haryono

Harry B. Pras nama ini menggabungkan nama pemberian orang tuaku, dan nama bapakku. Aku diberi nama Haryono oleh bapakku yang bernama Bedjo Prasodjo. Sebagai seo...

Selengkapnya
Navigasi Web
KARUNG BERAS
BALADA SI RAHMAN

KARUNG BERAS

Tidak lama setelah lulus kuliah, Rahman dikenalin oleh adiknya dengan teman kerjanya. Rupanya nafsu banget dia, pingin buru-buru ngajak kawin. Gak lama setelah perkenalan itu, Rahman memutuskan untuk menikah. Perkenalan mereka cukup singkat, seumur jagung—kayak Jepang menjajah Indonesia aja, ditulis di dalam buku sejarah lho, pendudukan negara Jepang menjajahnya Negara kita hanya seumur jagung.

Perempuan yang beruntung itu namanya si Mery—sohib adiknya. Keputusan menikah diambil, karena dianggap oleh Rahman usianya sudah mateng, bukan karena terpaksa atau kena pelet. Hihihi… serem!

“Kenapa situ memilih teman adikmu? Kok tidak dengan Lina atau Mae yang juga masih jomblo?” pancing Ade.

“Gak ngerti juga. Kalau emang mereka bukan jodoh gue, dan jodohku teman adik gue, apa mesti ditolak?! Atau kudu mereka aku borong juga?”

“Loe harusnya mesti bilang waaoooo gitu!”

Aryo dan Bejo mengangguk bareng. Mereka lantas ketawa serempak.

“Emang, jodoh gak lari kemana. Tetanggaku punya pacar orang Surabaya. Dibela-belain dia datang ke rumah orang tuanya, ceritanya pingin ngenalin diri. Eh, gak jadi dengan orang Surabaya. Tahu-tahu nikah dapat tetangga, masih satu kampung!” Kata Engkus menguatkan argument Rahman tentang soal jodoh.

Rahman masih diobok-obok—dibuli oleh mereka di bawah pohon bisbul dan cemara. Kopi mereka hampir habis. Waktu istirahat masih panjang. Dia melanjutkan ceritanya.

Setelah Rahman menikah, kemesraan mereka terlihat dengan nyata—biasa pengantin baru. Kalau hari libur, mereka menyempatkan berduaan mencari udara segar. Rahman terlihat sering jalan-jalan pagi mengelilingi Kebun Raya bersama dengan istri barunya.

Pulang dari olahraga, jelas capek dong. Habis mengelilingi paru-paru pusat kota hujan itu, istrinya pun memasakkan sayuran yang dibelinya ketika pulang dari olahraga tadi pagi di pasar. Dia memasak untuk sarapan pagi berdua—maklum pengantin baru. Rahman menunggu dengan sabar sambil menonton TV di ruang tengah.

Mereka sekarang ini tinggal di rumah dengan alamat perumahan GME blok 1 nomor 33. Tempat mereka berdua dapat merebahkan tubuh, melepaskan seluruh beban hidup agar rasa penatnya hilang setelah seharian bekerja membanting tulang. Yang penting bisa tidur merem!

Sepasang pengantin muda itu menumpang di dalam satu kamar dengan ukuran 3 x 3 meter, GME—Gubuk Mertua Endah. Ruangan itu dulunya kamar Mery—istrinya Rahman ketika masih perawan.

Sepeda motor Itali yang berbody semok itu menjadi andalan Rahman dalam menunaikan tugas hariannya. Dia beli seken dari seseorang dengan uang dari hasil tabungannya. Hanya dengan sepeda motor jadul itu, aktivitas hariannya menjadi bertambah lancar. Karena untuk bekerja atau ingin kemana-mana, sarana transportasinya sudah ada. Ribet kalau sudah menikah gak punya kendaraan sendiri.

Tapi kalau pagi-pagi ingin berangkat kerja, Rahman masih harus ekstra membersihkan busi motornya yang banjir, karena kelupaan menutup kran bensin. Itu saja penyakit lupanya si Rahman. Kalau semalam dia ingat, kran bensinnya ditutup, pagi harinya tidak repot. Tapi dia lebih sering lupa dari pada ingatnya! Penyakit lupanya sangat kronis brow!

Engkus, Ade, Aryo dan Bejo begitu serius mendengarkan celoteh dari Rahman. Panjang ya ceritanya! Namun mereka tidak suntuk, karena pengalaman Rahman banyak gokil dan koplaknya. Ada aja yang membuat mereka terhibur.

“Loe memang pelupa, kalau masalah kran bensin, loe sering banget cerita ke gue. Kemarin kunci kamar rumah yang jadi satu dengan kunci lemarimu ketinggalan di meja ruanganmu. Loe sudah sampai rumah, akhirnya loe balik lagi kemari!” Bejo mengingatkan.

“Oh, iya…” Rahman tersipu-sipu.

“Untung bukan binimu yang ketinggalan di jalan!” potong Ade tiba-tiba.

Rahman langsung ketawa,”Hahahahaha…!!! Wkwkwkwkwkwk…!!!”

“Loe kenapa? Kesurupan?”

Teman-temannya pada kaget dan heran. Mereka pandang-pandangan. Manusia satu ini kenapa?! Diingetin masalah lupa, jangan sampai bininya yang kelupaan tertinggal di jalan, kok malah ketawa ngakak. Busyet..!!

“Hei.., brow, kamu kenapa? Kumat?!”

Air mata Rahman sampai keluar. Dia belum juga berhenti ketawanya. Tapi lambat laun dia pun terkekeh-kekeh sambil menahan tawanya. Rahman akhirnya meneruskan ceritanya tentang istrinya yang tertinggal di pasar ketika pulang dari belanja. Gara-gara Ade mengingatkan Rahman barusan, coba kalau istrinya yang kelupaan gimana—begitu kata Ade. Itu memicu ingatan Rahman seketika.

