Helminawati Pandia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Idul Adha Pertama Tanpa Suami

Idul Adha Pertama Tanpa Suami

#Tagur Hari_36

#Idul_Adha_Pertama_Tanpa_Suami #Part 7

Malam ini kuyakin aku sudah bisa tidur dengan sedikit lebih tenang. Semua masalah yang menghimpitku, sudah kuserahkan di meja pengadilan. Tinggal menambah beberapa bukti untuk menolak tentang tuduhan perselingkuhanku dengan Hardi seperti yang dituduhkan oleh pengacara Mas Alek. Hal itu kuserahkan kepada Hardi untuk mengumpulkannya. Asalkan dia bisa menghadirkan Gendis adik kandungnya sebagai saksi bahwa semua fhoto-fhoto kedekatanku dengan Hardi adalah rekayasa mereka, maka aku yakin aku pasti memenangkan gugatan ini. Mas Alek juga sepertinya sudah memahami tekatku untuk berpisah sudah sangat bulat. Tidak bisa ditawar lagi.

Hardi, sekarang kesempatan kamu untuk menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya. Buktikan kepadaku dipihak manakah kamu yang sebenarnya. Aku tahu sangat berat bagimu untuk memilih, antara aku klienmu, atau Gendis adik kandungmu yang sekaligus adalah maduku. Perebut suamiku itu. Andai kamu bisa bersikap professional, kuyakin kamu akan membelaku mati-matian, karena kamu tahu pasti aku ada di pihak yang benar. Selain itu aku adalah mantan teman sekolahmu, yang maaf, yang pernah kamu taksir dulu. Yah, aku minta maaf karena dulu aku tidak menganggap perhatianmu sama sekali.

Namun andai kamu bisa berpikir jernih, bukankah saat ini saat yang paling tepat kamu membuktikan itu padaku. Ataukah rasa itu sudah tidak ada. Tapi, ah, aku lupa, sekarang kamu sudah ada Linda. Aku masih ingat bagaimana perempuan terpelajar itu menatapku, begitu sinis. Tapi kenapa dia menatapku begitu? Apa masalahku dengan dia? Kenal juga tidak. Ah, aku tahu. Dia pasti cemburu. Hardi, perempuanmu itu memang pintar, tapi dalam hal asmara dia sangat bodoh. Kenapa dia mesti cemburu padaku, jelas-jelas aku menolakmu dulu, dan bukankah kalian sudah bertunagan? Artinya kalian itu sudah dalam tahap yang sangat serius. Dan logikanya, aku menuntut pisah suamiku karena kehadiran orang ketiga dalam kehidupan kami, apakah mungkin aku mau menjadi orang ketiga juga dalam hubungan orang lain. Tidak, itu tidak akan pernah terjadi.

Suara notifikasi panggilan masuk di ponselku menghentakkanku dari lamunan. Kuraih benda pipih persegipanjang itu. Nama Hardi muncul di layarnya. Baru saja aku memikirkan dia, dia sudah menelponku. Apakah dia juga sedang memikirkanku? Tapi sudahlah, mungkin dia menelpon hanya karena kasusku ini, bukan yang lain-lain.

“Ai, sudah tidur?” suara pengacaraku terdengar lembut. Sangat berbeda dengan saat dia berbicara di persidangan tadi. Atau mungkin perasaanku saja, hei, kenapa aku jadi sibuk menilai suaranya.

“Ai…..”

“Ya, iya, Har. Kenapa, ada apa? Aku belum tidur kok,” tergagap aku menjawabnya.

“Aku bertengkar dengan Linda.” Aku tersentak. Kenapa Hardi menceritakan masalah pribadinya denganku. “terus?” tanyaku bingung harus berkata apa.

“Dia marah padaku, Ai. Dan sepertinya dia berubah banget sejak dia nangani kasus suami kamu. Aku bingung melihat sikapnya.”

“Bukan karena aku kan, Har?”

“Bukan, Ai. Aku sempat menanyakan itu. Apakah benar dia curiga kalau kita selingkuh seperti yang dituduhkannya. Dia malah tertawa, aku kaget saat dia mengakui kalau itu semua trik dia saja untuk mencari-cari kelemahan kamu. Dan dia mengakui dia sengaja menjebak kita didalam mobil tadi pagi.”

“Dia bekerja-sama dengan Gendis, Kan?”

