Mataku yang masih tersisa 10 watt agak sedikit melontot melihat nama itu. Sebuah nama yang menggores kenangan buruk 3 tahun yang lalu, saat 6 bulan pendirian sekolah dasar Islam terpadu di kota istriku.

"Saya tahu ustadz sudah berperan aktif dalam pendirian sekolah kita. Tapi Ustadz jangan menusuk dari belakang," ujar pak Tohir ketua yayasan SD Islam Terpadu.

"Maksud Bapak apa, menusuk dari belakang?" tanya Raihan tak mengerti.

"Pak tolong ditabayun agar tidak salah paham," ujar Raihan sembari mengejar langkah lelaki yang berusia setengah abad itu. Dia tetap Meninggalkan Raihan yang masih dengan kerutan di keningnya.

Raihan pun masih bingung dengan panggilan yang dibiarkannya. Dia takut perasannya terluka lagi. Bayangkan, sekarang ini pun masalah itu masih membuatnya sedih. Padahal, tak ada yang diinginkannya dalam pendirian sekolah ini selain anak-anak dapat belajar, terutama belajar Alquran.

"Abi, mengapa telponnya berbunyi terus."

Raihan terperangah. Ternyata bunyi gawainya mengganggu keasyikan istri dan anaknya, Nabila.

Raihan masih ragu untuk mengangkat gawai yang terus berbunyi. Akhirnya Sabrina mendekat. Dia menguatkan Raihab sembari memeluknya.

"Siapa Abi?" tanyanya lagi.

Raihan hanya menunjukkan gawainya. Sabrina pun tertegun tetapi tak lama kemudian dia terus menguatkan.

"Bicaralah Abi. Mungkin hanya untuk bersilaturahmi."

Air mata Raihan mengalir. Didengarkan suara pak Tohir yang tersendat-sendat.

"Bapak sakit?"

"Tidak ustadz, tidak," ujarnya perlahan.

"Kalau ustad di sini. Aku ingin memeluk ustadz atas prasangkaku selama ini."

Raihan menarik nafas lega. Dipeluknya Sabrina dengan terharu. Rerimbunan dedaunan di air terjun kelambu itu ikut menambah keteduhan dan ketenangan itu. Seperti itu juga ketenangan pada diri Raihan .