Helminawati Pandia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Idul Adha Pertama Tanpa Suami

Idul Adha Pertama Tanpa Suami

#Tagur Hari-32

#part5

Ruang sidang masih sepi saat aku, Emak dan pengacaraku Hardi memasuki ruangan itu. Padahal waktu sudah menunjukkan hampir setengah sembilan. Emak terlihat agak pucat, aku tahu pasti emakku ini sangat gugup. Seumur hidupnya baru kali ini memasuki ruangan seperti ini. Dan hal inilah yang selalu dihindarinya selama ini, hingga dia tidak pernah mempermasalahkan statusnya yang dimadu oleh ayahku. Sementara aku, aku sedang berjuang untuk tidak mengikuti jejaknya. Aku tidak mau seperti Emakku.

Hardi terlihat kaget ketika seorang perempuan muda memasuki ruangan sidang dengan langkah terburu-buru. Dari penampilannya menunjukkan dia adalah wanita perpendidikan dan sepertinya dia seseorang yang cukup berpengaruh. Aku yang hanya lulusan SMA tidak memahami apa jabatannya di persidangan ini, namun melihat Hardi yang begitu gelisah membuat aku ikut gelisah bercampur bingung.

“Yang, kenapa ….. kenapa kamu ada disini?” suara Hardi tergagap menyapa wanita itu.

‘Yang’, aku kaget mendengar Hardi menyapanya dengan kata itu. Perempuan yang dipanggil Yang itu menatapku sinis, lalu sebuah senyum yang amat menonjok ulu hatiku terukir disudut bibir tipisnya.

“Aku minta maaf, kali ini kita rival,” tandasnya kemudian.

“Hei, kenapa kamu gak pernah bilang kalau kamu ngambil kasus ini?”

“Dan kamu, kenapa gak cerita juga ke aku kalau kamu lagi mencoba menolong mantan gebetan kamu untuk meraih gelar jandanya?”

“Ini, tidak seperti yang kamu pikirkan, Yang. Tolong kamu pahami dulu permasalahnnya, kamu tahu enggak, klien kamu itu sudah selingkuh dan kamu tahu siapa perempuan yang diselingkuhinya, Gendis.” Hardi mencoba melunakkan hati perempuan itu.

Wanita itu tersenyum sinis lagi, dan aku sangat benci senyumnya itu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dan tidak tahu harus berkata apa.

“Sudahlah, kita bicarakan semuanya di persidangan nanti,” pungkasnya seolah pasti dialah pemenangnya.

Hardi menghela nafas, kulihat mulai ada keraguan diwajahnya. Kenapa? Kenapa dia takut melawan perempuan itu. Haruskah aku mulai takut juga? Tidak. Aku tidak akan takut siapapun selama aku benar. Dan persidangan ini, aku memang tidak tahu apa-apa tentang sidang, apalagi ini sidang gugatan perceraian. Tapi aku tidak gentar karena ada Tuhan bersamaku, sekalipun Hardi akan mundur untuk membelaku.

Beberapa orang mulai memasuki ruangan, semuanya duduk diposisi masing-masing. Aku tidak tahu bagaimana dan apa jabatan mereka masing-masing. Tapi aku berusaha untuk tetap percaya diri.

“Semangat, Ai. Aku disini mendukungmu,” Yesi baru saja sampai. Dia memelukku sambil berbisik,” Pengacara suamimu adalah Linda, calon istri Hardi. Kini aku sadar, kalau suamimu betul-betul srigala. Pasti dia sudah memanfaatkan Gendis untuk meminta bantuan Linda. Tapi kamu jangan kuatir ya, tetap semangat.”

Aku mengagguk, yah aku tetap semangat, tapi mengapa sekarang aku merasa sendirian. Semula aku yakin seribu persen ada Hardi tempatku bersandar, tapi sekarang tidak lagi.