“Nah, itu dia. Gendis sama sekali tidak terlibat dalam hal ini. Gendis tidak tahu apa-apa. Bahkan Gendis memohon padaku supaya maaf, Ai. Gendis sangat ingin supaya kamu secepatnya berpisah dengan Alek. Agar dia bisa dinikahi secara sah oleh Alek. Gendis juga marah karena Linda mengarang cerita fitnah itu karena hal itu membuat sidang tertunda. Maaf ya, Ai.”

“Tidak apa-apa, Har. Gendis adikmu. Aku tahu posisimu. Tapi maaf, aku tetap mengutuk perempuan itu. Dia pelakor, Har. Sekalipun saat ini dia mendukungku dalam kasus ini, jelas pamrihnya adalah untuk dirinya sendiri. Bukan untukku. Dan maaf, aku tetap memohon agar Allah mengutuk perbuatannya,” sergahku.

Kudengar helaan nafas berat Hardi. Aku tahu dia sangat dilanda dilema. Ditambah lagi dengan masalah hubungannya dengan Linda.

“Aku minta Linda agar mempermudah kasus perpisahanmu. Kamu tahu apa yang dikatakannya, Ai?” Hardi menahan ucapannya.

“Apa, Har?”

“Dia bersedia membantu mempermudah proses perpisahan kamu, dengan satu persyaratan,”

“Persyaratan? Apa syaratnya?” kejarku penasaran

“ Aku harus memaksa Gendis untuk berpisah dengan Alek.”

“Apa?” ponsel ditanganku hampir terlepas demi mendengar persyaratan yang diajukan Linda. “maksudnya, Aku dan Mas Alek berpisah, Gendis dengan Mas Alek juga harus berpisah? Untuk apa? Kenapa?” teriakku.

“Hal itulah yang kutanyakan padanya, dan hingga sekarang dia tidak mau menjelaskannya. Sebelum nelpon kamu, aku juga masih berusaha menanyakannya lewat telpon barusan. Kenapa dia ingin sekali Gendis berpisah dengan Alek? Tapi dia tetap bungkam.”

“Jadi kalian bertengkar karena itu? Yah, setidaknya bukan karena dia mengira aku ada hubungan dengan kamu,” suaraku melemah.

“Kalau soal itu, dia malah menyarankan aku agar bisa mengambil hatimu."

“Apa?” sekali lagi aku berteriak kaget. Teriakkanku yang kedua ini membuat Emak terjaga dari tidurnya.

“Ada apa, Ai?” tanya Emak dari kamarnya.

“Tidak apa-apa, Mak. Ai Cuma ngobrol di telpon,” jawabku menenangkan Emak.

“Har, apa maksud pacar kamu itu sebenarnya?”

“Aku juga bingung dengan sikap Linda. Sangat bingung. Tapi aku juga harus fokus menyelesaikan kasus kamu ini. Aku memang berniat membujuk Gendis untuk berpisah dengan Alek. Tapi ini kulakukan bukan karena permintaan Linda. Tapi karena memang aku tidak mendukung perbuatannya terhadap kamu. Aku juga tidak terima Alek sudah membohongiku tentang statusnya.” Nada putus asa terdengar jelas dari ucapannya.

“Semua ini salahku sebenarnya, Ai. Aku percaya saja ketika dia berkata dia masih single dulu. Harusnya aku menyelidikinya terlebih dahulu. Aku terlalu memanjakan Gendis, aku takut Gendis kecewa kalau aku menolaknya. Aku yang salah, Ai. Karena terlalu dimanja, dia jadinya salah langkah.”

Aku diam, aku tidak tahu harus berkata apa lagi sekarang. Aku dapat merasakan Perihnya hati Hardi. Kini dia harus memperjuangkan hati tiga perempuan. Aku, Gendis, dan Linda. Tapi Linda, apa pula yang tengah direncanakan oleh perempuan itu. Kenapa dia berubah sejak mengenal Mas Alek? Mengapa dia malah menyarankan Hardi tunangannya untuk dekat denganku? Dan kenapa pula dia mengultimatum Hardi untuk memaksa Gendis berpisah dengan Mas Alek? Oh, dunia macam apa sebenarnya tempatku bernafas ini Ya Tuhan. Kenapa aku dikelilingi oleh manusia-manusia yang penuh misteri bagiku. Semuanya menyimpan hasrat dan tujuan terselubung. Menggunakan berbagai trik dan strategi yang tidak masuk akalku demi meraih hasrat dan nafsunya.

