Hernawati Kusumaningrum

Hernawati adalah guru bahasa Inggris SMP Al Hikmah Surabaya. Ibu berputra 4 ini berhobi membaca, menulis, dan berkebun. Suka mengikuti lomba bagi guru. Sekarang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tidak Mudah Menjadi Editor
Buku-buku lawas untuk belajar editing. Setidaknya menjadi editor bagi tulisan sendiri.

Tidak Mudah Menjadi Editor

Sepulang pelatihan kelas editor seminggu lalu, saya disodori tiga buku oleh suami. Kalimat Jurnalistik yang ditulis oleh A.M. Dewabrata, Taktis Menyunting Buku oleh Bambang Trim, dan Buku Pintar Penyuntingan Naskah oleh Pamusuk Eneste.

“Masih capek, Mas, “ kata saya beralasan.

Suami saya selalu begitu. Setiap saya selesai ikut sebuah kegiatan selalu menanyakan beberapa hal. Bagaimana prosesnya. Apa hasilnya. Apa manfaatnya. Lalu, mengalirlah diskusi di antara kami. Tapi ya…itu lho yang gak nguati, ujung-ujungnya diberi tugas membaca buku.

Kalau mau jujur, sebenarnya tidak terlalu capek karena durasi pelatihan yang tidak terlalu lama. Bahkan terkesan kurang. Hanya saja, saya merasa ada perasaan nano nano gitu. Ujungnya, angkat topi deh untuk para editor.

Menurut pemateri, Mas Eko Prasetyo, mantan editor Jawa Pos, ada tiga tipe penulis terkait dengan dunia editing. Penulis profesional, semi profesional, dan amatir. Penggolongan tersebut berdasar tingkat kesulitan mengedit karya mereka. Tentu saja yang paling mudah mengedit tulisan golongan yang pertama. Tingkat kesulitannya rendah karena tulisan mereka sudah bagus. Tulisan penulis semi profesional mempunyai tingkat kesulitan sedang. Yang paling memusingkan adalah mengedit tulisan para amatir. Tingkat kesulitan tinggi. Bukan hanya aspek berbahasa yang harus diedit tetapi juga konten tulisan. Itulah mengapa Mas Eko kerap menyebut harus minum 5 tablet bodrex sekaligus kalau menemukan naskah model begini.

Saya salut pada para editor. Rasa ini bertambah-tambah ketika para peserta diberi latihan mengedit sebuah karya. Tidak panjang. Hanya 390 kata. Namun demikian, naskah tersebut cukup memusingkan kepala. Terus terang saya bingung. Harus diapakan tulisan ini? Satu dua paragraf coba saya pahami. Saya coba mengganti beberapa kata yang tidak sesuai. Saya tidak dapat menangkap maknanya. Beberapa komentar segera berhamburan dari lisan para peserta. Mas Eko segera mengingatkan. Editor bekerja dalam kesunyian.

Ternyata strategi saya salah. Menurut pemateri, kami harus membaca keseluruhan paragraf terlebih dahulu. Tujuannya, menangkap apa sebenarnya yang mau disampaikan penulis. Kemudian, mulai mengedit. Kalau naskah model begini, rombak total solusinya!

Naskah kedua yang diberikan kepada peserta cukup bersahabat. Tidak memusingkan kepala. Karya penulis semi profesional. Lebih pendek dari tulisan pertama. Hanya 292 kata namun kalimatnya panjang-panjang. Nah, yang model gini lumayan lah. Pertanyaannya, berapa persen naskah model begini yang masuk di meja editor? Jawabannya, naskah model pertama jauh lebih banyak jumlahnya dibanding yang kedua. Alamaaak….

Itulah mengapa syarat menjadi editor lumayan berat. Di antaranya, sabar dan teliti. Editor juga harus berpengetahuan luas dan luwes. Artinya, dia harus mampu memahami naskah yang tidak jarang berada di luar jangkauan ilmunya. Selain itu, editor dituntut mempunyai kemampuan menulis, ejaan, tata bahasa. Ia juga harus bersahabat dengan kamus dan memiliki kepekaan bahasa.

Pelajaran yang saya dapat adalah tidak mudah menjadi editor. Hahaha

Sidoarjo, 14 Mei 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Dua hari ini, isi kepala saya hampir mendidih. Dua naskah yyang masong-masing hampir 200 hal oni adalah gabungan no 1 dan nomor 2. Kesulitan utamanya adalah menekan rasa jenuh dan uring-uriingan. Walaaaah... Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya merasa gagal. Ternyata hasil pembelajaran Bahasa Indonesia jauh dari harapan.

15 May
Balas

hihihi.... minum es campur dulu bun. ditinggal masak yang wuenaak aja trus maem. trus bobok

15 May

Sama tuh kebiasaan suamiku jg begituz suka nanya2 hsl plthn lalu jd bahan diskusi. Hihihi ....

14 May
Balas

supo...suami kepo...hahaha

14 May

Setuju banget, mbakyu...

14 May
Balas

aboot yoo

14 May

Semoga ilmunya berguna bu.

14 May
Balas



search

New Post