Sidang sudah dimulai, aku didudukkan di bangku paling depan. Emak dan Yesi duduk dibelakang. Kusapu seluruh ruangan sidang dengan pandanganku untuk mencari sosok Alek atau keluarganya. Namun tidak ada satupun mereka hadir di sidang ini. Ini betul-betul suatu penghinaan. Aku semakin merasa diremehkan.

Linda, perempuan yang dipanggil Hardi dengan sebutan ‘Yang’ itu menjelaskan bahwa semuanya sudah diserahkan oleh tergugat kepadanya. Sehingga tanpa kehadiran mereka sidang tetap bisa dilanjutkan. Sebenarnya aku mau protes, tapi Hardi menahanku. Akhirnya aku hanya diam mengikuti jalannya sidang.

Kupikir setelah penyampaian alasanku menggugat cerai, dilengkapi dengan penyampaian bukti-bukti, maka persidangan akan berjalan lancar, tetapi hal yang tidak terduga tiba-tiba disampaikan oleh Linda. Pertama dia menolak untuk berpisah, yang kedua dia malah memutarbalikkan fakta. Kalau yang sebenarnya selingkuh itu adalah aku. Aku tersentak kaget demi melihat semua bukti-bukti yang dia tunjukkan. Semua bukti itu sangat menyudutkanku. Entah dari mana Linda mendapat fhoto-fhoto kebersamaanku dengan Hardi. Dan yang terakhir itu, fhoto saat aku dan Hardi saling bersitatap di mobil tadi, saat wajah kami begitu rapat. Hei, apa arti semua ini? Ini tidak benar, bagaimana mungkin kejadian tadi di mobil Hardi ada yang merekam, bukankah hanya ada aku, Hardi dan Emak?

Tajam kutatap wajah Hardi, kuminta jawaban disana. Tapi yang kulihat adalah wajah kebingungan, seperti halnya aku. Seketika aku meraung, aku berteriak bahwa itu tidak benar. Tapi seseorang memintaku untuk tetap tenang. Dan semua orang sangat patuh pada perintahnya. Aku terdiam dengan deraian air mataku. Aku tidak diijinkan bersuara.

Selanjutnya yang kudengar adalah suara perempuan yang kini mulai sangat kubenci itu. “Walaupun Istri klien kami terbukti berbuat yang tidak terpuji, Bapak Hakim, namun klien kami tidak berniat untuk menggugat cerai istrinya. Klien kami yakin, istrinya masih bisa berubah, biarlah urusan untuk menyadarkan istrinya diserahkan sepenuhnya kepada klien kami. Jadi berdasarkan fakta-fakta tersebut, kiranya Bapak Hakim menolak gugatan dari istri klien kami dan memberikan kesempatan kepada klien kami untuk menyadarkan istrinya agar menjadi istri yang baik, terimakasih.”

Suasana sidang hening sesaat. Kugunakan kesempatan itu untuk mengangkat tanganku, memohon ijin untuk berbicara. Hardi menggeleng tidak menyetujui permohonanku. “Sudahlah Ai, sidang ini pasti ditunda, kita gunakan kesempatan itu untuk membuktikan bahwa kita tidak ada hubungan apa-apa. Aku janji, aku pasti akan membantumu.”

“Aku tidak bisa menunggu lagi,” sergahku mantap.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya aku diijinkan untuk berbicara. Tanpa melalui pengacaraku. Kuraih selembar kertas dari dalam tas sandangku, kuserahkan kehadapan orang yang sedari tadi mereka panggil Bapak Hakim.

“Maaf Bapak, sebenarnya, ada alasan utama mengapa saya meminta pisah dengan suami saya, “ kataku memulai perkataanku. Aku tidak bisa menggunakan bahasa ilmiah atau bahasa hukum seperti mereka.

“Alasan utama ini, menyangkut harga diri suami dan keluarganya, Pak. Tapi karena ibu itu sudah mengarang yang bukan-bukan untuk memojokkan saya, maka terpaksa hal ini saya ungkapkan,” ujarku sambil menatap tajam kearah Linda.

