Haryanto25

SMP Negeri 1 Kalibagor Bimbingan dan Konseling BK UNNES 2012 Berbuat Saja Titik ! ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Rumah

Rumah

Aku, Rudi anak tunggal. Menjadi guru adalah cita-citaku, dibesarkan oleh ibu yang punya cita-cita menjadi guru. Bukan karena ibu, tapi karena cita-citaku. Selepas di bangku SMA diriku melanjutkan ke perguruan tinggi, orang bilang aku belagu. Orang susah tapi sok mampu, masa mudaku di bangku SMA memang diwarnai dengan haru biru dan tak jarang pilu. Beberapa guruku kerap kali kerumahku hanya untuk ku, aku yang kerap memilih rumah daripada sekolahku. Beliau berkunjung ke rumah dengan mengantongi absen kelas dan buku point, Yaa, diriku ini memang kerap absen, kondisi keluargaku tidak sehat, tidak sehangat teman-teman seusiaku. Kadang diriku terpaksa di rumah membantu ibu yang kerap sakit atau ikut bersama bapak sebagai sopir angkutan desa. Sebab itu beberapa guruku kerap kali ke rumah. “Rud, gimana keadaanmu?” Tanya Pak Kusnarto setelah kupersilahkan duduk di kursi yang sebagian kakinya hidup dengan rukun hewan yang biasa disebut rayap. “Alhamdulillah pak, maaf pak saya ingkar lagi” sautku dengan tundukan kepala dan suara lirih. “Iya, pak guru tau, kamu yang sabar yah. Mana ibumu?” Pak Kus dengan mengelus pundakku Pak Kusnarto melihat kondisi ibuku terbaring di Kasur dengan sprei usang bermotif bunga. Iya ku bercerita, ibuku sakit tifus dan kami tidak cukup banyak mampu berobat ke dokter. Aku tidak pernah mempunyai pilihan untuk tidak sekolah, kondisi paksaku untuk begini. Sekalipun begitu, aku adalah siswa yang masuk peringkat sepuluh besar di sekolah. “Rud, sini duduk di samping pak guru dan ibumu” perintah Pak Kus yang tak kujawab namun langsung aku lakukan. “Kamu tetap sekolah, biarkan ibumu di rumah sakit, pak guru sudah tau dari teman-temanmu. Sudah pak guru siapkan semuanya” pandang pak guru penuh makna dan dibarengi senyum ibu setelah kami mendengar serentetan kata yang sukar dipercaya dari pak kus. “ta.. ta…” ucapku tak selesai “Besok kamu berangkat, ga ada tapi-tapian, kamu sudah kelas tiga dan semangat” tegas pak guru disertai dengan tepukan dipunggungku. Ibuku menangis, kupeluk pak Kus dan ku cium tangan dan kening ibu. Masa berat ku lewati, ibuku kembali sehat dan bekerja sebagai buruh, sementara bapak ku? Ah sudahlah, bapak kerap tidak pulang. Di usia SMA kala itu, sebagai anak tunggal aku hanya berpikir bagaimana ibu bisa dalam kondisi baik. Masuk perguruan tinggi tanpa tes, aku manfaatkan untuk masuk perguruan tinggi yang kudambakan. Tiba pengumuman yang ku tunggu, aku masuk dan resmi menyandang predikat mahasiswa baru dengan program bantuan pemerintah yang akrab disebut bidikmisi. Kampusku sekitar 30 menit ku tempuh dari rumahku menggunakan sepeda yang sudah tak kokoh itu. Beruntung? Mungkin iya, ibuku terlihat senang melihatku dapat kuliah dan dapat menemani ibu tiap hari. Empat tahun lama studiku, tiba saatnya kelulusan. Pagi, jam setengah 5 ibuku sudah mandi, kubawa ibu ke temanku yang piawai merias. Jam 8 tepat ku gandeng ibuku masuk auditorium, gedung megah dengan dekorasi dan musikalisasi menggelegar. Ya, dari samping tampak jelas ku pandang diriku tampak dari kelopak mata ibuku. Tak mau larut, “Bu duduk, ibu duduk disini yaa” ucapku samibil meyiapkan kursi dan menuntun ibu. Kami ikuti prosesi