Helminawati Pandia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Idul Adha Pertama Tanpa Suami

Idul Adha Pertama Tanpa Suami

#Tagur Hari-38

#Idul_Adha_Pertama_Tanpa_Suami #part8

Dinginnya udara di pagi buta tidak menyurutkan niatku untuk segera bangkit dari pembaringan. Kupaksa membuka kedua kelopak mataku, terasa perih dan pedas. Bagaimana tidak, hampir semalaman mata ini tidak bisa terpejam. Kekecewaan yang kurasakan terhadap semua orang disekelilingku, membuat otakku tidak bisa berhenti berfikir. Syarap-syarapku semua mendukung perintah otakku untuk tetap terjaga menemaniku yang dilanda gulana.

Bayangan wajah ayahku tidak bisa kusingkirkan sedetikpun. Semakin kuberusaha mengusirnya semakin nyata dia menari di pelupuk mataku. Kucoba mengingat sedikit saja kebaikan yang pernah dilakukan olehnya untukku dan emakku. Atau saat tertentu di hari istimewa misalnya, tapi tetap tiada.

Saat aku ulang tahun, hanya emak yang menemaniku memotong kue kecil buatan emakku. Tidak pernah ada hadiah istimewa dari ayah. Tidak pernah ada ucapan selamat ulang tahun, atau kecupan hangat dikeningku diiringi doa dari mulutnya.

Pernah sekali aku memaksa ayah agar datang kesekolahku menemaniku menerima hadiah saat aku terpilih jadi juara kelas. Kebiasaan disekolahku dulu setiap penerimaan raport orang tua wajib datang kesekolah, dan khusus bagi para juara kelas dipanggil dan dibariskan dihalaman sekolah, didampingi oleh orang tua masing-masing untuk menerima hadiah dari kepala sekolah. Sengaja kuminta emak tidak usah datang kali ini karena aku berhasil memaksa ayah. Aku akan pamerkan kepada semua teman sekolahku betapa tampannya ayahku. Akan Kutunjukkan bahwa aku juga punya ayah seperti mereka yang selalu mendampingi mereka setiap mereka butuh.

Betapa bahagianya saat kulihat sosok ayah keluar dari mobilnya dan berjalan tegap menuju ke halaman sekolah. Para juara kelas sudah mulai dipanggil satu persatu. Satu persatu pula orang tua berdiri disamping anaknya.

Namun tepat saat namaku disebut, saat itu pula telpon genggam ayah berdering. Perlahan aku maju kebarisan sambil menyaksikan punggung ayah yang berbalik masuk kedalam mobilnya. Saat itu mungkin hanya aku sang juara yang tidak bahagia, aku menangis, hanya aku yang tidak didampingi. Aku seperti anak yatim piatu, tidak berayah tidak beribu.

Setiba dirumah, kekecewaanku kian sempurna, begitu kutahu alasan ayah meninggalkanku didetik detik penentuan itu, tak lain karena anak kesayangannya dari istri keduanya terjatuh dari sepeda. Hanya tergores, Luka Roni hanya goresan kecil yang dalam hitungan jam sudah akan sembuh. Tapi luka yang ditorehkannya di hatiku hingga kini tidak pernah bisa sembuh.

“Apa rencanamu sekarang, Nduk?” suara Emak terdengar serak. Aku tahu dia juga tidak bisa tidur semalaman. Wajah lelahnya agak segar setelah dibasuh dengan air wudhu.

“Sholatlah, Mak. Nanti Ai, menyusul. Baru nanti kita bicarakan tentang rencana kita,” jawabku berusaha tetap tegar didepannya. *****

Sebuah koper besar, dua buah tas berukuran sedang, dan beberapa kotak berisi barang peralatan penting, sudah selesai kukemas dibantu oleh Emak. Kini semua barang-barang itu tersusun rapi diberanda depan. Motor kesayanganku juga sudah tercagak halaman. Sengaja kubersihkan dan kupanaskan tadi seusai salat subuh. Dengan tetesan air mata kuucapkan salam perpisahan untuknya. Yah, sesaat lagi motorku akan berpindah tangan.

Terpaksa motorku kujual untuk bekal hidup kami dengan Emak. Untungnya Dalam waktu singkat Yesi berhasil mencari pembelinya setelah kutelpon tadi malam.

“Ada yang mau, nih, Ai. Besok pagi ijab kabulnya, ya,” kata Yesi setelah sejam kusuruh menawarkan motorku di media sosial.

“Alhamdulillah, Terima kasih, Ya Allah. Tapi kok cepat banget, Yes?”

“Iya, aku nawarkanya di grup WA alumni SMA kita. Banyak yang nawar, tapi aku dealkan dengan penawar tertinggi, dong.”

“Ok, makasih ya, Yes.” Ucapku menutup telpon tadi malam.

Emak masih enggan keluar dari dalam rumah. Kubiarkan dia menikmati saat terakhirnya menginjak rumah yang sangat bersejarah itu. Rumah peninggalan orang tuanya, yang telah dipindahtangankan secara licik oleh suaminya sendiri.

