Aku memandangi mereka dengan bahagia. Dua orang yang hadir membersamai langkahku. Dua orang yang selalu kompak menggelitik pinggangku kalau aku lagi bermuram. Bermacam yang mereka lalukan sebagai penawar kegundahan jiwaku.

"Nggak ada rencana nambah lagi ustadz?" tanya temanku Priyono suatu ketika.

Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaannya. Kalau kujawab ya, apakah mungkin? Tentu saja aku mau, apalagi Nabila sudah berumur 4 tahun waktu itu. Tapi, apakah aku sanggup menstabilkan denyut jantungku yang seakan mau meledak menanti hari-hari persalinannya? Masih terbayang bagaimana Sabrina berjuang di antara selang-selang yang bergelantungan di tubuhnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Benar-benar sebuah perjuangan. Karena iti, sangatlah pastas kalau surga itu di telapak kaki ibu. Aku yang menyaksikan persalinannya, Hanya menyandarkan semuanya kepada Allah. Mungkin doaku pada waktu iti sudah melebihi seisi perut bumi. Dan akhirnya, Allah mengabulkan doa-doaku. Aku menyadari bahwa aku hanya menjalani skenario yang diberikan Sang Penguasa Bumi. Pada waktu itu aku pun sudah mempersiapkan mentalku jika hal terburuk terjadi pada istriku, Sabrina.

"Bang nggak ikut mandi."

Aku terkesiap.

"Kayaknya nggak."

"Nggak rugi sudah ke sini nggak mandi?" tannya lagi sembari memercik air itu ke wajahku.

Aku hanya tersenyum simpul sembari mengelak. Selang berapa detik, ada getaran merambat di saku bajuku. Siapa yang menghubungiku?