Hasrida Nengleli

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Sendu Mengusik Jiwaku ke Masa Lalu (Part 37)

Tantangan Hari ke-90

#TantanganGurusiana

. . .

Sepanjang jalan menuju ke sekolah, aku dan Bang Darman hening tak ada yang mulai berkata-kata. Aku masih takut salah kata dalam bicara dan terlihat Bang Darman pun tak menghiraukan lagi rasa penasarannya tadi, karena aku tak mau bercerita kepadanya. Rasa diam itu membuat kami saling kaku. Aku rasakan itu dari repon Bang Darman yang dingin padaku.

Kami sudah sampai di sekolah tempatku tugas. Bang Darman menurunkan aku dari boncengan motornya. Namun ia tak berkata manis seperti biasanya. Ia hanya diam, tak berkata apa-apa. Aku yang semakin canggung dan rasa bersalah aku mulai buka mulut. “Bang, pamit...Veny ngajar dulu.” Bang Darman hanya memberikan salaman untukku pamitan, namun ia tetap diam membungkam. Bang Darman memutar arah motornya. Ia tinggalkan aku di depan gerbang sekolah.

Ada rasa bersalah di hatiku. Tapi apa yang harus aku lakukan. Aku ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan semua ini. Tapi apakah Bang Darman mengerti apa yang aku maksud. Aku yakin Bang Darman tak mengerti apa-apa. Karena memang belum ada sedikitpun masalah ini aku jelaskan ke Beliau. “Maafkan aku Bang Darman telah membuatmu tak tenang.” Bisik hatiku yang juga sedang menyimpan setumpuk masalah yang tak biasa. Aku lepas Bang Darman hingga pandanganku tak melihat motornya lagi di ujung jalan tanjakan tinggi sana. “Hey... Bu Veny, kenapa masih berdiri termenung di depan gerbang?” Suara Bu Ranti teman kerjaku, mengejutkan aku. “Oh, ya, Bu Ranti, hari ini saya piket, jadi lihat anak-anak dulu dan menyalami mereka di depan gerbang ini. Mereka yang baru datangkan perlu kita sambut dan kita salami, kita inikan pelayan mereka.” Aku mencoba berkilah mencari jawaban yang tepat agar tidak ketahuan bahwa hati ku sedang menyimpan tumpukan masalah yang berat yang membuat aku tertegun dan termenung di gerbang sekolahku.

Bel... berdering tanda seluruh siswa di awal pelajaran melaksanakan kegiatan baca Al kitab bersama yang di dampingi guru yang masuk pada jam pertama. Bergegas aku menuju kantor dan mengambil Kitab Suci Al Qur’an yang akan aku baca. Aku segerakan menuju kelas mendampingi siswa mengaji. Ayat demi ayat kami lantunkan bersama-sama, tak terasa waktu 20 menit baca kitab telah berakhir. Terasa semakin tenang hati yang tadinya gunda gulana. “Ya, Allah, begitu sempurna Engkau ciptakan ayat-ayatmu yang tertuang dalam kitab ini, dapat mengobat hati kami, dapat menerangi hati kami yang gelap. Maha suci Allah dengan segala Firmannya.” Hatiku semakin mengagungkan nama Allah. Selesai baca kitab kami lanjutkan masuk kepada jam pelajaran. Aku jalankan tugas secara maksimal. Walau hatiku masih berkecamuk masalah yang biasa aku selesaikan, aku harus bisa memilah mana masalah pribadi, dan yang tak perlu menggagu tugasku. Apalagi aku harus mengajar. Aku tak ingin hak siswaku terjajah oleh belenggu masalah yang ada di hatiku. Mereka harus dapat pelayanan dari aku, aku sebagai, Pegawai Negeri Sipil (PNS) abdi negara yang digaji oleh pemerintah harus aku pertanggungjawabkan semua ini.

Hari ini tugasku berakhir, aku lihat di gerbang sekolah Bang Darman telah menungguku. Aku bawa tugas siswa segera ke kantor. Aku ambil tasku, dan aku segera ke luar menuju gerbang sekolah menghampiri Bang Darman. Bang Darman memutar arah motor, kami pulang. Aku naik di boncengan motornya. Lalu motor melaju tanpa basa-basi denagn kecepatan empat puluh yang aku lihat di kilometer motor Bang Darman.

