Heni Riswanti

Biografi Aku adalah seorang guru Bahasa Indonesia, di sebuah sekolah negeri di Bogor, Jawa Barat. Mengapa guru Bahasa Indonesia? Berawal pengetah...

Selengkapnya
Navigasi Web

Berbagi Pengalaman

Berbagi Pengalaman

Ada banyak tulisan tentang pengalaman hidup yang menginspirasi. Pengalaman pahit dengan penuh perjuangan adalah suatu langkah yang memang harus ditempuh. Allah akan selalu memberikan kekuatan kepada setiap hamba-Nya yang mau berjuang untuk meraih keadaan yang lebih baik. Karena terpuruk dan putus asa tidak akan menyelesaikan masalah tapi justru akan menambah masalah.

Belajar untuk selalu bersyukur dengan apapun keadaan yang diberikan kepada kita akan membuat lebih jernih berpikir mencari jalan keluar setiap masalah yang terjadi. Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Semua menjadi buntu kalau kita menghadapinya dengan penuh emosi dan sudah negatif thinking terlebih dahulu.

Banyak belajar dari orang lain yang kondisinya berada di bawah kita. Dari orang cacat, dari orang miskin, dari orang yang tidak berpendidikan tinggi. Bagaimana mereka menyikapi hidup? Atau sebaliknya, sempurna secara fisik tapi tidak bersyukur, kaya raya tapi terjerumus pada perbuatan maksiat, dan sebagainya. Yang penting kita bisa mengambil hikmah atau pelajaran dari setiap kejadian di sekeliling kita.

Kita manusia ibarat wayang, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Semua skenario hidup kita adalah rahasia Allah.

Saya, perempuan berusia 55 tahun. Pada usia 48 tahun tak pernah terbayangkan akan terkena penyakit kanker payudara. Sampai usia 48 tahun itu, saya termasuk jarang berkunjung ke rumah sakit untuk berobat. Sebagai pegawai negeri sipil, juga jarang menggunakan fasilitas Askes karena memang jarang sakit.

Tapi siapa sangka, tahun 2012 saya temukan dua benjolan di payudara kanan. Berawal dari situlah, saya selama tujuh tahun ini harus bolak-balik ke rumah sakit untuk berobat dan fasilitas Askes bermanfaat.

Perjuangan saya melawan kanker selama tujuh tahun tentu sangat menguras tenaga, pikiran, dan uang.

Alhamdulillah, saya dan suami kebetulan memang sebagai aparat pemerintah dan sudah pasti mendapatkan gaji yang bisa kita andalkan setiap bulannya. Tapi biar bagaimanapun dengan kondisi sakit saya dan anak-anak yang mulai masuk kuliah, tentu tidak sedikit biaya yang terkuras. Terlebih suami dan anak-anak tinggal di Bogor. Saya juga bekerja di Bogor. Tapi berobat di Yogya. Sudah tiga tahun saya bolak-balik Bogor-Yogya.

Mungkin banyak orang bertanya, " Kenapa harus di Yogya? Apakah di Bogor tidak ada rumah sakit?"

Jawaban saya, " Ada rumah sakit di Bogor dengan fasilitas untuk penderita kanker dengan jaminan tapi jauh. Yang dekat, waktu itu prosedur nya unik. Selain mendaftar resmi tapi juga dikoordinir oleh sesama pasien. Otomatis pasien baru tidak tahu dan kesulitan untuk bisa periksa. Sudah begitu, mendaftar umum pagi, siang ambil nomor antrian, sore baru periksa ke dokter. Ribet kan?"

Berobat ke Jakarta? Lumayan jauh juga. Yang pasti, saya sudah mengalami berbagai proses untuk berobat di Bogor dan Jakarta selama empat tahun, dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016. Selain itu, saya dan suami adalah perantau. Untuk berobat juga sangat repot bila suami tidak mendapatkan izin. Rasanya kurang nyaman berobat tanpa ditemani keluarga.