Sempat kulihat pipinya basah, namun segera disekanya dengan ujung kerudungnya. Perempuan yang selalu patuh dan manut itu kian larut dalam pedihnya. Patuh ternyata tidak selamanya baik, patuh kadang kala membuat kita kian ditindas. Contahnya Emak, sikap manutnya justru disalah gunakan oleh ayah.

Ketika aku berusia tiga tahun, ayah sudah membawa istri keduanya itu kehadapan Emak. Dengan alasan ingin mendapat anak laki-laki, ayah menikahinya.

Emak tidak pernah protes, meskipun ayah tidak pernah bersikap adil terhadap emak dan aku sebagai darah dagingnya. Hingga detik ini, aku yakin Emak tidak pernah merasakan apa itu bahagia. Dan saat ini, saat dia harus meninggalkan rumahnya, penderitaan itu pasti kian memuncak didadanya. Aku bertekat akulah yang harus memberikan kebahagiaan itu pada emakku.

Bunyi klakson mobil Yesi membuat Emak cepat-cepat melangkah keluar dari dalam rumah. Siapa lagi yang akan membantuku saat seperti ini kalau bukan sahabatku. Gadis yang sudah berhasil menyelesaikan kuliahnya beberapa minggu lalu itu tersenyum ramah pada Emak.

“Bentar lagi mereka sampai, kita tunggu ya. Sembari menunggu kita masukin aja dulu barang-barang ini kebagasi,” ucap Yesi membuka bagasi mobilnya.

“Mereka siapa, Nduk?” tanya Emak sedikit bingung.

“Ai menjual motor Ai, Mak. Takut ngerepotin. Soalnya kita kan masih beberes dikontrakan baru nanti. Maaf, Ai tidak ijin dulu ke Emak,” jawabku berbohong. Aku sengaja berbohong supaya Emak tidak sedih.

“Motor itu satu-satunya alat transport kita, Nduk,” sergah Emak memelas.

“Gak apa-apa, nanti Ai beli yang baru, doain aja ya, Mak.”

Yesi menghampiri kami, memegang tangan Emak dengan lembut,”saya sudah bilang sama Ai, Mak. Tinggal dirumah orang tua saya aja untuk sementara. Jadi kalau perlu kemana-mana, bisa saya antar. Tapi Ai nolak.”

Sebuah sepeda motor memasuki halaman rumah. Pemuda asing itu menghampiri kami seraya menyerahkan sebuah amplop besar berwarna coklat. Aku dan Yesi saling berpandangan. Kami tidak mengenal pemuda itu sama sekali.

“Maaf, dengan Mbak Ainun?”

“Ya, saya sendiri.”

“Saya, diutus Pak Vito untuk mengantarkan uang ini. Katanya untuk pembayaran, motor. Mohon diterima, Mbak.”

Aku masih bengong ketika Yesi meraih amplop coklat itu. Segera dihitungnya uang yang masih tampak baru dan dalam ikatan kertas merek sebuah bank.

“Ini tidak sesuai perjanjian!” teriak Yesi mengangetkanku. Segera Yesi menekan nomor di ponselnya. Namun nada panggilnya menunjukkan bahwa orang yang ditujunya sedang tidak aktif membuat Yesi tambah bingung.

“Maaf, Mbak. Pak vito sedang ada rapat penting. Pesan beliau kalau ada pertanyaan tentang jumlah uang, kata beliau memang itu disengaja. Karena menurut beliau segitulah harga yang pantas untuk motor itu,” kata pemuda itu dengan tenang.

“Bagaimana mungkin si Vito tahu harga pantasnya, dia sendiri tidak pernah melihat motor Aini?” sergah Yesi.

“Memangnya kurang berapa, Yes? Kalau dikit gak apa-apalah. Aku Ikhlas.”

“Masalahnya ini bukan kurang, Ai. Tapi lebih. Uangnya dua kali lipat dari perjanjian, aneh, kan?”

Sekarang aku yang lebih bingung bercampur kaget.

“Maaf, Mbak. Saya harus segera kembali ke kantor. Saya balik, ya, Mbak.”

“Hey! Motornya bawa, sekalian, dong!” teriak Yesi.

Pemuda itu membalikkan badannya dan sambil tersenyum berucap, “Oh, iya. Saya lupa. Pak Vito pesan supaya motornya dititip dulu di rumah kontrakkan baru Mbak Ainun. Kalau perlu kemana-mana, pake aja, gak apa-apa. Permisi ya, Mbak. Mari, Bu.” Pemuda itu mengangguk kepada Emak.

Aku dan Yesi hanya bisa melongo menatap punggungnya menghilang di ujung jalan.

“Siapa sih, Vito-Vito itu, Yes. Kok orangnya aneh, gitu?” tanyaku setelah menarik nafas panjang mengembalikan alam sadarku.

“Masak kamu gak ingat juga? Itu lho anak IPA 2, mantan ketua Osis kita lagi. Kamu sih, sewaktu kita SMA dulu tahunya pacaran aja sama Alekmu itu. Jadinya gak kenal siapa-siapa.”

