Oleh: Hermin Agustini

Tidak sempat sama dengan sombong, sejak kapan?

Sejak saya dipindahtugaskan ke tempat baru dengan tanggungjawab baru ( ndak berani menyebut tugas baru khawatir dianggap makin sombong) tentu saja banyak hal baru yang harus saya pelajari dan saya hadapi.

Jika semula hanya butuh waktu tidak lebih dari lima menit untuk bisa sampai di tempat tugas, kini butuh kurang lebih 25 sampai 30 menit perjalanan. Namun saya tetap bersyukur, sebab akses jalan menuju ke sana beraspal mulus dan di sepanjang perjalan yang saya lalui adalah pemandangan persawahan dengn biru pegunungan yang tampak segar nan sejuk.

Agar tidak terlambat, saya harus berangkat lebih pagi dan akan sampai di rumah pada sore hari, bahkan bisa sampai malam apabila masih ada kegiatan tambahan seperti mengantar dan menjemput putri saya les. Seperti malam ini saya baru tiba di rumah pada pukul 21.30 sementara saya belum sempat menulis satu artikelpun untuk taklukkan tantangan menulis 365 hari tanpa henti.

Dengan demikian, waktu bagi saya menjadi sesuatu yang sangat berharga. Seperti hari ini, saya memulai tugas sejak pukul 3 dini hari karena menyiapkan makan sahur putri saya. Berlanjut dengan aktifitas rutin di sekolah ditambah kegiatan sedikit bergeser ke kota untuk mengisi acara podcast di PGRI kabupaten bersama guru dan kepala sekolah penggiat literasi di Jember.

Serangkaian agemda kerja selesai sekitar pukul 15.30. Tetapi bukan berarti selesai lalu pulang, karena saya masih harus membersamai putri saya yang sedang mengikuti bimbingan belajar. Sampai waktu isyak tiba, saya masih membersamai putri saya membeli kebutuhan sekolahnya. Meski kantuk melanda, saya berusaha selesaikan sebuah artikel agar tak terjungkal di hari ke 34 hari ini.

Dari kegiatan harian membuat saya sedikit kurang sempat berkumpul dan berdiskusi (baca ghibah) bersama tetangga. Bahkan hari ini saya belum sempat berganti baju seragam sedari pagi hingga malam. Apakah ketidak sempatan saya sama dengan sombong? Biarlah.

3 February 2023