Waktu itu, saya berobat di RS Fatmawati sampai ada keputusan bahwa kankernya ganas sehingga harus dioperasi. Tapi, giliran operasi sampai dengan Mei 2015( waktu periksa Agustus 2014). Akhirnya, kami keluarga memutuskan untuk operasi di Yogya. Selesai operasi, saya dirujuk ke RS PMI Bogor untuk kemoterapi. Setelah kemoterapi, setiap bulan kontrol untuk mendapatkan obat Tamoxifen yang targetnya harus diminum selama lima tahun. Obat itu, tadinya bisa didapatkan untuk satu bulan. Tapi, ada peraturan baru hanya diberikan untuk satu minggu. Bisa dibayangkan setiap minggunya harus ke RS, antri pendaftaran, antri dokter, sampai antri obat yang bisa menghabiskan waktu satu hari. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli di luar. Hitung-hitung biaya yang harus saya keluarkan untuk ke RS tiap minggunya dengan beli obat di luar sama. Yah, mending beli. Dua tahun saya menjalani kehidupan ini.

Tahun 2016, ternyata kanker telah menyebar ke tulang belakang. Saya dibawa pulang ibu saya untuk kembali ke dokter yang menangani operasi saya. Selama enam bulan, sebanyak delapan kali, saya harus kemoterapi kembali. Saya tinggalkan keluarga kecil saya. Otomatis gaji harus dikelola menjadi dua dapur. Satu untuk hidup suami dan anak-anak. Satu untuk berobat saya.

Setelah pengobatan enam bulan, saya bisa pulih. Saya bisa hidup normal sebagaimana biasa. Tapi, tetap setiap bulan harus kontrol dan kemoterapi tulang karena ada bagian tulang yang termakan kanker belum rapat. Saya jalani ini dan bolak-balik Bogor-Yogya selama dua tahun.

Tahun 2018, keadaan saya bukannya lebih baik tetapi justru lebih parah. Penyebaran kanker di tulang belakang yang pernah terjadi pada tahun 2016, justru semakin banyak. Dan saya merasakan sakit yang luar biasa. Bahkan kejadian yang tak pernah terbayangkan. Saya mengalami kelumpuhan. Karena syaraf di tulang belakang lengket, akibatnya dari pinggang sampai kaki kebas dan kesemutan dan saya tidak bisa berjalan.

Berliku pengobatan yang harus saya jalani. Dari StScan untuk mengetahui kankernya. Ke dokter syaraf untuk mengobati tidak bisa berjalannya. Ke radiologi untuk sinar agar kanker tidak menyebar. Tetap masih harus kemoterapi tulang. Selesai radioterapi kembali ke dokter syaraf dan menjalani fisioterapi. Alhamdulillah sekitar empat bulanan tidak bisa berjalan, setelah beberapa kali menjalani fisioterapi, sekarang sudah bisa berjalan kembali meskipun masih memakai alat wolker.

Bisa dibayangkan, bagaimana lelahnya proses pengobatan dan perjuangan untuk mendapatkan kesembuhan. Lagi-lagi, saya harus terpisah dengan keluarga. Secara ekonomi harus dibagi-bagi. Selain biaya dapur, berobat, dan tentu biaya kuliah anak-anak.

Namun, dari semua proses kejadian itu, pastinya secara pribadi, saya banyak mendapatkan pelajaran. Belajar ikhlas menerima semua ketentuan Allah. Penyakit itu bisa datang tiba-tiba, tapi penyembuhannya tidak bisa serta-merta. Proses panjang harus dilewati, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Di sinilah kesabaran dibutuhkan. Pernah terbersit capai, putus asa? Yah, tentu pernah. Apalagi jika mendengar kabar sesama pasien kanker yang meninggal. Tapi, saya harus menguatkan diri sendiri lagi. Sekian lama berobat, masih diberi kesempatan bernafas. Allah pasti punya rencana lain. Maka, tak henti-hentinya berdoa untuk diberikan kesembuhan. Sehat kembali seperti semula sehingga bisa beraktivitas kembali untuk menjalankan tugas-tugas yang harus dilakukan.

Bagaimana dengan suami dan anak-anak? Yah, Alhamdulillah, Allah memberikan hikmahnya. Mereka menjadi lebih mandiri. Karena urusan rumah selama ini sepenuhnya bergantung pada emaknya atau pembantu, sekarang mereka tangani bersama, bahkan tanpa pembantu. Urusan lain, kita serahkan pada Allah, agar mereka selalu dijaga dan dilindungi dari segala marabahaya dan hal-hal yang tidak baik.

Masalah rezeki? Yah, terus dan tetap bersyukur, serta pasrah kepada Allah adalah pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Yakin, bahwa Allah akan selalu mencukupkan kebutuhan kita. Allah akan selalu memberi jalan dan memberikan rezeki nya tepat pada waktunya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post