Selama ini aku begitu bodoh hidup dalam kepalsuan cinta yang disuguhkan Mas Alek padaku. Aku tenggelam dengan duniaku sendiri tanpa menyadari bagaimana sebenarnya dunia luar. Hingga akhirnya aku tersadar saat Mas Alek ingin beristri dua.

Baru aku pahami beginilah kejamnya dunia ini. Suara mobil meraung-raung dihalaman rumah mengagetkan aku dan Emak. Sepertinya sang pemilik mobil sedang dilanda amarah besar. Segera kusudahi obrolanku dengan Hardi dan bergegas menuju pintu depan.

Emak tampak ketakutan. Ditahannya tanganku saat hendak membuka pintu. “Itu suara mobil ayahmu, nduk. Sepertinya dia sedang emosi. Tidak usah dibuka!”

“Jangan takut, Mak. Ada Ai disini,” ucapku berusaha menenangkan Emak. Kasihan Emak. Dia begitu trauma setiap melihat ayahku datang dalam keadaan marah. Tubuhnya gemetar. Tangannya juga sedingin es. Untunglah Emak tidak memiliki riwayat sakit jantung, kalau iya, bisa saja tiba-tiba emakku kehilangan nyawanya. Tapi kalau hal ini berlangsung terus menerus aku yakin Emak akan menderita sakit juga.

Gedoran di pintu terdengar begitu kasar. Gedoran disertai teriakan itu membuat Emak semakin gugup. Dengan tenang kuputar anak kunci yang sudah lengket di lubangnya. Kubukakan pintu selebar-lebarnya untuk ayahku yang tengah murka. Dia tidak sendirian rupanya. Ada Roni dan juga istri keduanya yang sibuk menenangkannya.

“Sabar, Pa. Jangan emosi. Bicarakan dengan baik-baik.” Suara perempuan yang merupakan madu Emakku itu.

“Pa, kalau Papa emosi terus begini, darah tinggi Papa bisa kumat, Papa sakit, lho!” ucap Roni anak kesayangan mereka.

Papa menatap tajam kepadaku. Aku yang merasa tidak bersalah hanya diam bergeming. Aku sibuk menenangkan Emak dengan genggaman tanganku di lengan kurusnya.

“Betul-betul kamu anak yang tidak tau diri. Tidak tau di untung kamu!” teriakan Ayah bagai petir menggelegar dirumahku. “Dan kamu, kamu sia-sia jadi orang tua! Gak bisa didik anak dengan benar! Begini hasil didikan kamu? Dasar perempuan sial!”

Cepat kupeluk Emak dan kutarik tubuh rentanya untuk menghindari tamparan tangan ayah. Roni dengan sigap menahan tangan kekar yang hampir saja menyakiti tubuh emakku.

“Siapa yang ngajari kamu menggugat pisah Alek? Ibumu yang ngajari? Beraninya kamu permalukan keluarga Alek di pengadilan! Beraninya kamu umbar aibnya didepan umum. Kamu gak sadar ya, mereka punya banyak uang untuk melakukan apa saja yang mereka mau, kamu pikir kamu itu siapa sih, Ai? Seratus perempuan seperti kamu bisa dia dapatkan. Kenapa kamu jual mahal begitu!”

Aku hanya diam menelan semua ucapan dan sumpah serapah ayahku. Percuma aku berbicara saat ini. Dia belum puas menumpahkan kekesalannya, tidak akan ada kesempatan untukku membela diri. Sekarang kamu pikirkan sekali lagi, sekali lagi. Kau dengar perempuan bodoh. Alek masih memberi kamu kesempatan sekali lagi. Besok pagi, kamu temui dia dirumah orang tuanya. Mereka menunggu disana. Kamu dan ibumu harus datang kesana, minta maaf atas kelancanganmu, dan cabut tuntutanmu di pengadilan. Kalian paham. Kalau tidak…” ayah tersedak, dia tidak bisa melanjutkan ucapannya. Istri tercintanya langsung menyodorkan minuman dalam botol kemasan yang selalu dibawanya setiap ayah kerumah emak. Entah kenapa ayahku tidak diijinkanya meminum minuman yang disuguhkan emak bila dia datang kerumah kami.

