Hermin Agustini

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Cincin Emas

Cincin Emas

(part2)

Oleh: Hermin Agustini

“Setahun yang lalu, mama sudah mema’afkan Ayah. Kali ini pun Mama tetap ma’afkan Ayah bahkan dengan kerelaan yang sama, mama siap melamarkan Naila untuk kebahagiaan Ayah,” kata Arin sambil menutup laptopnya dan beranjak ke kamar Linda, putri semata wayangnya.

Air mata Arin semakin deras melihat putri kesayangannya tidur pulas. Pelan-pelan ia merebahkan diri di samping putrinya itu. Ia tak ingin mengganggu tidur pulasnya, barangkali sedang memimpikan masa depannya yang cerah. Arin menahan segenap tenaga agar isak tangisnya tak terdengar. Ia tak berani memeluk Linda meski ia sangat ingin melakukannya. Ia ingin mendekap anak itu se erat eratnya dan mebisikkan betapa ia sangat menyayangi dan ia lah satu-satunya kekuatan yang membuatnya bertahan.

Arin menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya. Ia mengusap air matanya agar tak basah ketika mencium pipi Linda.

“Love You, Adek,” ucap Arin sambil membelai rambut Linda yang ikal terurai. Arin tersentak ketika Linda membalasnya dengan pelukan erat. Air mata Arin kembali tak terbendung. Baginya, pelukan Linda beribu makna. Isaknya tertahan, namun tetap saja sangat jelas terdengar di suasana hening malam. Tangan Linda meraba pipi basahnya kemudian berbisik, “Why?” sepatah tanya yang serasa perih di hati Arin.

“Mama gak apa- apa sayang, hanya terlalu lelah di depan laptop. Mama ngantuk berat bukan menangis, dear. Bobok lagi ya,” bisik Arin berusaha mendatarkan suaranya. Ia menenangkan Linda dengan pelukan lembut. 13 tahun usia Linda, tapi tetap balita di mata Arien.

Malam semakin pekat dan sunyi, sesunyi hati Arin yang merasakan sakit lebih sakit daripada rasa sakitnya ketika ia sering diabaikan Tio. Lebih sakit daripada ketika perhatiannya dianggap berlebihan oleh Tio. Lebih sakit daripada ketika Tio membalikkan badan pada saat ia rebah di sampingnya. Semua tidak ia rasakan karena rasa cintanya pada Tio. Ia menganggap dinginnya Tio padanya memang karena bawaan karakter. Bahkan ia selalu berkelakar pada sahabatnya,”Aku sih gak khawatir suamiku memperhatikan orang lain, lah wong istri sendiri saja diabaikan,” ucap Arin yang selalu membuat orang-orang di sekitarnya tertawa.

Dari cara bicara dan tawa renyah Arin, tak ada yang tahu bahwa sebenarnya jauh di relung hati perempuan lincah ini ada ruang kosong yang sangat dingin dengan gigil rindu akan kasih sayang orang yang sangat ia cintai. Ruang itu ia kunci rapat-rapat hingga tak seorang pun tahu kehampaan hatinya. Bahkan, Tio pun tak pernah menyadari bila cinta Arin telah beku untuknya. Tio tidak melihat perubahan sikap Arin, meski setahun yang lalu pun pernah menemukan percakapannya dengan perempuan bernama Naila. Arin tetap hangat meski semua telah hambar.

“Kopinya sudah siap, Ayah,” ucap Arin sembari berlalu mendahului suaminya untuk menunaikan shalat subuh berjama’ah di masjid. Tak ada perubahan kegiatan rutin Arin. Meski ia sangat terpukul bagai terhempas dari langit, ia tetaap beraktivitas seperti biasa, meski tak terdengar renyah canda manjanya pada Tio. Acara ngopi bersama di awal pagi pun tanpa cerita. Hanya kepulan asap rokok Tio yang berhasil membebaskan diri terbang ke udara di beranda dapur.

“Adek pakai tempat bekal yang mana, sayang?” Arin tetap melantangkan suaranya seperti biasa. Memeluk dan mencium kepala Linda yang sedang belajar di kamarnya. Berbagai instruksi pagi untuk Linda pun tetap ia jalani bagai ritual yang tak pernah ia lewati. Ia berupaya tampak baik-baik saja meski hatinya telah hancur berkeping. Tak boleh ada air mata. Meski sangat sulit untuk menahan semuanya.

“Bunda nangis?” tanya Linda ketika hendak turun dari mobil di depan sekolahnya.

“Nggak kok, sayang. Mungkin mata bunda kelelahan saja semalam kurang tidur,” kata Arin sambil mengulurkan tangannya agar Linda segera bersalaman. Mencium pipi dan kening Linda seraya mengucapkan do’a-do’a penyemangat pagi tetap ia lakukan. Kali ini serasa sangat mendalam. Kembali ia berjuang agar buliran bening itu tak tumpah sebelum putrinya turun dari mobil.

“Dada Mama, assalamu’alaikum,” ucap Linda seraya melambaikan tangan. Arin segera menutup kaca mobilnya dan melirik dari kaca spion kea rah Linda yang masih berdiri dengan tatapan penuh tanya. “Semoga saja anakku baik-baik saja ya Allah,” gumamnya membeaskan buliran bening mengucur deras menemani perjalanannya menuju kantor. Ia lepaskan semua kesedihannya, ia menangis sejadi-jadinya selama perjalanan untuk meringankan beban perih batinnya.

Dengan perlahan Arin menghentikan mobilnya sebelum memasuki kantor Bank tempatnya mengabdi. Ia harus menyempurnakan make upnya dan keluar dari mobil dengan wajah super hangat dan ramah untuk melayani para customer dengan sangat ramah.

Mampukah Arin menjalani sandiwara kehidupannya? Berpura-pura baik-baik saja meski ia serasa debu tak berarti?

Bersambung

Balungkulon, 16 Januari 2023

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Heem... Nyesek di hati, seakan ikut masuk nyata pada cerita ini, ditunggu part berikutnya Bunda...

17 Jan
Balas



search

New Post