Heriyanto Nurcahyo

Heriyanto Nurcahyo Guru SMA Negeri 1 Glenmore. Menyukai tulis menulis sejak mahasiswa, pernah belajar di berbagai universitas diantaranya Unibraw,&n...

Selengkapnya
Navigasi Web

Marlar Khin---

Catatan Lockdown #5

MARLAR KHIN

Namanya terdiri atas dua suku kata. Marlar dan Khin. Dalam Bahasa Myanmar, Marlar bermakna karangan bunga. Sedangkan Khin bermakna bersahabat. Karangan bunga yang bersahabat. Makna nama yang disandangnya persis dengan pribadinya: bersahabat. Saya pertama kali bertemu denganya 9 (Sembilan) tahun yang lalu. Kala itu, kami adalah penerima beasiswa Monbukagakushou Kementrian Pendidikan, Olahraga dan Teknologi (MEXT) Pemerintah Jepang. Meski mendapat beasiswa yang sama, kami belajar di fakultas berbeda. Marlar di fakultas Pendidikan IPA dan saya di Graduate School of Education. Dia belajar pembelajaran IPA dan saya mendalami teaching methods. Kami belajar di tempat yang sama: Kumamoto Daigaku (Kumadai).

Selama berada di Jepang, Marlar menjadi salah satu sahabat terbaik. Kebetulan kami tinggal di apartemen yang sama. Dia tinggal di lantai 3 (tiga) sedangkan saya di lantai 4 (empat).

Selama bergaul dengannya, saya memiliki banyak kesamaan dalam kehidupan. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan teman yang lainnya. Misalnya, teman dari Rusia yang memiliki budaya dan keseharian yang sangat berbeda dengan Asia selatan semacam kami berdua. Atau gaya hidup teman teman Skandanavia dan Afrika. Well, meskipun demikian persahabatn lintas benua yang kami miliki sangat asyik dan kaya warna. Termasuk juga persahabatan dengan Marlar Khin.

Marlar san, adalah nama panggilan yang saya ucapkan padanya. Kalau berbicara, suaranya terasa sengau dan tinggi di bass. Kalau berbicara Bahasa Inggris, aksennya sangat “medok” sekali. Pronounsiasi Bahasa Inggrisnya lebih bagus daripada teman=teman yang berasal dari Bangladesh tentunya. Sebagai warga negara komunis, banyak sekali peraturan yang harus diajalani selama berada di luar negeri. MIsalnya, dia dilarang melakukan perjalanan ke negara lain selain Jepang. Sebagian besar teman kuliah, melakukan perjalanan ke luar negeri selama libur musim dingin atau panas. Banyak diantaranya ke Korea Selatan, Hongkong atau Taiwan. Marlar tetap stay home dan tidak berani kemana mana. Hukuman yang berat siap menanti jika dia melanggarnya.

Seringkali dia mengundangku untuk makan malam bersama. Dia telah memasak aneka makanan khas Myanmar. Banyak diantaranya memiliki kemiripan dengan masakan kas Indonesia. Suatu hari, dia memasak semacam soto. Aroma dan rasanya tidak beda jauh dengan soto Indonesia. Pun demikian dengan bahan dan bumbunya. Konon, dia memasak “Soto Myanmar” untuk memeringati 7 hari kematian neneknya. Ternyata, di Myanmar ada semacam tradisi memeringati kematian hingga ratusan hari layaknya di Indonesia (7 harian, 40 harian, Mendak,dll). Selama di Jepang, dia juga merayakan Thingyan dan Kason. Dia menyalahkan lilin di balkon kamar apartemennya.

Diatas meja belajarnya, terdapat semacam altar untuk menaruh aneka hidangan yang digunakan untuk sesembahan pada Dewa. Sesekali saya melihat apel, jeruk dan makanan yang ia masak setiap harinya. Kami biasanya berbelanja di pasar tradisional sepulang kuliah. Pasar trad-isional itu bernama Kokao Sotenggai. Aneka makanan, ikan, daging, sayur, buah dijual disana. Kai memiliki lapak langganan. Lapak tersebut menjual aneka sayur, bumbu dan buah dengan harga miring. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan supermarket atau kombini (semacam indomaret).

Setiap pagi dan petang, Marlar mendengar pujian dan cermaha dari Bikhu terkenal di Myanmar. Yang jelas bukan Bikhu Ashin Wiratu yang rasis itu. Dengan seksama dia mendengar dan mencatat hikmah pentig dari ceramah sang bikhu nya.

Saya sering melakukan diskusi tentang Pendidikan di dua negara. Saya merasa sangat sedih Ketika dia bercerita tentang kondisi persekolahan di Myanmar. Kondisinya jauh lebih buruk daripada Indonesia. Berbicara layanan dan fasilitas, Myanmar tertinggal sangat jauh dengan Indonesia. Suatu hari dia menunjukkan sebuah buku paket. Betapa terkejutnya saya melihatnuya. Disamping bahannya yang ga layak, isinya juga acak kadul. Apakah anda masih ingat buku levis? Dan buku paket Myanmar lebih jelek dari buku tersebut. Dia memintaku merahasiakan semua hal yang telah ia ceritakan. Kalau ada pejabat atau keamanan Myanmar yang tahu apa yang telah diceritakannya padaku, itu sama saja membocorkan rahasia negaranya. Hukumannya pun jelas, dia dipecat dan dijatuhi hukuman berat layaknya Aun Sun Suky.

Sebagai pegawai negeri, Marlar bergaji sangat rendah sekali. Dengan Pendidikan Doktoral, dia bergaji sekitar kurang dari 500 ribu perbulan (saat itu). Sebagai warga negara yang baik, dia tidak pernah sekalipun mengeluh apalagi protes. Resiko yang didapatnya jauh lebih mengerikan dibanding gajil kecil yang ia terima. Itulah negara dictator komunis yang dikendalikan oleh rez-im militer yang bengis. Upz, udah jam 8 lebih, saya pamit dulu ya, lain kali saya sambung ceritanya. #Seize the day.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

makasih ibu, ibu juga sangat keren

22 Apr
Balas



search

New Post