“Gue ngalamin sendiri De. Istriku bener ketinggalan di pasar! Pengalaman yang gak bakal aku lupain seumur hidupku!” Kata Rahman sambil menahan tawa.

Rahman pun meneruskan cerita yang terpotong tadi…

Rahman sudah bablas naik vespanya ketika ada beban berat di boncengan motornya. Tanpa nengok kanan kiri, motor vespanya langsung tancap gas. Wuuuuuuuuussss!!!!!

“Pak…!! Pak..!! Istrinya ketinggalan.” Ada seseorang yang menyalip vespa dia, pakai motor dan memberi tahu Rahman, kalau istrinya masih di pinggir jalan di depan pasar.

Kata orang itu lagi,”Tadi istri bapak teriak-teriak memanggil bapak. Itu karung beras yang diboncengin, saya belum naik!”

Orang yang barusan memberi tahu Rahman sudah langsung berlalu. Tinggal Rahman yang bengong. Dia belum ngeh…

Helm yang dikenakan Rahman saat itu memang menutup rapat di bagian kedua telinganya. Mungkin dia tidak mendengar teriakan istrinya.

“Lho, kukira sudah naik. Tadi perasaan berat!” Rahman pun menghentikan laju motornya, dan menengok ke boncengan motor vespanya. Masya Allah, bener nih, karung beras yang di diboncengin di situ. Lha istriku gak kebawa?! Ada dimana? Wah, ini mah karung beras dari kuli panggul yang tadi naruh di boncengan, kirain si Mery yang naik!

Dia yakin, pasti kalau dia menjemput di depan pasar itu lagi, sesampai di sana istrinya akan langsung langsung ngomel-ngomel panjang banget dan pasti lama.”@#HJhLilj*&^VC><><3@@2!!!!!” begitu. Bisa dipastikan, Rahman juga bosen mendengarkan ocehan yang begitu. Rahman pun pura-pura tidak tahu, dia melanjutkan membawa motornya sampai ke rumah.

“Istrimu kemana? Tadi perasaan berangkatnya berdua?” Tanya si Mak—ibu mertuanya.

“Oooh, kirain sudah ngebonceng tadi Mak, Mery ketinggalan di pasar Mak!”

“Kirain dia sudah ngebonceng ya, karung beras ini yang sekarang kebawa…. Hehehehe…” Si Abah—Bapak mertuanya terkekeh-kekeh. Rahman ikut ketawa melihat orang tua itu kepingkal-pingkal—sakit perutnya.

“Iya Abah, beratnya sama.” Rahman berusaha mengalihkan kealpaan dia. Padahal dia sendiri tadi sudah tahu, cuma dia nekat langsung pulang. Kalau dijemput lagi, vespa-nya gak bakalan kuat mengangkut dua karung beras bersamaan. Biarin saja istrinya nanti naik ojek pulangnya. Gumannya.

“Enak aja, si Mery disamain dengan karung beras! Dodol sia!” Rahman semakin kepingkal-pingkal melihat si Mak mendelik sambil ngomelin Abah, suaminya sendiri. Kedua mertuanya itu malah seperti sedang melawak saja. Abah semakin terkekeh-kekeh.

“Rahman… Lihat tuh, karung beras satu lagi sedang uring-uringan!” Kata si Abah.

Si Mak langsung melemparkan sapunya ke arah Abah. Rahman langsung guling-guling karena semakin sakit perutnya.

“Ini juga, bayi kemarin sore, ikut-ikutan Abah! Borokokok!” Kata si Mak membanting pintu. Mak pergi dengan rasa gondok.

Rahman yakin, pasti nanti akan terjadi perang dengan istrinya, kalau saja Mery sudah sampai di rumah. Dia sedang menurunkan karung beras itu dari boncengan vespanya. Selang beberapa menit kemudian.

Si Mak keluar lagi membantu Rahman mengambil beberapa belanjaan yang masih nangkring di vespanya.

“Udah Mak, biar nanti kuangkatnya! Satu-satu, ini karung berasnya dulu.” Rahman menggotong karung beras itu masuk ke pintu dapur.

Si Mak sudah tidak sabar. Keranjang sayurannya sudah keburu diangkut juga, walaupun sambil uring-uringan.

“Ada apa Mak? Kok ribut-ribut?” Tiba-tiba istrinya Rahman sudah berdiri di pintu pagar. Dia mencari suaminya. Di halaman rumah itu tidak kelihatan batang hidungnya oleh si Mery.

“Tuh, Abahmu dengan suamimu ngatain Emak. Juga ngatain kamu kayak karung beras!” Kata Emak masih sambil mendelik.

“Iya, Mak, saya tadi ditinggalin di pasar. Malah karung beras yang dibawa.”

“Makanya, itu Abahmu juga ngeledekin!”

Rahman pun muncul dari pintu dapur. Kejadian apa yang bisa kalian bayangkan?!

Engkus dan teman-temannya yang sekarang keluar air mata. Sejak Rahman bilang karung beras itu yang diangkut di bocengan vespa, sementara istrinya masih ditinggal di pinggir jalan di depan pasar, mereka sudah gak bisa menahan tawa.

“Loe jadi suami kebangeten!”

“Istri ditinggal, karung beras di angkut! Dodol loe!”

Rahman santai saja, sementara teman-temannya pada gondok. Dia malah nyeruput sisa kopinya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kisah pribadi kayanya nih.. Tapi seger n lucu juga..

23 Oct
Balas

ada inspirasi dari cerita seorang sahabatku Bu..., hehehe, terima kasih semoga bisa menghibur saat santai

23 Oct



search

New Post