Aku berpikir apa yang harus aku katakan kepada Bang Darman nanti malam. Yang jelas aku mulai dulu dengan permintaan maaf. Namun sementara itu di dalam perjalanan tetap saja aku dan Bang Darman memilih diam hingga sampai di rumah. Pukul delapan belas lewat sepuluh menit, lima belas menit lagi waktu salat magrib masuk. Aku turun dari boncengan motor dan langsung masuk ke rumah. Bang Darman lanjut parkir motor di Grace dan menyusulku masuk. Dalam waktu yang singkat aku siapkan diri untuk menghadapi waktu salat magrib.

Suara azan magrib sudah berkumandang. Aku segerakan untuk melaksanakan salat berjamaah bersama Bang Darman di dalam kamar saja. Setelah magrib ini aku akan mulai cerita kejadian tadi pagi menjelang siang antara aku, ibu dan mama. “Bang, maafkan Veny, ya.” Pintaku usai salat sambil ulurkan tangan pada Bang Darman. Ia jabat tanganku tanpa berkata-kata. Ia hanya menganggu terlihat ada berat hati kulihat dari wajahnya. “Bang, Veny mau ceritakan apa yang terjadi tadi siang pada abang. Maaf tadi siang Veny tak langsung cerita bukan mau berrahasia atau sembunyikan masalah dari abang. Tapi Veny tunda pembicaraan ini dengan pertimbangan tidak mengganggu pikiran abang dalam bekerja.” Bang Darman langsung memotong pembicaraanku. “Dik, Veny salah paham, jangan adik pikir dengan diam itu tidak menjadi pikiran abang. Justru itu yang berat jadi pikiran abang. Abang pikir Dik Veny tak percaya abang.” “Abang jadi merasa asing kalau seperti ini, Dik. Maaf juga Abang, Dik. Tadi abang juga nekad menemui ayah di rumah mama. Tapi abang belum sempat berjumpa ayah, mama sudah usir abang. Tetangga pada keluar melihat abang diusir, abang jadi malu Dik. Apa lagi mama bilang Ayah sakit, kita tidak ada yang peduli. Mama minta uang untuk berobat ayah dengan meminta surat tanah, katanya ibu dan dik Veny tak mau beri. Sampai mama mengatakan Dik Veny anak durhaka.” Aku belum sempat tuntaskan cerita, ternyata Bang Darman sudah bercerita duluan yang dia peroleh dari versi mama.

Aku terdiam, aku semakin bingung. “Bang, sebenarnya, Veny malam ini mau ceritakan semua kejadian itu. Semua yang di katakan mama tidak benar. Tadi siang memang Veny rebut surat tanah itu dari tangan mama. Karena mama mau menguasai surat tanah yang ada sama ibu. Mama terlalu lancang masuk kamar ibu mengambil surat tanah. Veny tidak suka cara mama seperti itu.Sekarang Veny ingin langsung mau merawat papa. Jadi besok pagi rencana Veny mau bawa Ayah ke rumah sakit.” Bang Darman tetap diam tak beri suara dengan ide ku ini. “Malam ini juga, akan Veny bicarakan hal ini dengan ibu, Fauzi dan Aan.” Aku melanjutkan penjelasanku. Bang Darman masih tetap diam, bahkan tarik nafas panjang. Terlihat ia merasakan bahwa masalah ini sangatlah berat. Namun mau beri solusi ia sudah merasa terasing di matanya istrinya sendiri dan posisi di rumah hanya sebagai anak mantu. Aku lihat pikiran Bang Darman berkecamuk menebak masalah yang keluarga aku alami. Di ambilnya bantal kemudian ia rebahkan tubuhnya, sambil pejamkan mata membawa masalah yang tak kunjung selesai. Aku tinggalkan Bang Darman di kamar.

Aku masuk ke kamar ibu dan memanggi Fauzi dan Aan. Kami bahas masalah yang terjadi tadi siang. Fauzi dan Aan kaget mendengar ceritaku tentang perbuatan mama pada ibu. Aku ceritakan pula bahwa Bang Darman tadi siang ke rumah mama mau lihat ayah dan tidak berhasil karena di usir mama.”Dik, Komplit memang masalahnya. Tapi di tarik satu persatu dulu untuk penyelesainnya. Yang pertama ayah harus segera kita bawa ke rumah sakit untuk di rawat. Berapapun biaya berawatan ayah yang di rumah sakit kita yang tanggung.” Aku beri usulan pada ibu dan adik-adiku. “Bagaimana kalau mama tidak beri kesempatan itu kepada kita?” Kekhawatiran Aan terlihat. “Kita harus bersama-sama ke sana, kita tak bisa tinggal diam.” Kata Fauzi sudah mulai tersulut emosi.

-BERSAMBUNG-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah..keren..ayo semangat menulisnya..semoga sukses ya..

13 Apr
Balas



search

New Post