Helminawati Pandia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Idul Adha Pertama Tanpa Suami

Idul Adha Pertama Tanpa Suami

#Tagur Hari-30

#Idul_Adha_Pertama_Tanpa_Suami #part3

"Ai, tolong buka pintunya." Ketukan di pintu kamarku samar terdengar. Itu bukan Emak. Siapa yang berani mengetuk pintu kamarku selain Emak? Dirumah ini tinggal aku dan Emak. Suami kami telah memilih pergi kepelukan perempuan lain. Yah, suami kami. Suami Emak yaitu ayahku lebih memilih istri keduanya. Walaupun status Emak tetap sebagai istri pertama, Emak tidak dicerai. Dan suamiku, dia juga telah pergi, juga karena ada perempuan lain. Bedanya adalah aku minta dicerai. Walaupun hingga hari ini sebulan sudah, statusku masih digantungnya. Tapi aku masih tetap akan sabar menunggu. Menunggu status baruku.

"Ai, boleh Mas masuk?"

Aku tersentak. Suara itu lebih keras kini. Dan suara itu, astaga....berani sekali si durjana itu mengetuk kamarku. Yah, dulunya ini memang kamar dia juga. Kamar kami, tempat kami menghabiskan waktu berdua, merajut hari-hari sambil menikmati manisnya madu asmara. Tapi itu dulu. Tidak lagi untuk saat ini.

Kudengar gerendel pintu kamarku diputar pelan. Daun pintupun terkuak halus, dan begitu tubuhnya melangkah masuk, bantal dan guling beterbangan menghantamnya. Aku melompat untuk meraih vas bunga di meja riasku, rencanaku ingin mengulang peristiwa sebulan lalu. Sebelumnya aku memang sangat trauma melihat darah, tapi sejak Mas Alek mengiris hatiku, entah mengapa aku ingin sekali melihat dia berdarah. Agar dia tahu bahwa sebenarnya perbuatannya itu sangat melukaiku, walau tampak tak berdarah, sejujurnya luka dihatiku lebih dari berdarah-darah.

"Cukup, Ai. Sudah. Sudah, ya," tangan kekarnya berhasil menahan lemparanku. Tentu saja tenaganya jauh lebih kuat, tubuhku direngkuhnya, tenggelam dalam pelukannya.

Sesaat aku hanyut. Sungguh ya Tuhan, perasaan ini, kehangatan ini. Seolah aku menemukan sandaran setelah sekian lama terombang-ambing dalam hempasan ganasnya gelombang badai. Ada rasa damai seolah baru saja tersadar dari mimpi buruk. Ada rasa lega seolah terbebas dari dahaga yang telah lama mencekik. Dan getaran halus di sanubariku mengaliri seluruh urat darahku mengalirkan energi yang entahlah aku sulit menyebutnya apa. Dan kini menuju ke otakku. Saat itulah syaraf di otak kiriku berfungsi dengan benar, dengan gerakan reflek sebuah tamparan mendarat di pipi lelaki durjana yang memang masih berstatus suamiku itu.

"Keluar dari kamarku! Beraninya kamu menyentuhku, sekali lagi kamu mencoba menyentuhku, kubunuh kamu!" ancamku penuh kemarahan. Sebenarnya aku lebih marah pada diriku sendiri. Kenapa aku sempat hanyut sesaat tadi. Aku mengutuk diriku sendiri.

"Ai, aku suamimu," sergahnya.

"Tidak lagi sejak kau berkhianat. Dan, aku tidak perduli itu. Aku tidak mau membahas itu. Pengkhianatanmu tidak menjadi masalah lagi bagiku kini. Yang menjadi masalah adalah kenapa kamu masih menggantungku? Apa maksudmu? Sebulan sudah aku menunggu. Aku mau statusku jelas! Kenapa kau dan keluargamu sengaja membuat hubungan ini menjadi sangat rumit! Aku gak bisa digantung terus begini. Aku gak mau kalian membuat nasibku terkatung-katung tak menentu seperti ini!"

"Ai, perlu kamu ketahui, dalam keluarga kita, terutama keluarga kami, tidak pernah ada istilah perceraian. Jadi percuma saja kamu menunggu, kita tidak akan pernah berpisah. Kamu tetap istri sahku. Aku bersumpah, sampai matipun aku tidak akan menceraikanmu."

