Hartini

Hartini adalah seorang guru IPA di SMPN 1 Cigombong, Kabupaten Bogor...

Selengkapnya
Navigasi Web
MERANGKUL LANGIT Bagian 5

MERANGKUL LANGIT Bagian 5

Dido menatap langit-langit kamarnya di atas dipan. Mencoba menenangkan diri, meredakan gejolak jiwa yang ada dalam benaknya. Mencoba mendinginkan kepalanya yang masih memanas. Mencoba menguraikan benang-benang kusut yang menjadi permasalahan dalam hidupnya. Sebagai lelaki satu-satunya dalam keluarga, aku harus kuat. Ada tiga perempuan di rumah yang selalu mendoakan kesehatan serta mengharapkan kesuksesanku.

Lap top di atas meja dibiarkannya terbuka. Sejak sejam yang lalu dinyalakan, tak ada sebuah kata pun di dalam otaknya yang biasa dituangkan dalam bentuk tulisan. Dia sudah menjanjikan pada Bu Dewi, sang editor untuk menyelesaikannya akhir bulan ini. Masih ada waktu dua minggu sampai akhir bulan ini. Akan tetapi, bila pikirannya bercabang memikirkan masalah kehidupan yang bertumpuk, dia pesimis bisa menepati janjinya.

Dido memutuskan untuk meminta izin pada Om Sintar, pamannya untuk pulang ke Tasikmalaya besok pagi. Dia akan membereskan semua masalahnya satu demi satu. Apapun yang terjadi di hadapannya harus bisa dihadapi. Seorang lelaki tidak boleh cengeng.

Om Sintar sedang bersantai di depan TV, tangannya memegang remote sibuk mengganti saluran TV, mencari saluran olah raga yang diinginkannya. Tante Dian, istrinya pasti sudah tertidur lelap di kamarnya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

“Om...” Dido menyapa dan duduk di sebelah pamannya.

“Dido, kamu belum tidur?” jawabnya, sambil matanya tetap menatap layar televisi. Kali ini dia menemukan saluran olah raga yang menayangkan pertandingan sepak bola.

“Belum Om. Aku mau minta izin, untuk pulang ke Tasikmalaya besok pagi,” jawabnya. Kali ini Om Sintar langsung menoleh ke arah Dido dengan terkejut.

“Ada apa? Mengapa mendadak sekali? Apakah ibumu sakit lagi?” tanyanya bertubi-tubi. Raut matanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Om Sintar, adik bungsu ayahnya memang selalu perhatian terhadap keluarganya.

“Iya, Om. Tadi siang Rani dan Rini mengabarkan, kalau ibu sakit lagi dan tidak mau dibawa ke dokter,” jawab Dido dengan tenang.

“Kenapa kamu tidak bilang tadi siang? Om kan bisa belanja untuk oleh-oleh untuk keluargamu di kampung. Sekarang tengah malam begini, mana ada toko yang masih buka,” tanya Om Sintar. Sudah merupakan kebiasaan, kalau Om Sintar selalu memberikan oleh-oleh untuk keluarganya bila Dido pulang kampung. Terkadang, Dido merasa tidak enak hati mendapatkan semua kebaikan dari beliau. Dido tahu, Om Sintar pun memiliki banyak kebutuhan dalam keluarganya, terutama kedua anak laki-lakinya yang masih membutuhkan biaya banyak untuk keperluan sekolahnya. Tetapi dia tidak pernah memperlihatkan hal tersebut. Aku dulu sering merepotkan ayahmu, kapan lagi aku bisa membalas kebaikannya, kalimat itu yang selalu dia lontarkan padanya setiap kali Dido menolak bantuan dari Om Sintar.

(BERSAMBUNG)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantab pa

18 May
Balas

Terima kasih, Bu....

18 May

Mantap surantap bunda, lanjutkan. Terima kasih telah mengunjungi sriyonospd.gurusiana.id untuk SKSS dan berbagi kebaikan. Salam sehat dan sukses selalu.

09 Dec
Balas

Kerennn

18 May
Balas

Terima kasih, Pak....

18 May

Bagus

18 May
Balas

Terima kasih, Pak....

18 May

Cerpen yang indah. Sukses selalu sahabat

09 Dec
Balas



search

New Post