Perempuan itu langsung mengangkat tangan sambil berteriak kalau dia keberatan. Tapi Pak Hakim yang baik itu menolaknya dan mempersilahkan aku meneruskan ucapanku.

“ Sebenarnya, saya sangat ingin memiliki anak dari darah daging saya sendiri, tapi berdasarkan surat keterangan dari dokter yang sudah Bapak terima itu, terbukti bahwa, suami saya tidak akan pernah bisa memenuhinya.” Suasan sidang tiba-tiba ramai. Dan karena kegaduhan itu, Hakim memutuskan sidang ditunda sampai minggu depan.

Aku lega setelah mengungkapkan semua itu, dalam lubuk hatiku yang terdalam jelas bukan itu alasanku meminta pisah dari Mas Alek. Tidak ada momongan bukan masalah bagiku. Tapi melihat berbagai cara dilakukannya untuk menghancurkan hidupku maka terpaksa hal yang seharusnya kututupi karena aib bagi dirinya dan keluarganya ini kubongkar di persidangan ini.

Yesi memelukku, Emak tersenyum lebar. Baru kali ini kulihat senyum emak yang begitu tulus untukku. “Maafkan Ai, Mak,” bisikku dalam pelukannya.

“Teruslah berjuang, Nduk. Emak mendukungmu. Doa Emak selalu untukmu.” Entah apa yang sudah merubah Emakku. Mungkin karena dia sudah menyaksikan semua pengkhianatan Alek, ditambah kekejamannya yang menuduh aku selingkuh dengan Hardi, padahal jelas Emak ada saat di mobil tadi. Tapi aku tidak mau memikirkannya lagi. Yang penting Emakku sudah berubah. Dan perubahan Emak sangat berarti bagiku.

“Ai, sebentar…aku mau bicara,” Hardi mendekatiku setelah dia selesai bicara dengan Linda, rivalnya di sidang tadi. Aku mengangguk. Biar bagaimanapun dia masih pengacaraku.

“Mengenai fhoto-fhoto tadi, pasti Linda sengaja memasang perangkap di mobilku, dan aku yakin selama ini Gendis sudah bekerjasama dengan Linda.”

“Mungkin kamu masih mau membantuku untuk mencari bukti itu?” sergahku penuh selidik.

“Tentu, tetapi surat keterangan bahwa Alek sakit, apakah itu asli?”

“Kenapa, Har. Kamu kuatir gak bisa punya keponakan dari Gendis. Maaf, mungkin agak kasar. Tapi ini kenyataan. Dari jaman Nabi Adam dulu sampai kiamat nanti tidak akan pernah ada 'pelakor yang bisa hidup bahagia'." tandasku berbisik ditelinganya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren....ditunggu cerita berikutnya

05 Aug
Balas

Aamiin. Makasih, Bu.

05 Aug

Keren cerpennya Bu, kisah inspiratif. Salam literasi.

05 Aug
Balas

Makasih, Bun salam.

06 Aug

Keren cerpennya Bu, kisah inspiratif. Salam literasi.

05 Aug
Balas

Makasih, Bun.

06 Aug

Cerita yang menarik bunda, salam kenal. Semoga sukses

05 Aug
Balas

Aamiin. Salam kenal, Bu.

05 Aug

Bagus dan menarik ceritanya bun..aku setuju bun jangan kasih pelakor hidup bahagia... keren bun.. salam sukses selalu

05 Aug
Balas

Makasih, Bun.

06 Aug

Bagus ceritanya bunda, sukses selalu

05 Aug
Balas

Aamiin. Makasih, Bunda.

05 Aug

cerpenya bagus, keren bunda...salam

05 Aug
Balas

Aamiin. Makasih, Pak. Salam.

05 Aug



search

New Post