wisudawan dengan hikmat, tiba giliranku menyambut ibu, kupeluk ibuku, kusapu air yang keluar dari matanya “Terimakasih ibu, sehat-sehat ya bu” ucapku kepada ibuku yang ada di depan tempat duduk ku. “Iya nak, ibu bangga padamu” saut ibu dengan memngusap keningku yang penuh dengan keringat. Oh iya suasana mengharukan itu, terjadi ketika namaku dan ibu di sebut karena diriku masuk lima besar mahasiswa dengan IPK tertinggi. Kami keluar, ku tuntun ibu perlahan dan tak jarang ucapan selamat dating dari temanku, tetanggaku dan orang yang kenal dengan kami. Tiba kami di luar gedung, ramai sesak, semua orang tampak sama. Setlah larut dengan euphoria, ku telfon taksi online, “maapkan aku ya bu” laki-laki bertubuh kering dngan suara tangisan. Ku tengok ke belakang, kaget, marah, sedih itu yang tergambarkan menjadi pengrsak kebahagian aku dan ibu kala itu. Sementara ku lihat ibu terdiam dan menangis. “Siapa kamu?” tanyaku “Rudi, diam !!” bentak ibuku padaku Ku terdiam dan hanya menggelengkan kepala, tertunduk lemas tak berdaya. Kulihat bapak berada di depan ibuku, bersimpuh memgang tangannya, di selingi dengan tangisan dan pelukan. Ibu masih terdm, sementara aku tak kuasa melihatnya, untuk marah nampaknya aku pantas.dipandang sebelah mata karena menyisakan ibu menjadi buruh dengan kondisi kesehatan yang tidak baik, sekolahku yang sering ku kesampingkan, demi ibu. Sementara bapakku entah pergi kemana dan dating pada saat tabungan kesedihan kami berdua dipecahkan oleh pengumuman yang membanggakan itu. Ah aku tak kuasa menahan rasa kala itu. Ibu berdiri, tak lupa mengajak bapak yang Nampak terseok dengan penyesalan. “Pak, sudahlah” ucap ibuku dengan lirih. Mendengar kalimat itu bapak memeluk dan menangis lagi. Sementara ibu berusaha menenangkan bapak, sedangkan aku hanya terdiam melihat pertarungan rasa yang lama ku pendam dan tak mampu berbuat banyak. Bapak ibu kembali duduk, bapak menceritakan bagaimana dirinya menghilang. Sementara aku, duduk merunduk di hari bahagiaku. Kala itu bapak bekerja menjadi buruh serabutan, kemudian suatu waktu ia dipercaya dan dibawa mandornya untuk menggarap proyek di Papua, sementara itu ia tidak sempat mengabarkan di rumah. Rindu orang rumah ia lawan untuk mengumpulakn pundi-pundi rupiah, sekarang semua seperti terlambat menurutku, mahasiswa yang baru menyandang gelar sarjana. “Enak banget bapak pergi tanpa pamit, ibu sakit-sakitan”. Kuberdiri tiba-tiba dan berucap ke bapak. “Naak, tenang yaaah” ucap ibuku tersenyum. Sementara bapak tertunduk dan bersimpuh pada ibu, kemudian ibu membalas dengan usapan lembut dipunggung bapak. Ah sudahlah, batinku tak kuasa melihat pemandangan yang bahkan tak pernah kulihat dalam mimpiku. Ku angkat bapak dan kupeluknya, tubuhnya kurus, kering, tersadar diri ini telah salah. “Pak, maafkan anakmu ini yaa” ucapku lirih “Bapak yang salah, kamu sudah dewasa dan sarjana. Bapak bangga” Ucap bapak sembari menepuk punggung. Jingga datang mengganti birunya langit, “Yok kita pulang, bapak telah menyiapkan taksi” ajak bapak dengan suara sendu. Sesampainya di rumah ku bergegas ke kamar, adzan maghrib berkumandang sementara diri ini masih bertahan dengan angan berusaha mempercayai keadaan. Tak lama kudengar suara bapak sedang memimpin shalat, ku beranjak dari tempat tidurku dan kuintip tempat shalat rumahku. Mataku memerah, ku