“Kalau tidak….kenapa?” tanyaku melanjutkan ucapannya. Nada suaraku yang menantang itu membuat ayah kembali melotot kepadaku. Tangannya mengepal dan gemetar menahan emosi.

“Kalau tidak, kau dan ibumu akan hidup dijalanan! Paham kau sekarang, anak sombong!” teriaknya kasar.

“Apa maksud, Ayah?” tanyaku ketus.

“Kalian akan diusir dari rumah ini, mau hidup dijalanan? Ha!”

“Ini rumah, Emak, Ayah. Rumah ini adalah rumah peninggalan kakek orang tua Emak.”

“Rumah ini sudah dibeli oleh keluarga Alek jauh sebelum dia menikahimu. Kamu pikir dia tidak mau bercerai darimu karena sangkin cintanya padamu? Bukan! Tapi karena dia masih memikirkan nasipmu kalau kalian berpisah. Dasar bodoh!”

Kutatap wajah Emak yang kini basah air mata. Tapi yang mengherankan adalah Emak sama sekali tidak terkejut dengan kejutan yang disampaikan ayah. Sekarang aku yakin Emak sudah tahu hal ini sejak dulu. Mungkin ini juga alasannya kenapa Emak awalnya tidak setuju aku minta pisah dengan Mas Alek. Namun semua ucapan ayah sama sekali tidak menyurutkan niatku untuk berpisah dengan Mas Alek. Bayangan hidup dijalanan tidak menakutiku sedikitpun. Aku tidak akan mundur hanya karena takut hidup miskin. Walau menjadi gelandangan sekalipun aku tidak gentar, asalkan hidup tanpa dimadu. Apa enaknya hidup bersuami kalau kehidupan itu seperti yang dialami oleh Emak. Emak memang masih bersuami, tapi lihatlah perlakuan ayah terhadapnya. Sang madu selalu disanjung dan dipuja bagai ratu, sedang istri tua dihina dan dicaci bagai benalu.

“Tega Ayah menjual warisan kakek. Padahal itu adalah tempat emak bernaung,” bisikku lirih.

“Rumah ini dijual atas persetujuan emakmu!” bantah lelaki yang kini sangat tidak pantas kurasakan untuk di panggil ayah itu.

“Besok pagi, Ai dan Emak akan memenuhi perintah Ayah untuk pergi dari rumah ini. Tapi bukan untuk meminta maaf kepada Mas Alek dan keluarganya apalagi mencabut gugatan Ai. Tapi Ai dan Emak akan pergi meninggalkan rumah ini untuk hidup dijalanan seperti yang Ayah inginkan,” ucapku perlahan.

“Anak kurang ajar! Kamu…” kembali tangan kekarnya melayang hampir menyentuh wajahku.

“Tolong bawa papamu pergi, Ron. Kumohon,” sergahku menatap nanar kearah Roni.

Roni memapah Ayah keluar dari rumahku, yang selama ini kuanggap masih rumahku. Kupeluk tubuh emakku yang kian dingin. Kubisikkan kekuatan ditelinganya. Kujanjikan kehidupan esok yang jauh lebih baik kepadanya. Bukan kehidupan dijalanan seperti yang digambarkan oleh suaminya. Aku harus pandai merangkai kata untuk meyakinkan emakku, walau aku sendiri belum punya harapan apa-apa. Bayangan kejamnya kehidupanlah yang jelas tergambar di pelupuk mata. Tapi sikap tegarku, janjiku, tekatku, harus kupertontonkan di hadapan emakku. Agar masih dapat ku melihat senyuman di wajah teduhnya. ****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Rangkaian kata yg apik utk dinikmati. Keren bu ...moga berakhir baik tuk semua

09 Aug
Balas

Aamiin. Makasih, bu.

10 Aug

Mantap bun

09 Aug
Balas

Terimakasih, Bun.

09 Aug

Menarik ceritanya bu

09 Aug
Balas

Makasih, Bu. Salam literasi.

09 Aug

Keren ceritanya. Ditunggu kelanjutannya bu. Salam sukses.

09 Aug
Balas

Makasih, Bun

09 Aug

Mantap ceritanya. Sukses selalu.

09 Aug
Balas

Makasih, Pak.

09 Aug

kisah nyata

09 Aug
Balas

Serasa nyata.hehehe

09 Aug

Mantap bun

09 Aug
Balas

Makasih, bu.

09 Aug



search

New Post