"Kurang ajar! Berarti kau dan keluargamu tidak pernah mengurus perpisahan kita. Tidak juga kamu daftarkan ke pengadilan agama? Pantas saja aku menunggu sebulan ini tidak ada panggilan sama sekali."

"Ai, Mas sayang sama kamu. Mas cinta, Ai. Mas tidak mau kehilanganmu."

"Cukup, aku jijik mendengar kata-katamu, Mas. Aku jijik padamu! Aku mau muntah melihatmu. Tolong lepaskan aku, aku mohon....ceraikan aku, Mas!"

"Maaf, Ai. Kalau kita berpisah, kamu akan bebas di luar sana. Semua lelaki akan berlomba mengejarmu, bersaing untuk mendapatkanmu. Aku tidak mau itu. Kamu milikku Ai, selamanya. Tidak boleh siapapun memilikimu selain aku." kembali Mas Alek mendekatiku, mencoba menyentuh jemariku.

Sama sekali tidak dipikirkannya kalau kata-katanya itu sangat merendahkanku. Atau memang sengaja dia ucapkan untuk merendahkanku? Kamu salah, Mas. Kata-katamu itu justru membangkitkan semangatku, menjadi kekuatanku untuk melawan kau dan keluarga kayamu itu. Ok, aku memang tidak punya cukup uang untuk menggaji pengacara untuk kasusku ini, tapi aku masih punya Tuhan yang pasti akan menolongku.

"Tolong pergi, aku tidak ingin kau disini. Tolong sebelum kewarasanku hilang." sergahku lemah, tapi jelas bukan lemah karena putus asa. Lemah tapi penuh ancaman.

"Ai, biarkan Mas disini. Ini kamar kita, Ai."

"Aku tahu persis dimana Emak meletakkan pisau dapur," suaraku kini mulai bergetar.

Alek menatapku tajam," kamu....kamu mulai sinting, Ai?"

"Ya, sebaiknya kamu pergi ke rumah lontemu itu saja. Sembunyilah dibawah keteknya. Jangan balik lagi kesini, atau aku benar-benar akan membunuhmu."

"Ai, kamu...."

"Dan satu lagi, tunggu panggilan dari pengadilan agama, karena akulah yang akan nendaftarkan perceraian kita. Ayahku memang tidak mendukungku, tapi kamu lupa, aku Ainun. Tidak akan menyerah begitu saja. Aku tidak akan mewarisi sifat manut dan pasrah Emakku. Aku akan melawan takdirku. Karena ini bukan takdir dari Tuhanku. Kau dan keluargamulah yang menginginkan hal ini. Tuhan tidak akan membiarkan hambanya dizalimi. Tolong pergilah...."

"Apakah karena kita yang belum diberi momongan, yang membuatmu begitu berkeras untuk pisah, Ai? Kalau soal itu aku bisa mulai berobat, Ai. Kita bisa melakukan berbagai cara. Kita bisa adopsi, kita bisa program bayi tabung, kita bisa...."

"Bukan, sudahlah. Aku tidak inginkan apa-apa lagi. Aku hanya ingin kau pergi. Pergi.........."

*****

Entah mengapa saat ini aku merasa diriku berada dititik terendah. Seolah aku dihimpit jurang yang teramat dalam. Aku berada didasarnya. Bagaimana mungkin aku bisa memanjat untuk mencapai puncaknya, sedang tenagaku terkuras habis sudah, untuk bernafas saja aku sangat kesulitan. Tubuhku teronggok tak berguna didasar jurang, tak berdaya, mungkin hanya tinggal menunggu busuknya. Ah, habis sudah. Selesai sudah.

"Ai, sadarlah, Nduk. Kita ini lemah. Kita tidak punya daya. Menyerahlah, Nduk." Entah sejak kapan Emak sudah berada di kamarku. Tangan kurusnya membelai lembut rambut kusutku.

"Emak mendengar semua pembicaraan kamu dengan Nak Alek tadi, yang dikatakannya itu semua benar. Percuma kita melawan kehendak mereka. Kita ini orang susah, Nduk. Bayar pengacara itu tidak mudah. Sedangkan bagi keluarga suamimu itu, harga diri keluarga adalah yang paling utama, berapapun mereka sanggup menebusnya."

