Hernawati Kusumaningrum

Hernawati adalah guru bahasa Inggris SMP Al Hikmah Surabaya. Ibu berputra 4 ini berhobi membaca, menulis, dan berkebun. Suka mengikuti lomba bagi guru. Sekarang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ana uhibbukunna fillah
Kenangan baksos Ramadhan 1437 H. Saatnya turun kembali ibu ibu.

Ana uhibbukunna fillah

Seperti biasa, setiap Ahad kedua kami mengadakan pengajian ibu-ibu. Ahad kemarin, kami mengundang ustad Rohibun dari Yayasan Nidaul Fitrah. Ini kali kedua kami mengundangnya. Materi pengajian yang diberikan ustad asal NTT ini sangat menarik. Sederhana tetapi dalam. Seperti saat ini, temanya adalah persaudaraan di kalangan umat Islam.

Ustad mengajak para ibu melihat fenomena sosial yang ada di masyarakat. Bagaimana di kalangan umat Islam sendiri sudah mulai bergesekan. Zaman fitnah, katanya. Padahal, Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, “Hendaklah engkau memperlakukan orang lain dengan baik sebagaimana engkau ingin diperlakukan dengan baik.” Artinya apa? Islam menegaskan pada para pemeluknya agar berakhlak yang baik. Kebaikan ini akan kembali pada pelakunya.

Kemudian, beliau menceritakan bagaimana persaudaraan di kalangan sahabat pada zaman dulu yang membuat saya terkesima. Sampai-sampai menggerakkan jemari ini untuk mengikatnya dalam bentuk tulisan. Jika pembaca pernah mendapatkan kisah ini sebelumnya, semoga tulisan ini me-recharge semangat bersaudara dalam iman. Jika belum pernah mendengarnya, semoga menjadi inspirasi untuk selalu berbuat yang terbaik bagi sesama.

Pertama, kisah Abdurrahman bin Auf yang dipersaudarakan dengan Sa’d bin Rabi. Sebagaimana dipaparkan oleh Anas bin Malik. Bersama Rasullullah, Abdurrahman bin Auf hijrah meninggalkan Mekkah hanya berbekal pakaian yang melekat di badan. Sesaat setelah sampai di Madinah, Rasulullah Muhammad SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan salah seorang saudagar terkaya di Madinah, Sa’d bin Rabi. Saudagar kaya ini memberikan tawaran yang menggiurkan.

“Saudaraku, aku orang terkaya di Madinah. Ambillah separuh hartaku yang kamu suka. Aku juga mempunyai dua istri. Pilih yang kau suka dan nikahilah. “

Apa jawaban Abdurrahman bin Auf? Meski mendapat penawaran yang luar biasa, sahabat ini tidak silau dengan tawaran tersebut dan menjawab, “Semoga Allah melimpahkan berkahNya kepadamu, juga pada keluarga dan hartamu. Saya hanya bermohon ditunjukkan arah pasar. “ Abdurrahman bin Auf akhirnya menjadi saudagar kaya yang dengan kekayaannya membangun dakwah Islam.

Indah, bukan?

Kedua, kisah Abu Thalhah yang lebih mementingkan kepentingan orang lain dibanding kepentingannya sendiri. Suatu hari, Rasullullah Muhammad SAW kedatangan tamu, seorang musafir. Beliau menanyakan kepada para istri, adakah makanan yang bisa dihidangkan kepada tamu tersebut. Ternyata, semua istri beliau tidak mempunyai makanan kecuali air minum. Maka Rasullullah Muhammad SAW menawarkan kepada para sahabat. Siapa yang bersedia menjamu tamunya.

Abu Thalhah menawarkan dirinya. Ketika sampai di rumah dia menanyakan kepada istrinya-Ummu Sulaim—apakah ada makanan untuk menjamu tamu. Istrinya pun menjawab kalau hari itu mereka hanya punya sepotong roti. Kondisi demikian tidak mengendurkan niatnya untuk menjamu tamu Rasulullah. Segera ia meminta istrinya menidurkan anaknya. Kemudian, Abu Thalhah meminta tamunya untuk menyantap roti yang dihidangkan. Sang tamu meminta ditemani namun Abu Thalhah berkilah kalau ia akan menemani istri makan di belakang. Yang terjadi sebenarnya adalah mereka tidak mempunyai cukup makanan untuk disantap bertiga. Kemudian, ia dan istrinya berpura-pura makan dalam kegelapan. Begitulah kejadiannya sehingga membuat Allah terpesona. Sahabat ini lebih mementingkan kepentingan orang lain dibanding dirinya sendiri.

Kisah ketiga syuhada perang Yarmuk tidak kalah menyentuhnya. Al Harist bin Hisyam, Ikrimah bin abu jahal , dan Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Perang Yarmuk adalah perang kaum muslimin melawan Romawi. Dari segi jumlah mungkin tidak seimbang. Pasukan muslim berjumlah sekitar 45 ribu melawan 200 –an ribu pasukan Romawi. Di akhir perang tersebut diceritakan ketiga pemuda di atas terkapar dengan luka parah.

Ada seseorang yang datang membawakan minum bagi Al Harist bin Hisyam. Demi melihat saudaranya, Ikrimah, maka Al Harist meminta orang ini membawakan minum untuk Ikrimah. Sesampainya di dekat Ikrimah, ketika air hendak disorongkan, Ikrimah meminta agar air diberikan saja kepada Ayyasy bin Abi Rabiah. Begitu juga ketika air sampai di Ayyasi, segera ia meminta air diberikan kepada Al Harist bin Hisyam. Ketika air hendak disampaikan ke Al Harist, ia sudah syahid. Pun kedua sahabatnya.

Saya tercekat. Ikatan seperti apakah yang mampu menghadirkan karakter seperti di atas? Kalau bukan karena Allah, apakah mungkin? Ahhh, pengajian kemarin membuat saya berkaca. Mampukah kita meneladani para sahabat dalam mencintai saudaranya sedemikian rupa?

Dalam mengelola sebuah kegiatan, mungkin kita bersama. Beraktifitas di kantor, berkomunitas, dan berdakwah. Kebersamaan secara fisik, mungkin iya. Mampukah kita menghadirkan kebersamaan yang lebih dari itu. Kebersamaan yang mampu mengantarkan pelakunya kepada ridho-Nya? Kebersamaan karena ikatan aqidah yang menghadirkan perasaan cinta karena Allah.

Ana uhibbukunna fillah, saya mencintaimu karena Allah.

Sidoarjo, 16 Mei 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

"Kebersamaan karena ikatan aqidah yang menghadirkan perasaan cinta karena Allah."

17 May
Balas

betul pak. trima kasih sudah manpir

17 May



search

New Post