh tak kuduga, bapak tua itu meminta dua puluh ribu rupiah. Sekali lagi, sungguh tak kusangka. Murah banget?! Aku semakin gak tega. Anakku badannya rada gendut, kasihan mengayuhnya. Bapak itu tenaganya sudah tinggal 45% kalau seumuran begitu.

Sepanjang jalan—di atas jok becak, aku ngobrol dengan anakku. Obrolanku tentang cerita masa kecilku dulu di kota Jogja ini, supaya anak sulungku bertambah wawasan. Daerah Tamansari termasuk salah satu tempat mainku, bahkan sampai blusukan ke kampung-kampung yang mendekati pinggir sungai. Ternyata aku mengalahkan pak Presiden lho, sejak kecil aku kalau main kemana-mana, ternyata aku sudah blusukan jauh kemana-mana. Pak Presiden ketika menjadi Gubernur DKI saja awal blusukannya—dan viralnya di zaman now! Aku sudah sejak kecil blusukan kemana-mana. Tapi kok gak viral-viral juga yo…?! Pingin dot com—kata orang orang. Hehehe…

"Pak soto dua ya. Yang satu gak pakai daging, satu lagi pakai daging..." pesenku ke pelayan warung soto langgananku—tentunya kalau aku sedang pulang ke Jogja seperti saat ini.

"Oke...," sahut mas pelayan itu datar.

"Ooo iya, minumnya es teh manis dua...," anakku menyambungnya dengan pesenan minuman.

Sambil manikmati semangkuk soto, live musik tersedia di depan warung soto. Gitar akustik tampak lusuh, enak terdengarnya dimainkan oleh yang memegangnya, sekaligus remaja itu menjadi vokalis. Bass elektrik penuh stiker dipegang oleh bapak-bapak dengan badan tambun. Di belakang bapak yang berbadan tambun, ada juga drum kecil seukuran drum mainan anak-anak. Alat musik itu dimainkan oleh seorang anak muda. Mereka diperbolehkan manggung di pojokan warung soto itu. Ada sebuah ember di taruh di depan mikropon untuk menampung saweran dari pengunjung.

Waooo, penyanyinya bersuara emas, tak kalah deh dibandingkan vokalis-vokalis X factor, IMB atau ajang pencarian bakat lainnya yang sering nongol di TV swasta setiap malam.

Selesai makan anakku memberikan uang di keropak pengamen yang selalu mangkal di warung soto itu. Beberapa lagu cukup indah mengiringi suapan nasi soto kami berdua.

”Yah, mereka itu makan dari jualan suara dan bermain musik. Coba kalau ada produser yang bertalenta emas, dan tertarik dengan permainan musik mereka. Sudah menjadi artis..., tapi kalau belum menjadi artis, biarlah kita doakan saja. Orang-orang yang makan soto di tempat ini mau berbagi rejeki ke mereka. Siapa tahu kalau mereka nanti terkenal, supaya tidak lupa pada asal muasalnya,” seloroh anakku memberi komentar.

Aku hanya mengangguk saja tanpa menaggapi suara anakku. Tukang becak tadi masih setia menungguku. aku dan anakku bergegas naik ke becaknya, setelah membereskan semuanya. Aku sengaja membungkus nasi, soto daging dan es jeruk manis.

Tidak sampai lima belas menit. Becak itu sudah di depan rumahku. Aku turun duluan. Anakku yang berbadan besar turun belakangan. Nafas tukang becat tadi terdengar ngos-ngosan. Suaranya mirip pelari marathon yang sampai finis.

“Pak, ini ongkosnya..,” kata anakku memberikan uang lima puluh ribuan. Plastik hitam berisi soto, nasi dan es jeruk juga diberikan ke tukan becak tadi.

“Den, uangnya kelebihan…,” penggal tukang becak keheranan.

“Ambil saja semua Pak. Mungkin hari ini, ada rejeki yang datang untuk bapak,” jawab anakku sambil masuk ke rumah.

Aku terharu. Itu semua ide anakku. Dia memintaku supaya membelikan nasi soto dan membungkusnya ketika aku membayar di kasir. Aku kira untuk makan nanti sore, ternyata….

Brow…, itu tulisanku di tahun 2014. Gimana?

Harry B. Pras

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

O pantas tulisan Pak Haryono bagus-bagus karena ternyata Pak Haryono sudah biasa menulis. Asli Jogja to, Pak? Selamat berkarya semoga sukses!

08 Oct
Balas

matur nuwun pak Edy, inggih saking Jogja

08 Oct

Muanteeep pak

08 Oct
Balas

terima kasih Bu

08 Oct

Wow.. .. Jadi laper

08 Oct
Balas

ayo makan brow...

08 Oct

Gaaaaaas lah pak kita jalan lagi ke taman sari...

09 Oct
Balas

agendakan lagi..., rombongan ibu-ibu. Bisa istirahat di rumahku, cukup buat 10 orang...hehehe

09 Oct



search

New Post