Aku semakin tenggelam dalam keterpurukanku mendengar ungkapan Emak. Harus seperti inikah garis hidupku, garis hidup Emakku, pasrah. Dimana sosok ayah yang seharusnya menolongku? Nengangkat kembali derajatku. Ayah, dia malah membela musuhku. Ku ingin dia menjadi sandaranku, tapi malah dialah yang kian menyudutkanku. Pantaskah aku berbakti pada ayah seperti itu. Apa arti semua ini? Atau memang aku yang salah? Haruskah aku pasrah saja seperti saran Emak.

Suara pesan masuk lewat gawaiku memecah suasana kalut itu. Dengan enggan kuraih dan kubaca pesan yang dikirim lewat pesan wa itu.

[Ai, ingat Hardi? ]

Betapa enggannya aku membalas pesan dari Yesi teman SMA ku. Sangat tidak tepat waktunya bagiku untuk membahas teman lama atau siapapun itu.

[Dia, sekarang sudah jadi pengacara sukses, lho. Banyak kasus sudah dimenangkannya. Padahal baru setahun dia wisuda Sarjana Hukumnya.]

Aku tercekat. Entah mengapa doaku bahkan ratapanku seolah langsung di jawab oleh Allah. Dijawab melalui pesan dari Yesi, padahal aku tidak pernah memintanya untuk mencarikan aku seorang pengacara. Tapi siapa Hardi. Kupaksa memori otakku untuk mencari nama itu. Sulit aku menemukannya. Tapi sudahlah, setidaknya Yesi mengenalnya.

[ Siapa ya, aku kok lupa ya?] balasku mulai antusias. Emak menatapku lekat. Kutahu dia bisa merasakan semangatku.

[Coba kamu ingat, Ai. Dulu kelas dia dikelas IPS. Emang sih kita gak sekelas. Tapi masak kamu lupa sih, beberapa kali dia berusaha deketin kamu. Dan maaf, aku dulu sering ditraktir ngebakso lho, biar dicomblangin ke kamu. Jahat ya aku, padahal aku tahu kamu sama Mas Alek dekat banget.]

[Boleh, atur enggak, Yes. Aku mau ketemu dia? Secepatnya kalau bisa?]

[Eh, sorry! Jangan mentang-mentang kamu janda seenaknya mau ngerusak rumah tangga orang! Dia sudah beristri, maaf bukan, tepatnya dia sudah punya calon istri!]

[Yes, seleraku belum berubah. Aku butuh pengacara untuk kasusku saat ini, itu aja. Bisa bantu enggak?]

[Oh, ok. Siap laksanakan. Ai demi kamu. Aku siap. Tunggu aku atur ya, jangan lupa bahagia, dadah...]

Kupeluk Emak erat. Entah mengapa kali ini aku bisa melihat ada senyum di sudut bibir Emakku. Aku tahu, dia mulai mendukungku. Aku yakin itu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Sukses selalu. Salam literasi

03 Aug
Balas

Terimakasih Pak Dede. Jadi tambah semangat ini.

03 Aug

Kasihan si Ainun,moga ia dapat menemukan kebahagiaannya.Cerutanya mantap Bu

03 Aug
Balas

Makasih, Bu.

03 Aug

Kren menewen bu....ditunggu lanjutannya

03 Aug
Balas

Makasih, Bu.

03 Aug

Keren bunda, penasaran nih ada sambungannya nggak bun?

03 Aug
Balas

Ada, Bun. Besok ya.

03 Aug

Rame bunda aku suka

03 Aug
Balas

Makasih, ya Bun.

03 Aug

Sip, ceritanya keren. salam literasi say

03 Aug
Balas

Makasih, Say. Salam.

03 Aug

Sangat keren ceritanya bunda.salam sukses

04 Aug
Balas

Terimakasih, bunda.

04 Aug

Makasih, Bu. Saya follow balik ya.

03 Aug
Balas

Keren bun aku suka

03 Aug
Balas

Makasih, Bunda.

03 Aug

Keren menewen bu, hanyut terbawa suasana pembaca...hehe, salam dan sudah di follow

03 Aug
Balas

Ok, siap bunda.

04 Aug



search

New Post