haryono

Harry B. Pras nama ini menggabungkan nama pemberian orang tuaku, dan nama bapakku. Aku diberi nama Haryono oleh bapakku yang bernama Bedjo Prasodjo. Sebagai seo...

Selengkapnya
Navigasi Web

BU ITU, SEMAKIN GALAK BANGET

Sore tadi ada dua orang siswaku yang sedang bercengkerama. Mereka asyik duduk berdua di depanku. Mereka ngobrol dengan cueknya, tanpa mempedulikan posisiku yang sedang beradu pandang. Sepertinya ruang tamu yang sempit di dalam tempat kerjaku, tidak terjadi kejadian hiruk pikuk, saling menginterferensi.

Suara lagu-lagu yang terdengar dari siaran youtube di monitor LCD lumayan kenceng. Karena posisi monitor itu nemplok di dinding, berada jauh di atas—nyaris menyentuh plafon. Aku tidak merasa keganggu dengan diskusi kedua muridku, juga suara Nella Kharisma yang mendayu-dayu Pamer Bojo di youtube. Demikian pula sebaliknya, mereka juga tidak merasa risih dengan keberadaanku di situ.

Kalau aku perhatikan, mereka sudah pulang sekolah, hanya numpang nongkrong di ruang guru—tepat di ruang tamu. Emang, ruang guru tempatku mengajar menjadi base camp anak-anak yang paling mengasyikan. Sering kali, di ruang tamunya, yang hanya ada sofa panjang satu buah, kursi kecil dan potongan kursi yang bentuknya mirip sofa tadi, tapi lebih kecil, sudah penuh sesak oleh anak-anak yang ngobrol dan diskusi. Tas mereka diparkir sembarang di lantai, bergelatakan di sana sini. Duduk mereka juga ada yang di lantai, di sofa tadi dan ada pula yang menarik kursi plastik untuk ikut nimbrung di ruangan sempit itu.

Betul, itu sering terjadi di tempat nongkrong guru-guru—di ruang tamunya kalo sudah beranjak sore hari. Aku tau, karena mereka bisa ngobrol hingga nebeng wifi gratisan. Itu yang membuat mereka betah berlama-lama di tempat itu. Kalo gak diusir-usirin, disuruh pulang oleh guru-guru, mereka nginep pun kayaknya mau.

“Lagi pada ngapain di sini?”

“Biasa Pak, mumpung ada NPWP—Ngirit Paketan serasa Wifi Pribadi…,” kata mereka sambil nyengir.

“Wifi Pribadi dengkulmu ambleg!” potong pak Indar setengah sewot. Dia keganggu ketika mau masuk ke dalam ruang guru. Ruang tamunya sudah berjubel anak-anak bak ikan sarden.

“Iya nih, wifi sekolah boleh untuk internetan, asal jangan untuk main game online aja!” tandas pak Rahmat.

“Iya Pak..!” sahut mereka ketakutan.

Ungkapan mereka kadang aneh. Punya istilah yang membuatku kebingunan. NPWP. Aku kira nomer pokok wajib pajak! Eh, malah diplesetin. Gila tuh…!

Anak-anak kalo sudah kena tegur begitu langsung diam. Pura-pura asyik terkena virus autisnya. Mainin jempol di layar androidnya. Padahal mereka duduk berdampingan, tapi fokusnya ke layar HP masing-masing—itulah akibat virus autis! Gak bisa ngobrol tanpa HP.

Oya, masih di ruang tamu—ruang guru. Aku duduk di sisi kiri dekat pintu—di kursi kecil yang mirip sofa. Kedua muridku tadi duduk di seberangku. Satu orang duduk di sofa panjang, si Dafa di kursi yang kecil mungil berbalut busa empuk.

Yang satu aku kenal namanya, karena dia memang anak asuhku—si Dafa, sedang yang satunya lagi aku cuma kenal wajahnya saja, namanya aku lupa. Dia punya nama, namun sampai saat tadi ngobrol berdua dengan si Dafa, aku tetap gak inget namanya. Bukan diberi nama Lupa oleh ortunya.

Keduanya asyik sedang membahas tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya. Satu persatu mereka membahas tentang tugas pelajaran yang sedang dibuatnya—mereka kupas tuntas. Dari yang paling mudah dikerjakan sampai kepada tugas yang memuakkan. Aku jadi teringat acara ILC di TV, yang suka mengupas masalah-masalah yang sedang ngetren di negeri ini. Nah, mereka berdua juga sedang mengupas masalah pelajarannya.

Aku mendengarkan dialog mereka dengan indra kelebihanku yang diberikan oleh Allah SWT—indra ke kepoanku. Mereka senyam-senyum saat menceritakan tugas yang belum diselesaikan oleh teman-teman mereka.

“Sudah selesai belum tugas membuat novel dari guru Bahasa Indonesia?” tanya Dafa ke teman yang duduk di seberangnya.

“Hampir kelar.”

“Kalo kamu sendiri sudah beres belum?”

“Udah dong. Kemarin, tiga hari yang lalu aku kumpulin…”

Mereka berdua tersenyum lagi. diskusinya semakin menghangat. Kata-katanya semakin menusuk ke ulu hati.

“Kasihan teman-temanku yang belum mengumpulkan tugas bikin novel…”

“Kenapa?!”

