Hasrida Nengleli

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Sendu Mengusik Jiwaku ke Masa Lalu (Part 25)

Tantangan Hari ke-78

#TantanganGurusiana

. . .

Jumpa ayah di tempat kerja, baru kali ini kami lakukan. Kami anak-anaknya sangat terbiasa dari kecil dengan nasihat ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu sedang bekerja janganlah mengusiknya, tapi selesaikan kerja nya terlebih dahulu baru lah boleh kami bertanya ini dan itunya.

Dari dalam mobil kami tunggu ayah. Dari sini kami melihat ayah sedang memberi arahan kepada rekan kerjanya. Ayah sangat gigih bekerja. Tak heran selama ini kami hidup Alhamdulillah serba berkecukupan. Tak heran juga ayah punya banyak infestasi tanah bahkan bangunan ruko.

Kami anak-anaknya mengetahui itu semua, karena masa ayah masih bersama kami Beliau selalu memberitahukan kepada kami apa saja bentuk harta atau barang yang sudah Beliau beli dan sekali gus menunjukan surat menyurat harta yang sudah iya beli. Alahamdulillah kami semua juga suka menghambur-hamburkan harta orang tua yang Beliau cari denga jerih payah keringatnya. Kami anak-anak ayah yang manut dan tak punya banyak tingkah, bahkan kami tak akan meminta apapun kalau lah hanya sekedar motor, mobil atau pakaian mewah lainnya, kalau tidak kemauan ayah sendiri yang membeli. Kami biasa didik dengan kesederhanaan. Jadi banyaknya harta orangtuaku tidaklah membuat kami sombong atau lupa diri akan semuanya.

“Kak, Veny...itu ayah sudah selesai meetingnya.” Aku tersadar dari teguran adikku Fauzi. “Benarkak, itu ayah nampaknya dengan rekan-rekannya sudah mulai istirahat makan siang.” Aan menimpali teguran Fauzi. “Iya, Dik ayo kita turun, ayah nanti kalau sudah naik kemobilnya malahan kita yang bisa kehilangan jejak ayah.” Aku segera ke luar dari mobil. “Aan, cepat samprin ayah, Dik!” aku minta Aan lebih dahulu mengahampiri ayah. Aan berlari kecil menyusul ayah menuju sebuah mobil yang terpakir berjauhan dari mobil kami. “Ayah... ayah!” terdengar suara Aan memanggil ayah dengan santun. Ayah belum juga menoleh. Aku tahu ayah belum menyadari adanya kehadirin kami di tempat kerja Beliau. “Ayah...ayah!” Fauzi dengan suara lebih lantang mengejar dan menyusul ayah. “Oh, kalian!” Ayah tersenyum memandangi Aan dan Fauzi yang berlari menuju ayah. Melihat hal itu, aku terusik kembali ke masa lalu, di masa kami kecil, ayah yang selalu punya waktu buat kami berlari-lari, bermain di saat hari libur. Sendu, kembali mengusik jiwaku ke masa lalu. “Ayah, kami datang tidak hanya berdua, tapi kak Veny juga ikut ayah.” Aan menunjuk ke arahku yang menyosong ayah baru dua pertiga perjalanan. “Ohhhh, ya.” Kata ayah. “Ada apa, kenapa sampai menyusul ketempat ayah?” “Kami ridu ayah, kami sangat kangen sama ayah.” Kata Aan sambil menciumi tangan ayah. Terlihat juga mencium tangan ayah. “Benar ayah, kami sangat rindu ayah.” Jelasku sambil meraih tangan kanan ayah dan menciumi tangan yang tak lagi muda. Guresan keriput sudah mulai terlihat. “Ini sudah pukul dua belas lewat, sudah saatnya makan siang, kalian mau makan siang di mana?” Tanya ayah kepada kami. “Apa ayah mau makan siang pulang ke rumah, tadi ibu masak gulai kuning ikan tongkol sisik kesukaan ayah.” “Atau ayah mau makan dan pulang ke rumah mama?” Tanya Aan. Ayah terlihat bingung. Iya seperti kami adili. “Ayah, bagaimana kali ini kita makan di luar saja. Alhamdulillah Veny punya uang, jadi makan kali ini Veny yang bayar.” Usulku di tengah kebingungan ayah. Aku tahu persaan ayah yang serba salah. “Aku setuju, kita makan di rumah makan tempat kita pernah makan bersama waktu kecil dahulu.” Ide Fauzi juga kembali mengusik kenangan masa laluku bersama ayah. “Kak Veny ikut mobil ayah, aku dan Aan menyusul dengan mobil yang kita bawa tadi.” Fauzi kembeli memberi usul dengan langsung menarik tangan Aan menuju mobil yang terpakir cukup jauh. “Ok, kita berangkat makan siang.” Kata ayah. Aku langsung masuk mobil ayah dan duduk di samping ayah yang sedang menyetir. Saat perjalanan aku nsebenarnya ingin bertanya, kenapa ayah jarang pulang ke rumah, ingin aku tuntut ketidak adilan ini. Tapi semua aku tepis. Aku tak ingin perjumpaan yang sangat menyenangkan ini merusak moot ayah. “Ayah, apa kabar mama, apa Beliau sehat?” Aku coba menyakan perihal ibu tiriku pada ayah. “Sehat, mamamu sehat-sehat saja. Kenapa Veny?” ayah balik bertnya padaku. “Ibu mu sehatkan Ven...?” “ Ibu juga sehat, ayah.” “Ayah, sebetulnya ada hal penting yang ingin aku bicarakan dengan ayah, beberapa minggu ini kami selalu menunggu ayah, tapi ayah tak pulang juga.” “Maafkan ayah Veny, hal penting apa yang ingin di bicarakan dengan ayah, apa masalah harta?” “Oh, Tuhan, kenapa hal ini yang di sebut ayah, padahal tak ada sedikitpun terpikir di hatiku mengenai harta ayah. Ada apa dengan ayah?” “Tidak ayah, ada hal lain yang kami bicarakan. Kapan ayah punya waktu untuk datang ke rumah.” Tanyaku pada ayah. Rasanya kalau membicarakan hal-hal seperti ini tak pantas di sambil-sambil. “Nanti malam ayah ke rumah.” Jawaban ayah membuatku lega.

-BERSAMBUNG-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus ceritanya bu

01 Apr
Balas



search

New Post