“Tapi, kenapa dia bayari dua kali lipat, motornya gak dibawa lagi? Apa maksudnya, ya.”

“Aku juga heran, Ai. Ketika dia nawar motor kamu. Secara dia itu kan pengusaha terkenal, tajir, kemana-mana bawaannya mobil mewah. Buat apa motor bututmu itu coba? Jangan-jangan?” Yesi menahan ucapannya.

“Jangan-jangan apa?”

“Ah, sudahlah, Yuk kita berangkat, udah kelar semua, kan? Pintunya udah di kunci belum, Mak?” Yesi sengaja mengalihkan omongannya.

Sebuah mobil putih memasuki halaman rumah ketika kami benar-benar sudah selesai beberes. Aku terhenyak sesaat demi mengenali mobil itu. Mas Alek. Tetapi setelah pintu mobil itu terbuka ternyata bukan Mas alek yang keluar. Darahku tiba-tiba mendidih melihat sosok yang sangat kubenci melenggang menghampiri kami. Gendis. Dia sendirian.

Berani sekali dia menampakkan wujudnya dihadapanku, tanpa pengawal siapapun Tidak juga suami yang telah direbutnya dariku.

“Pagi semua, eh, ada mbak Yesi juga. Oh, jadi supir carteran orang pindahan, ya, Mbak?” sapanya dengan nada mengejek.

“Ada apa kesini? Udah sana balik aja dulu. Kami udah mau pergi kok. Kamu jangan kesini dulu, jangan cari ribut!” Yesi berusaha menarik tangan perempuan itu kembali menuju mobilnya.

“Hei, aku cuma mau mastiin aja, apakah Mbak Ai beneran ninggalin rumah ini atau enggak. Karena aku udah enggak betah tinggal dirumah mertua lama-lama. Aku udah bilang sama Mas Alek, begitu Mbak Ai pergi, aku segera pindahan kesini,” ucapnya melepaskan tangan Yesi.

“Oh, begitu? Jangan kuatir perempuan murahan, aku akan segera pergi dari sini. Silahkan kamu nikmati rumah dan suami bekasku itu. Tapi sepertinya kamu lupa satu hal?” sergahku perlahan melangkah kearahnya.

“Ai, sabar. Ai…” Yesi mencoba menahanku.

“Maaf, Mbak. Lupa apa, ya?” tanyanya dengan gaya sok kolokan, manja-manja menjijikkan.

“Kamu lupa kalau aku pernah berpesan untuk tidak pernah muncul dihadapanku, pelakor!” teriakku seraya meraih rambut ikalnya, menarik, menjambak dan memutar-mutarnya sekuat tenagaku. Benar-benar aku bagai kesehatan menghajar tubuh indahnya, mencakar wajah manisnya, dan tujuan akhirku adalah ingin membanting tubuhnya kebumi dan menginjak-injaknya.

Namun tujuan akhirku itu tidak kesampain. Jeritan Emak mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. Kupeluk Emak yang terkulai lemas diteras rumah. Yesi berusaha menolong Gendis yang telah penuh cakaran dan goresan kukuku. Dirapikannya rambut acak-acakan, di sekanya darah yang menetes.

“Kan, udah Mbak bilang. Jangan kesini, kamu sih. Bisa nyetir sendiri engak? Kalau enggak telpon siapa-siapa deh, biar kamu dijemput!” ucap Yesi berusah memapah perempuan setengah sekarat itu kembali kedalam mobilnya.

Perempuan itu masih meronta, "ingat ya. Sampai kapanpun aku enggak akan ikhlas Mas Hardi jadian sama perempuan brutal seperti kamu!” teriaknya diantara tangisnya.

Aku tertawa mendengar kata-katanya. “Kamu pikir ada tempat dihatiku buat, kakakmu itu, sudahlah. Pergi dari hadapanku. Sebelum aku berubah pikiran. Dan camkan baik-baik, jangan pernah muncul dihadapanku lagi, paham. Atau aku akan benar-banar menjadi pembunuh.”

Yesi menarik nafas lega, begitu mobil putih itu perlahan keluar dari halaman. Dipapahnya emak menuju mobilnya. Tanpa berkata-kata lagi, kami meninggalkan rumah kami, yang mulai saat ini bukan lagi milik kami. Tapi milik Gendis, perempuan yang baru saja kuhajar dengan membabi buta.

Ah, rasa pedih menghujam ulu hatiku. Ternyata bukan hanya posisiku sebagai istri Mas Alek saja yang direbut olehnya, tetapi juga istanaku yang selama ini dimana aku menjadi ratu didalamnya. *****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Konflik nya bikin ibu-ibu pengen ikutan Jambak rambutnya si Gendis ni... Hehe. Sukses selalu Bu.

11 Aug
Balas

Hehehe makasih, Pak

11 Aug

Cerpen yang keren menewen bu. Salut

12 Aug
Balas

Tragis ceritanya Bun

11 Aug
Balas

Iya, Pak.

11 Aug

Aduh ikutan kesel nih

11 Aug
Balas

Hehehe

11 Aug



search

New Post