“Absensinya hanya di titik-titik saja oleh Bu itu. Kalo yang sudah mengumpulkan tugasnya, diabsensinya di ceklis-ceklis..!”

Mereka berdua tidak berani terang-terangan menyebut nama gurunya, mungkin sungkan dengan keberadaanku di depan mereka. Padahal masbudi—gak masalah buat diriku.

“Oh, sama kalo begitu. Di kelasku yang sudah mengumpulkan juga diceklisin di daftar absennya.”

Aku pura-pura membaca buku tulisanku. Tapi kupingku masih mendengar dialog mereka. Dan mereka pun juga cuek, karena melihatku sedang mengoreksi bagian-bagian catatan yang sedang aku edit. Tapi semakin lama dialog kedua siswaku juga semakin menarik saja kedengarannya. Mereka sedang membahas salah satu sisi temanku—guru bahasa Indonesianya yang memberikan tugas untuk membuat karya seni—novel individu.

“Emang tugas novelnya berat?” tanyaku tiba-tiba. Mereka auto kaget dong. Sekejap mereka diam membisu.

“Enggak Pak, malah Bu itu penasaran dengan tulisan si Dafa…”

Potong temannya seketika. Aku pun tergejolak demam kepo-kepo (bingung?!). Anak-anak aja suka bikin istilah aneh, masa gurunya gak boleh nganeh-anehi?!

“Tulisan novel Dafa membuat penasaran. Mistis dan fiksi yang diangkat, begitu temanya. Sampai banyak yang menyangka kejadian nyata…, padahal gak ada kejadian itu, di sekolah ini…”

“Iya, Dafa?! Novelmu menceritakan hal begitu?”

Si Dafa mengangguk. Tanda mengiyakan. Dia tersenyum kegirangan. Hasil karya seninya membuat heboh teman-temannya, juga di ruangan guru bahasa Indonesianya—Bu itu. Novel-nya menjadi trending topik. Karena Bu itu juga pernah cerita kepadaku, kalo tulisan anak asuhku menegangkan. Lha, kok aku ketularan istilah anak-anak—menyebutnya dengan Bu itu..??!!

“Siapa saja temanmu yang belum selesai tugasnya?”

“Banyak Pak. Kita digalakin kalo belum mengumpulkan novel. Makanya dari pada kita diomelin oleh Bu itu, mending dipukulin oleh ibu Tiri deh. Kepalang tanggung, tau sakitnya…”

“Omelannya pedes Pak. Sakitnya tuh di sini…,” kata teman Dafa sambil menunjuk dadanya. Ikut-ikutan istilah si Goyang Dumang aja. sakitnya tuh di sini…!!

Aku ketawa. Temanku—Bu itu, dia kan guru yang supel, gak mungkin galak. Apalagi sampai mengigit! Apa mungkin ya—aku jadi berandai andai nih! Sepertinya Bu itu sudah terdampak pelatihan menulis buku kemarin yang dia ikutin. Dia jadi berubah perangainya. Bakteri galaknya sudah menyebar ke penjuru otaknya. Menginveksi gaya mengajarnya. Anak-anak yang belum mengerjakan novel dicuekin. Kadang diomelin habis-habisan. Tujuannya agar tugas anak-anak dalam membuat novel dapat segera rampung.

“Kata Bu itu, yang belum mengumpulkan tugas membuat novel, dijudesin Pak. Katanya, begini… Ibu gak mau kenal dengan kalian kalo belum mengumpulkan novel. Kalo kalian bertanya tentang berapa nilai tugas-tugasmu, akan ibu jawab begini, sama dengan jawabanmu. Belum tahu, kapan novelmu akan dikumpulkan! Begitu Pak, matanya sambil melotot kayak ikan mas koki…!”

Masya Allah. Bu itu gak bisa mendelik—masa melotot kayak ikan mas Koki.

Waduh! Pantesan saja anak-anak kemarin pada pinjem wifi, ngumpul di ruangan itu, bahkan sampai ada yang duduk di selasar—teras ruangan hanya untuk mengerjakan tugas menyelesaikan novelnya Bu itu. Mereka mencari sumber inspirasi dari tulisan di dunia maya. Sukses benar gebrakannya! Aku salut banget.

“Bu, jangan galak-galak ya… ke anak asuhku. Kasihani mereka..,” sapaku ketika aku ketemu temanku—si Ibu itu (kata anak-anak). Dia sesaat sedang mau menstater motornya. Dekat ruang sekuriti.

Aku juga sedang mau pulang, menuntun vespa jadulku. Vespaku berada dekat motornya. Ibu itu hanya tersenyum.

“Aku terkontaminasi menjadi ibu tiri ya Pak?” potongnya pendek. Bu itu sudah mau menjalankan motornya, sambil bilang begitu sembari diselingi senyuman.

“Iya..!” sahutku.

Dia pun bablas sambil ketawa lepas nan renyah.

(Kolom – 5 November 2019)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hehe... Keren

06 Nov
Balas

Wah...suka gosip juga ya hhhh.

06 Nov
Balas

Ih ngomongin siapa tuh...wkwkw...keran pak cerita singkat tp bisa jadi panjang. Top lah atas motivasi nya

06 Nov
Balas

aduh malu aku, yang diomongin nongol di sini...

06 Nov

Kereen Pak

06 Nov
Balas

Mantap pak

25 Nov
Balas



search

New Post