usap mata dengan tanganku. Tak kuasa kulihatnya, senang, tenang melihat wajah ibu gembira. Ku bergegas mengambil air wudhu, “Allahu Akbar” ku awali shalat dengan niat dan takbir. Gerakan demi gerakan ku lakukan, ku bersimpuh dalam sujud cukup lama, ku duduk diantara dua sujud dan tak lama tetes air mataku jatuh. Ah entah, aku tak sadar, hatiku tenang dan senang. Selesai shalat, ku anyamkan jemariku, ku tegakan kepalaku menghadap ke langit-langit kamar. “Tuhan……” sapaku padaNya Kulanjutkan obrolanku dengan Tuhan, tenang dan syahdu. Diketuknya pintu kamar dari luar, bapak mengajakku makan bersama di ruang tengah. Tersaji ayam bakar yang menggoda dengan lalapan. “Anggap sukuran wisudamu”ucap bapak sembari mengambilkan nasi untuk ku. Aku hanya terdiam dan tersenyum Kami makan dengan lahap makanan enak yang jarang kami rasakan itu. Tak perlu waktu lama untuk menghabiskan apa yang ada di piring itu. Malam itu kami habiskan malam bersama, ibu bercerita apa yang dialami sepeninggalan tanpa kabar yang dilakukan bapak. Bapak menyimak dengan wajah penuh permintaan maaf, sementara aku masih dengan otak yang penuh dengan Tanya. Tiba giliran bapak menceritakan secara runtut asal muasal kasalah pahaman itu, bapak bercerita dengan perlahan berusaha menenangkanku dengan mimik wajah lelah dan berkeriput itu. Ku tatap wajah ibu yang sudah menua dan terlalu banyak melawan sengsara berubah menjadi cerah seperti kejatuhan anugrah. Ah batin dan otak serasa taka da beban dingin dan nyaman. Bapak membuka tas kecil membuka bungkusan, dibuka lah oleh kami. Taraaaaaa… handphone adalah isi dari bungkusan itu. Aku tau kenapa bapak memberi kami benda itu, sedri dulu uang kami kumpulkan untuk bertahan hidup dan biaya pendidikanku, hal sekunder macam telepon genggam menurut kami tak pernah terlintas dipikiran. Oleh karenya kami kehilangan kontak dengan bapak. Sementara kami berusaha membuka dan mengulik telepon genggam itu, tampak wajah merekah dari bapak. Ku bantu ibuku membuka dan mengajarinya dan sangat tampak wajah bapak dengan tawa kecil terdengar lirih. Maklum ibuku, orang desa dan tak punya. Aku ajari perlahan bagaimana cara mengoperasikannya, aku mendapatkan telepon genggamku saat mendapatkan hadiah dari teman-teman kampus saat ulang tahunku di semester empat. Tak bagus memang, namun tak jauh dengan tipe telepon genggam ibu. “Wah gimana ini, pakainya” Tanya ibuku “hahahha pelan-pelan nanti juga bisa” jawab bapapku dengan pipi merahnya. Detik jam lebih keras terdengar malam itu, bapak ke kamar bersama ibu untuk beristirahat. aku periksa pintu dan jendela rumahku sebelum masuk kamar. Hari itu aku bersyukur, Tuhan berikan tantangan yang tak semua orang mendapatkannya. diajarkanNya padaku perihal perjuangan dan Cinta. Dalam sebuah perjalan layaknya laut, kita bisa saja jenuh akan perjalanan yang begitu berat. Namun sakit terlampui sering mendera sampai kita tak bisa merasakannya lagi, pada akhirnya cinta kita akan rumah buat perjuangan itu menjadi samar dan menunujkan rumah. Karena kamu akan tau siapa dirimu, apabila kamu tau dari mana kamu berasal. Rumah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah..berakhir dengan bahagia. Bagus sekali ceritanya. Sampai merinding saya membacanya. Salam kenal.

09 Mar
Balas

Alhamdulillah, terimakasih ibu kadila. Salam kenal

09 Mar



search

New Post