Oleh: Hermin Agustini

“Pagi, Pak Mat,” Sapa Arin dengan senyum pada cleaning cervis yang sedang menyapu ruangannya. “Selamat pagi Bu Arin,” Pak Ahmad membalas salamnya. Tak ada yang berubah pada penampilan Arin.

“Beb, bawa bekal apa?” tanya Rima sahabat sekantornya.

“Aku gak sempat bawa bekal, Beb,” Nanti siang kita makan bersama di depot Bu Ony, ya?” Jawab Arin masih dengan wajah cerianya. Ia merapikan make up bersiap-siap menemui para customernya. Taka da kesedihan di mata Arin meski airmatanya kembali mengalir deras ketika ia bermunajad pada Sang Pengatur Kehidupan pada saat waktu istirahat dan makan siang tiba.

“Ayuk, katanya mau makan bersama di Bu Ony,” ajak Rima mengingatkan Arin yang masih duduk bersimpuh dengan mukenanya.

“Aku nitip aja, ya?” tawar Arin merasa hilang selera untuk makan siang. Hal yang paling ingin dia lakukan adalah menangis agar tak sesak dadanya menahan gemuruh lara yang sednag ia hadapi.

“Tolong kirimi Mama nomor HP Naila,” Ketik Arin di gawainya.

“Mama kan masih simpan, lagian mau ngapain Ma? Sudah, please deh jangan melebar ke mana-mana,” Balas Tio menenangkan Arin yang emosinya mulai naik sehingga ia memilih menelpon saja.

Tanpa babibu Arin langsung bicara, “Mana nomernya! Mama mau bicara dengan perempuan yang bisa menentramkan hati ayah sehingga lupa pada mama dan anak semata wayang kita,”

“Mama, kan masih simpan?” Tio balik bertanya dengan raut muka yang mulai gelisah.

“Kasih aja,Ayah, mama mau bicara dengan pujaan hati ayah.”

Akankah Arin benar-benar akan bicara dengan Naila? Benarkan Arin akan melamar Naila untuk suaminya?”

Bersambung